Indonesia Mengayuh antara Dua Poros: BRICS Menuju Tatanan Global Baru

Oleh: Kurniawan Zulkarnain*

Kesepakatan tarif antara Amerika Serikat dengan Indonesia 19 persen  diumumkan oleh Presiden Trump melalui Truth Platform tanggal 15-16 Juli 2025 — menggantikan tarif ancaman 32 persen yang dijadwalkan berlaku per 1 Agustus 2025. Pemberlakuan 19 persen untuk semua barang ekspor Indonesia ke AS dan sebaliknya AS memperoleh imbalan akses bebas tarif dan hambatan non-tarif kepada ekspor produk Amerika ke Indonesia. Negoisasi lanjutan,pemerintah Indonesia masih membahas secara rinci,termasuk kemungkinan pengecualian untuk ekspor untuk produk Indonesia lainnya. Dalam lanskap perekonomian Indonesia — apakah BRICS menjadi peluang yang  dapat meringankan beban?

Di tengah-tengah  dinamika geopolitik yang semakin kompleks, Indonesia menghadapi peluang sekaligus dilema. Di satu sisi, G7—kelompok negara-negara industri maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Jepang—masih memegang peranan besar dalam urusan global. Di sisi lain, muncul BRICS, blok negara berkembang yang semakin percaya diri menggugat struktur kekuasaan internasional yang selama ini didominasi Barat.

BRICS, yang awalnya terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, kini tengah memperluas pengaruhnya. Dengan keanggotaan baru seperti Iran, Mesir, Arab Saudi, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab, serta menyusul keikutsertaan Indonesia, blok ini bukan lagi forum alternatif—melainkan kanal baru yang serius membentuk arah baru dunia.

Secara demografis, BRICS mencakup hampir separuh populasi global. Berdasarkan Paritas Daya Beli (PPP), kontribusinya terhadap PDB dunia kini mencapai sepertiga. Meski nominal PDB-nya masih tertinggal dibanding G7 (27 persen  vs 43 persen), tren menunjukkan pergeseran kekuatan ekonomi global ke kawasan Selatan dan Timur.

Bagi Indonesia, keterlibatan dalam BRICS menghadirkan banyak potensi: akses pendanaan infrastruktur dari New Development Bank (NDB), kerja sama perdagangan dengan pasar besar seperti India dan Tiongkok, serta peluang kolaborasi teknologi dalam bidang energi hijau, digitalisasi, dan kendaraan listrik. Dalam konteks ini, BRICS bisa dipandang sebagai kendaraan untuk mendongkrak industrialisasi nasional, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam tatanan global yang tengah berubah.

Namun demikian, perlu dicermati bahwa BRICS bukanlah aliansi yang utuh secara ideologis. Di dalamnya terdapat berbagai kepentingan besar yang kadang saling berseberangan. Tiongkok dan India bersaing secara diam-diam, Rusia membawa beban geopolitik pasca-Ukraina, sementara Brasil kerap menampilkan arah kebijakan yang fluktuatif. Ini menandakan bahwa konsensus dalam BRICS tak semudah yang dibayangkan.

Peluang Indonesia yang Masih Perlu Dirajut

Indonesia, sebagai negara demokrasi besar dan motor ekonomi Asia Tenggara, harus menempatkan diri secara strategis. Bergabung dalam BRICS sebaiknya bukan keputusan simbolik atau semata karena tren. Pemerintah perlu menyusun strategi diplomatik dan ekonomi jangka panjang yang menjamin bahwa keikutsertaan ini akan menghasilkan manfaat nyata—bukan sekadar menambah daftar aliansi internasional.

Risiko geopolitik juga patut diperhitungkan. Keikutsertaan dalam BRICS berpotensi menimbulkan friksi dengan negara-negara G7, terutama jika posisi Indonesia terlihat terlalu condong pada satu poros. Dalam era multipolar saat ini, kemampuan untuk menjaga keseimbangan adalah kunci. Indonesia harus tetap memegang prinsip non-blok yang menjadi warisan Konferensi Asia-Afrika dan dasar politik luar negerinya sejak awal kemerdekaan.

Hal lain yang perlu ditegaskan dan dirajut adalah soal agenda nasional. Bergabung ke BRICS bukan hanya soal memperluas jaringan diplomatik, tetapi juga menguji kesiapan internal: apakah sistem keuangan kita siap menghadapi dedolarisasi? Apakah industri lokal mampu menyerap alih teknologi dari mitra BRICS? Dan apakah kebijakan luar negeri kita cukup luwes untuk tetap bersuara independen di tengah tarik-menarik kekuatan besar?

Dalam konteks global saat ini, G7 masih menjadi penjaga sistem ekonomi yang mapan—berbasis dolar, institusi Bretton Woods, dan dominasi pasar terbuka. Sementara BRICS mencoba menawarkan paradigma baru, dengan semangat kesetaraan dan pembangunan Selatan sebagai narasi utama. Indonesia tidak harus memilih di antara keduanya. Justru kekuatan Indonesia terletak pada kemampuannya menjaga jarak yang efektif, sambil tetap menjalin kerja sama strategis dengan semua pihak.

Keputusan bergabung dengan BRICS adalah momen penting yang menuntut ketajaman analisis dan keberanian mengambil posisi. Ini bukan semata soal arah angin global, melainkan soal bagaimana Indonesia mendefinisikan ulang perannya di panggung internasional—tidak sebagai objek dari tarik-menarik kekuasaan, melainkan sebagai aktor dengan agenda yang jelas. Wallahu ‘Alam Bi Sowab.

*Konsultan Pemberdayaan Masyarakat dan Dewan Pembina Yayasan Pembangunan Mahasiswa Islam Insan Cita (YAPMIC) Ciputat

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *