Prabowo, Abolisi, dan Kejayaan Baghdad

Oleh: Helmi Hidayat, M.Si

Dalam sejarah Islam — salah satu khalifah Abbasiyah yang sangat terkenal berjiwa besar memaafkan musuh-musuh politiknya adalah Abu Ja’far Harun bin Muhammad al-Mahdi. Dia lebih dikenal sebagai Harun al-Rasyid – Harun yang adil atau Harun yang jujur. 

Keadilan Harun terlacak sejak dia berkuasa di Baghdad pada September 786. Langkah pertama yang dia lakukan setelah dilantik sebagai khalifah adalah memberikan Abolisi kepada Dinasti Umayyah dan semua keturunan Ali bin Abi Thalib yang dipenjarakan oleh saudaranya, Al-Hadi, lalu menghadiahkan Amnesti kepada semua kelompok politik dari keturunan Bani Quraisy. Akibatnya fantastis: Baghdad secara politik stabil sampai Harun wafat pada Maret 809.

Pasca pemberian Abolisi dan Amnesti itu, kelompok Sunni dan Syiah hidup damai berdampingan. Rakyat Bani Abbasiyah yang tinggal di Asia Barat hingga Afrika Utara, mulai dari Hijaz, Yaman, Oman, Kuwait, Irak, Iran, Yordania, Palestina, Lebanon, Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, Spanyol, Afganistan, Pakistan, sampai sebagian wilayah Turki, India, dan China mengungkapkan trust mereka pada Baghdad. Mereka yakin saat khalifah menegakkan hukum, itu bukan karena politisasi dan kriminalisasi, tetapi karena kebenaran memang harus  dibela, kemungkaran harus ditebas.

Khalifah Harun sendiri percaya bahwa sekali sebuah vonis dijatuhkan akibat politisasi dan kriminalisasi hukum, dampaknya adalah pembusukan moral. Politisasi hukum hanya membuat rakyat tidak lagi percaya adanya kepastian hukum, memusuhi penegak hukum, dan ujung paling tragis adalah gemar main hakim  sendiri. Ini adalah Barbarianisme. Jika ini terjadi, Baghdad tinggal menunggu kehancuran.

Otak di balik semua kebijakan cemerlang itu adalah Yahya bin Khalid — salah satu pentolan keluarga Barmaki keturuan Persia dari Khurasan.  Dia dijadikan guru politik oleh Harun, dihormati, bahkan dianggap sebagai orangtua sendiri. Harun dijuluki Al-Rasyiid yang berarti jujur sebab dia tidak mau cawe-cawe dalam struktur pemerintahan. Perkara jabatan dari tingkat pusat sampai daerah dipercayakan kepada perdana menterinya, Yahya bin Khalid, dan keluarga Barmaki itu.

Bahkan, Harun memberi kepercayaan penuh pada Yahya untuk menjaga adik perempuannya, Abbasah binti Al-Mahdi. Ini adalah sebuah kepercayaan yang tidak tanggung-tanggung dari seorang Kaisar yang berkuasa penuh atas hampir separuh planet Bumi saat itu.

Sejarah mencatat, Baghdad maju menjadi kota megapolitan di zamannya sebab Harun adalah seorang multikulturalis sejati. Dia tidak segan-segan mengangkat seorang penasihat politik sekaligus perdana menteri dari kalangan bukan Arab. Dengan itu Harun tengah mengangkat Islam dalam jatidiri yang sesungguhnya, yakni agama yang tidak pernah mengajarkan kultus ras dan dominasi suku, bahwa suku Arab tidak lebih tinggi dibanding non-Arab, bahwa Sunni tidak lebih Islami dibanding Syiah atau sebaliknya.

Jika dulu Khalifah Harun pernah memberikan Abolisi dan Amnesti pada lawan-lawan politiknya, kini di Indonesia Presiden Prabowo Subianto baru saja melakukan kebijakan yang sama. Presiden Prabowo memberikan Amnesti kepada 1.116 terpidana, salah satunya Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, dan memberikan Abolisi kepada Thomas Lembong.

Amnesti adalah pengampunan, sedangkan Abolisi merupakan penghapusan tuntutan pidana. Kewenangan ini diberikan kepada seorang Presiden Republik Indonesia oleh UUD NRI 1945 lewat Pasal 14 ayat (2) yang menyebutkan: Presiden memberi Amnesti dan Abolisi dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Banyak orang memuji kebijakan Prabowo di tengah suhu politik yang memanas. Secara prinsipil, Amnesti memang diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang atas tindak pidana yang bernuansa politik dan dianggap mencerminkan kebutuhan rekonsiliasi atau kepentingan strategis negara, termasuk stabilitas nasional atau politik. Keputusan Prabowo dianggap tepat dan cepat sebab sejak awal banyak pihak mengendus persidangan Hasto sangat dipaksakan dan kental aroma politik. Jika bara politik ini tidak segera diredam, sangat mungkin dia menjadi letusan api.

Apalagi terhadap persidangan Tom Lembong, banyak orang sejak awal marah. Pertama, majlis hakim sendiri yang mengakui Tom sama sekali tidak menikmati hasil apa pun baik dalam bentuk suap maupun keuntungan pribadi dari kebijakannya mengimpor gula mentah. Kedua, hakim menyebut salah satu hal yang memberatkan vonis Tom Lembong adalah bahwa dia, berdasarkan UUD NRI 1945, terkesan mengedepankan sistem ekonomi kapitalis ketimbang sistem Ekonomi Pancasila.

Keputusan hakim itu tentu saja aneh jika merujuk pada pernyataan mantan Presiden Jokowi. Kepada media massa, lelaki asal Solo ini mengakui kebijakan impor gula itu datang dari dirinya sebagai presiden, tetapi secara teknis dilakukan oleh kementerian. Jadi, kalau Tom Lembong divonis bersalah akibat kebijakannya tidak sesuai dengan sistem Ekonomi Pancasila, mestinya Jokowi pun ditangkap lalu dibawa ke persidangan yang sama untuk dijatuhi vonis dengan tuduhan yang sama: antisistem ekonomi Pancasila!

Untunglah, sebelum persoalan hukum berbau anyir politik ini merebak menjadi kemarahan nasional, Prabowo segera mengeluarkan senjata pamungkasnya sebagai kepala negara: Amnesti dan Abolisi. Rakyat yang marah mulai tenang, kepercayaan publik mulai terbangun lagi, dan pada gilirannya stabilitas nasional mulai terjaga. Tetapi, apakah keberanian Prabowo ini bakal menghasilkan buah ranum seperti yang pernah dipetik Khalifah Harun Al-Rasyid saat memberikan Amnesti dan Abolisi kepada musuh-musuh politiknya?

Tunggu dulu. Untuk membuat Bani Abbasiyah bergemerlap, Harun Al-rasyid ternyata tidak hanya memberi Amnesti dan Abolisi. Harun juga mendirikan perpustakaan legendaris Baitul Hikmah di Baghdad, yang di atas fondasinya semua isi pikiran bisa ditumpahkan, semua logika bisa disampaikan, semua suara tidak dibungkam. Bersama kebebasan dan penghormatan atas hak asasi manusia itu, Baghdad lalu bergerak menjadi pusat pengetahuan, pusat budaya, bahkan pusat perdagangan dunia.

Tetapi, di tengah kemewahan internasional itu, diam-diam Perdana Menteri Yahya bin Khalid dan keluarga Barmaki menari-nari di atas harta korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mentang-mentang diberi kekuasaan penuh, Yahya tidak segan-segan menempatkan keluarga Barmaki baik sebagai menteri maupun gubernur di banyak provinsi strategis. Jika ada calon gubernur dari luar keluarga Barmaki, mereka pasti harus memberi setoran pada Yahya. Walhasil, dia mampu membangun rumahnya bak istana megah di Baghdad.

Setelah Yahya pensiun, posisi perdana menteri diserahkan pada anaknya, Ja’far bin Yahya. Ketika kelakuan Ja’far melebihi ayahnya dalam berkuasa, Harun tetap diam sebab kecintaannya pada Yahya dan keluarga Barmak sangat besar. Tetapi, ketika anak Yahya yang lain, Musa bin Yahya, memimpin kerusuhan di Khurasan, Harun tidak bisa lagi tinggal diam. Dia menangkap Musa dan bertekad memenjarakannya. Tetapi Yahya bersama istrinya datang menghadap Khalifah dan mohon ampun. Khalifah Harun menerima permohonan maafnya dengan syarat, Yahya menjadi tahanan kota sebagai jaminan.

Kebejatan akhlak keluarga Barmaki tidak berhenti di situ. Diam-diam, Ja’far bin Yahya membuat adik khalifah, Abbasah binti Al-Mahdi, mabuk lalu menyetubuhinya hingga hamil. Anak haram mereka diungsikan ke Makkah. Tetapi skandal ini akhirnya tercium oleh Harun. Hati Khalifah sangat terluka lalu dia bertabayun ke Makkah di musim haji. Begitu desas-desus di Baghdad terverifikasi, khalifah seperti mendengar petir di siang bolong.

Pulang ke Baghdad, Khalifah Harun bersikap wajar kepada keluarga Barmaki, seolah tidak terjadi apa pun. Dia lalu mengajak tentaranya bergerak bersama seluruh keluarga Barmaki ke wilayah bernama Anbar, ibukota lama Bani Abbasiyyah. Saat malam tiba, Khalifah Harun memerintahkan tentaranya memenggal kepala perdana menterinya, Ja’far bin Yahya, lalu menyeret semua keluarga Barmaki termasuk Yahya bin Khalid ke penjara bersama tahanan para budak.

Tidak cukup sampai di situ, Harun juga memerintahkan semua gubernurnya menangkap seluruh keluarga Barmaki di mana saja mereka berada, melucuti semua kekayaan mereka, juga membekuk semua loyalis Yahya.  Pulang ke Baghdad, Harun memerintahkan kepala Ja’far bin Yahya digantung di jembatan tengah  kota agar semua penduduk melihatnya. Tubuhnya dibelah dua, satu bagian dibiarkan tergeletak di sisi kanan jembatan, satu bagian lain diletakkan di sisi kiri jembatan.

Untuk membuat Baghdad bersinar gemerlap seperti dicatat sejarah, Khalifah Harun tidak bisa bertoleransi kepada orang yang bisa berkhianat kepada orang yang pernah mempercayainya. Dia sadar, sekali seseorang berkhianat, apalagi kepada orang yang pernah berjasa kepadanya, orang dengan karakter pengkhianat itu bakal dengan mudah menusuknya dari belakang sambil tersenyum.

Jika Prabowo ingin Indonesia bergemerlap seperti Bani Abbasiyyah di era Harun Al-Rasyid, dia tidak cukup berbangga dengan Abolisi dan Amnesti yang baru dilakukannya. Jenderal Prabowo harus berani dan tegas kepada semua pelaku korupsi, kolusi,dan nepotisme, terutama kepada orang dengan mental pengkhianat!

*Dosen Ilmu Komunikasi FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Filsuf,  dan Pengamat Sosial

  Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *