Memudarnya Rasa Kebangsaan Kita: Sebuah Keprihatinan

Oleh: Kurniawan Zulkarnain*

Kegundahan  sedang  menyergap masyarakat kita terutama generasi muda sebagaimana dapat disimak  pada tagar #kabur aja dulu. Tagar itu viral pada awal Februari 2025 — bukan tanpa alasan,mahalnya biaya pendidikan, sulitnya mencari kerja, dan maraknya pemutusan hubungan kerja menjadi pemicunya. Data BPS Per-Februari 2025 mencatat, jumlah pengangguran mencapai 7,28 juta orang, sementara itu Kementerian Tenaga (Kemnaker) mencatat 26.455 kasus PHK dengan daerah terbanyak Jawa Tengah (10.695), DKI Jakarta (6.279), dan Riau (3.570). Pertanyaan besarnya adalah apakah viralnya tagar tersebutmengindikasikan memudarnya rasa kebangsaan ?.

Rasa Kebangsaan adalah kesadaran kolektif suatu bangsa terhadap identitas,nilai-nilai dan tujuan bersama sebagai satu kesatuan. Bangsa dalam pandangan Ir.Soekarno (Dibawah Bendera Revolusi,1963) adalah   realitas historis dan emosional, bangsa Indonesia bukan satu bangsa berdasarkan satu ras, satu agama, satu Bahasa — tetapi satu bangsa yang hidup dalam satu tanah air, dengan satu kehendak untuk merdeka dan bersatu. Sementara itu, Joseph Ernest Renan (buku What is a Nation ,1882) berpandangan bahwa Bangsa adalah sebuah jiwa dan sebuah prinsip spiritual yang dibentuk oleh dua hal, pertama warisan kenangan masa bersama di masa lalu, dan kedua adanya persetujuan bersama untuk hidup bersama dimasa depan.

Bangsa Indonesia yang terbentuk dan berdaulat seperti sekarang ini merupakan hasil perjuangan panjang dan berliku dari Rakyat Indonesia. Penjajahan Portugis dan Spanyol (abad ke-16) untuk berdagang rempah di Wilayah Nusantara. Dilanjutkan oleh Belanda tahun 1602 melalui VOC dilanjutkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda hingga awal abad ke-20. Penjajahan Jepang (1942 sampai dengan tahun 1945) selama Perang Dunia kedua. Penindasan oleh penjajah tersebut telah membangkitkan perlawanan  fisik mulai dari Perang Diponegoro sampai dengan perang Kemerdekaan.

Rangkaian perlawan fisik bertransformasi menjadi perjuangan gagasan yang menjelma dengan berdirinya Budi Utomo (BU) tahun 1908. Perjuangannya telah melahirkan kesadaran  berbangsa–satu bangsa,satu tanah tanah air, dan satu bahasa yaitu Indonesia, yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. Perjuangan panjang tersebut telah mengantarkan Rakyat Indonesia ke Pintu Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sehari kemudian disahkan UUD 1945, Dasar Negara, dan pembentukan pemerintahan. Pasca-Kemerdekaan,  Belanda mencoba kembali menjajah Indonesia melalui Agresi Militer 1947 dan 1948. Pada akhirnya 27 Desember 1949, Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia. Dan pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan.

Pudarnya Ikatan  Kebangsaan

Janji Kemerdekaan sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial”.  Janji kemerdekaan ini telah dan sedang diupayakan oleh pemerintah yang datang silih berganti dengan segala dinamika yang menyertainya. Janji tersebut dirancang untuk memenuhi pemenuhan dalam beragam sisi kehidupan melalui upaya pembangunan.

Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat Gini Ratio — sekitar 0,388, artinya distribusi pendapatan masih  timpang. Di Indonesia terdapat segelintir orang terkaya yang memiliki kekayaan hinģga ratusan trilyunan rupiah — sementara sebagian besar masyarakat hanya memiliki penghasilan pas-pasan bahkan dibawah garis kemiskinan yang jumlahnya mencapai 24,6 juta atau 8,57 persen. Penyebabnya adalah adanya perbedaan tingkat pendidikan,seseorang dengan pendidikan tinggi lebih mudah memperoleh pekerjaan yang  lebih baik,dibanding dari keluarga miskin. Ketimpangan pendapatan dapat terjadi juga antar-kelompok,pendapatan masyarakat perkotaan rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pedesaan. Penyebabnya adalah akses pada sumberdaya dan fasilitas  di  perkotaan lebih mudah dan lebih baik dibanding dengan perdesaan.

Ketimpangan terjadi antar-wilayah Pulau Jawa menyumbang plus-minus 57,1 persen  terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia sedangkan Papua hanya sekitar 2,84 persen (BPS tahun 2024). Infrastruktur seperti jalan tol, bandara, dan akses internet lebih banyak di Jawa dibanding di Papua, Maluku, dan NTT. Pendapatan perkapita di Jakarta sebesar Rp.344,3 juta/tahun,sedangkab di NTT sebesar Rp.23,1 juta/tahun (BPS tahun 2023 dan 2024). Ketimpangan ini terjadi karena adanya ketimpangan infrastruktur– tol, pelabuhan, dan jaringan internet lebih banyak di wilayah barat (Jawa dan Sumatera). Industri, pusat perdangan, dan investasi terkonsentrasi di Pulau Jawa. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) tidak berpihak pada masyarakat lokal, hasil tambang di Papua dikelola perusahaan besar, tetapi keuntungan tidak banyak dinikmati masyarakat setempat.

Ketimpangan-ketimpangan tersebut mengakibatkan pudarnya ikatan kebangsaan yang ditandai oleh menurunnya rasa cinta tanah air dan lemahnya partisipasi politik yang ditunjukan dalam kehadirannya dalam Pemilu dan sosial masyarakat yang diwujudkan dalam kehidupan sosial. Indikasi lainnya adalah meningkatnya konflik horizontal (antar-suku, agama, dan golongan). Tidak adanya kebanggaan dalam menggunakan dalam negeri lebih menyukai produk luar dan tidak menghargai  simbol nasional. Indikasi berikutnya adalah menguatnya separatisme berupa perlawanan kepada pemerintah yang sah dan menguatnya sentimen kesukuan dan keagamaan.

Merawat Rasa Kebangsaan

Lantas apa dampak dari pudarnya rasa kebangsaan?  Dampaknya adalah terancamnya keutuhan wilayah dan persatuan nasional,adanya polarisasi sosial-politik,masyarakat terbelah dalam kelompok yang saling bermusuhan. Pudarnya rasa kebangsaan berdampak juga pada menurunnya stabilitas nasional, karena adanya ketidakadilan dan hilangnya jatidiri bangsa, budaya local, dan simbol nasional kehilangan makna. Bila memudarnya rasa kebangsaan  tidak antipasi secara sungguh-sungguh melalui  langkah tepat dan strategis dapat menimbulkan implikasi yang lebih serius lagi.

Langkah strategis untuk mencegah memudarnya rasa kebangsaan adalah dengan  menghadirkan rasa keadilan ditengah-tengah masyarakat. Langkah itu dapat dilakukan dengan  pemihakan atau afirmasi dalam pembangunan bagi kawasan yang selama ini terabaikan khususnya diwilayah timur Indonesia (Papua, Maluku, dan NTT). Pemihakan perlu dilaksanakan pada pelayanan dasar yang terkait dengan pendidikan,kesehatan dan infrastruktur dasar. Dengan terbangunnya pelayanan dasar, kita tidak lagi disuguhi pemandangan yang memilukan yaitu anak-anak kita  yang kurus kerontang karena kurang gizi dan anak-anak sekolah di Kawasan Timur Indonesia  bertarung dengan kematian melewati jembatan gantung dan sampan menyebrang sungai untuk mencapai sekolahnya.

Keberpihakan juga perlu dipastikan bagi kelompok rentan yaitu masyarakat miskin yang berdomisili di perkotaan dan pedesaan.Pendekatan dengan pola belas kasihan dalam bentuk Bantuan Sosial–BLT, PKH, BNPT– yang menciptakan ketergantungan perlu dievalusi dan  diganti dengan  metodologi yang lebih memberdayakan. Masyarakat miskin harus naik kelas secara bertahap, agar tidak menjadi beban terus menerus. Keberpihakan juga harus mewujud bagi kelompok-kelompok usaha yang dikelola oleh perempuan melalui program dan kegiatan ekonomi. Kelompok yang perlu mendapat perhatian juga  adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus (disabilitas) dengan memastikan adanya akses pada fasilitas publik.  Untuk memenuhi janji Kemerdekaan — sebagaimana tertuang dalam Pembukaan  UUD 1945 dapat secara bertahap terwujud dengan cara menghadirkan  rasa keadilan dalam berbagai sisi kehidupan  ditengah-tengah masyarakat. Upaya menghadirkan rasa keadilan  adalah bentuk hakiki dari merawat Rasa Kebangsaan Kita. Wallahu ‘Alam Bi Sowab

*Konsultan Pemberdayaan Masyarakat dan Dewan Pembina Yayasan Pembangunan Mahasiswa Islam Insan Cita  (YAPMIC) Ciputat

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *