Renungan Malem Jemuwah: Dimensi Shalat (bag-1)

Oleh: Anwar Rosyid  Soediro*

A.Dimensi Transenden-Imanen

Dimensi Tansendent Shalat — Manusia sebagai hamba harus bertemu Tuhan dengan segenap keberadaannya, karena Tuhan adalah sumber Wujud dari segala sesuatu; sehingga makna ayat; Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah/Walladzina amanu asyaddu hubba al-lillah (QS. Al-Baqarah/2: 165).

Maka perintah, seseorang yang beriman mengasihi Tuhan dengan segenap kekuatan;  Bukan sekadar gerakan fisik, tetapi juga komunikasi spiritual antara hamba dan Tuhannya (tawajjuh munajat), yang melibatkan hati, pikiran, dan jiwa, saat dalam mendirikan shalat tersebut  terjadi proses penghambaan kepada Tuhan Sang Pencipta sebagai jalan menuju kesempurnaan, ( QS. al-An’am ayat 102-104).

Dimensi fisik manusia yang mencirikan secara de facto adalah bahwa dia hidup untuk hal-hal lahiriah dan lebih jauh lagi cenderung kepada kesenangan; inilah penampilan luar dan nafsu birahi (libido) dalam dirinya. Nafsu rendah ini harus ditinggalkannya ketika shalat dan ber-do’a menghadapan Tuhan, karena; pertama-tama Tuhan yang transenden hadir di dalam diri manusia, dan kedua, imanen yakni kedekatan kehadiran Tuhan yang telah menyatu dalam diri manusia (omni present), maka seorang yang mendirikan shalat harus mampu menemukan ketenangan, kesenangan, bahagiaan di dalam dirinya sendiri dan terlepas dari fenomena indrawi.

Pengendalian diri baik dalam tindakan maupun pikiran mencerminkan kemampuan untuk mengatur emosi serta mengelola dorongan-dorongan dari dalam diri. Pengelolaan nafsu ini bertujuan untuk menyalurkan energi emosional ke arah yang positif dan bermanfaat, dengan fokus utama pada pengendalian secara sehat dan terarah. Sehingga segala sesuatu atau sarana yang mendekatkan seseorang kepada Tuhan turut merasakan kebahagiaan-Nya. Oleh karena alasan itu; mendirikan shalat, dengan memanjatkan doa, di atas swasana dan kebisingan jiwa adalah jalan pembebasan melalui Kehampaan (hening) dan Ketidakterbatasan ilahi; itulah stasiun (maqom) ketenangan.

Maqom ketenangan tersebut menjadi benar jika fenomena lahiriah manusia, tercermin melalui keluhuran dan simbolismenya dan partisipasinya dalam Arketipe Surgawi (gambaran dunia spiritual), dapat memiliki kebajikan yang menginternalisasi, dan berpengaruh pada setiap hal yang turut bersamanya (lingkungan sosialnya), lingkungan (sosial) jalan yang dilewati akan ikut menjadi baik pada waktunya.

Meskipun demikian, pelepasan  nafsu duniawi harus diwujudkan; Jika tidak, manusia tidak akan memiliki hak atas penampilan lahiriah yang sah, dan jika tidak, manusia akan terjerumus ke dalam penampilan lahiriah yang menggoda dan nafsu yang mematikan jiwanya.

Hal ini disebutkan dalam al-Qur’an; Inna shalata tanha ‘anil fahsyai wal munkar, Shalat hakikatnya mencegah perbuatan keji (merusak diri sendiri) dan mungkar (medholimi orang lain), (QS. Al-Ankabut ayat 45)

Sebagaimana Sang Pencipta, melalui transendensi-Nya, independen dari ciptaan, demikian pula manusia harus independen dari dunia dalam pandangan Tuhan. Kehendak bebas adalah anugerah bagi manusia; hanya manusia yang mampu melawan naluri dan nafsu keinginannya yang dapat memperoleh Kehendak Bebas dari Tuhan. (Bersambung)

*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM Yogyakarta

  Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *