Refleksi Indonesia 80 Tahun: Antara Realita dan Impian

Oleh: Kurniawan Zulkarnain*

Tanggal 17 Agustus 2025 menjadi penanda 80 tahun perjalanan Republik Indonesia sejak pernyataan bersejarah Proklamasi 17 Agustus 1945. Delapan dekade bukan waktu yang sekejap dalam menapaki sejarah sebuah bangsa. Rentang waktu yang penuh dinamika dan suka dan duka: perjuangan dan pergolakan serta  pencapaian  terhadap cita-cita maupun usaha keras untuk mewujudkannya. Momen ini menjadi titik refleksi kritis untuk berhenti sejenak dan berkomtemplasi — menilai ulang sudah sejauh mana Indonesia memenuhi janji-janjinya—yang diikrarkan oleh para pendiri bangsa tentang kemerdekaan, keadilan sosial, persatuan, dan martabat kemanusiaan.

Sebuah janji Kemerdekaan,sebagaimana teruang pada pembukaan Undang-undang  Dasar 1945 yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian dan keadilan sosial”. 

Untuk memenuhi janji Kemerdekaan dilakukan  tapak demi tapak ibarat membangun rumah—dari fondasi, dinding hingga atap. Pemerintah silih berganti dengan membawa karakter masing-masing. Ada yang bercorak demokratis, otoriter, dan campuran diantara keduanya. Tidak perlu disesali, biarlah sejarah mencatatnya. Aspirasi dan harapan rakyat diserap dan dirumuskan dalam wujud Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) untuk  jangka waktu 20 Tahun,yang kemudian diurai menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk jangka waktu 5 tahun dan jabarkan dalam Rencana Kerja Pembangunan (RKP) untuk jangka waktu tahunan.

Jenis perencanaan yang sama dilakukan juga ditingkat daerah dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Pada Era Orde Baru, Indonesia punya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk jangka waktu 5 tahun, tetapi dengan visi jangka panjang, yang dirinci menjadi Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA), yang dirancang secara berulang.  Pada Era Orde Lama, Rencana Pembangunan Nasional dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT), kemudian berganti nama menjadi Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana (Repelita Semesta Berencana) untuk jangka waktu 8 tahun (1961-1969). Sekali lagi biarlah sejarah mencatatnya, bagi saya  apalah arti sebuah nama seperti kata pepatah dalam Kisah Romeo dan Yuliet– William Shekespeare says What is a name. Apalah arti sebuah nama yang utama apakah rencana itu dapat memenuhi harapan rakyat?

Perjalanan Panjang, Sudah Dimanakah Indonesia Berada?

Beragam krisis yang menghadang perjalanan bangsa dalam kurun waktu 80 tahun. Krisis politik berupa serangkaian pemberontakan PKI Madiun tahun 1948, pemberontakan DI/TII,PRRI/Permesta) tahun 1950-an, Gerakan 30 September (G30S)/PKI tahun 1965-1996 merupakan krisis politik besar yang mengubah arah pemerintah Indonesia. Gerakan Reformasi dan kejatuhan Orde Baru tahun 1998 yang memicu krisis kepercayaan. Disamping itu, terjadi pula krisis ekonomi, pada tahun 1960-an terjadi hyperinflasi-inflasi hingga lebih dari 600 persen menyebabkan kesulitan ekonomi rakyat.Tahun 1997-1998 terjadi krisis moneter (krismon) nilai rupiah anjlok dan pengangguran melonjak tajam. Pada  tahun 2020-2021, terjadi COVID-19 yang menyebabkan terjadi kontraksi ekonomi, jutaan orang kehilangan pekerjaan dan pelemahan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Krisis-krisis tersebut, tidak menyurutkan perjalanan panjang bangsa.  Adapun kemajuan atau capaian pembangunan sebagai sebuah perjalanan panjang Indonesia 80 tahun. 

Pertama: Capaian utama Bidang Ekonomi sebagaimana dicatat oleh Bappenas, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia, dan analisis Para Ekonom adalah: (i). Pertumbuhan ekonomi kita terus bergerak konsisten di kisaran 5,1–5,3 persen untuk periode 2023-2025, pasca Covid 19;  (ii).  PDB (Produk Domestik Bruto) meningkat: pada tahun 1950 sekitar Rp 13 triliun (harga berlaku), dan pada tahun 2024 sekitar Rp.20.892 trilyun. Indonesia menjadi ekonomi terbesar ke-16 (menurut IMF 2023); (iii). Struktur perekonomian kita berubah: tahun 1950-1970 dominan sektor pertanian, kini dominasi sektor jasa sekitar (44 persen) dan industri pengolahan (sekitar 19 persen; (iv) Pada tahun 2022–2023, neraca pembayaran surplus selama lebih dari 40 bulan berturut-turut; (v) Pada masa krisis 1998, angka kemiskinan mencapai 24 persen, sekarang berkurang menjadi sekitar 8,57 persen (BPS, Maret 2025), Gini  Rasio Indonesia sebesar 0,381 (September 2024), dan tingkat pengangguran terbuka (TPT),menurun menjadi sekitar 4,76 secara absolut mencapai sekitar 7,28 Juta. (Maret 2025). (vi) Inflasi terjaga dalam rentang target yang ditetapkan Bank Indonesia (2–4 persen); (vii) Rasio utang pemerintah terhadap PDB, sekitar 38,7 persen  (masih dalam batas aman di bawah 60 persen; (viii) Infrastruktur Ekonomi khususya percepatan pembangunan jalan tol, pelabuhan, bandara, bendungan, dan kawasan industri terbangun. 

Kedua: Capaian utama Bidang Pendidikan (1945-2025) menurut catatan  Bappenas, Kementerian Pendidikan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan berbagai kajian Para Ahli Pendidikan dapat dirangkum :  (i)  Akses pendidikan lebih merata : pada tahun 1945, mayoritas penduduk buta huruf, pada tahun 2024 angka melek huruf : >96 persen (usia 15 tahun ke atas) dan wajib belajar 12 tahun mulai diterapkan secara bertahap sejak  tahun 2013; (ii) Infrastruktur  pendidikan meningkat, ribuan sekolah dibangun di seluruh Indonesia; (iii) Kualitas guru meningkat, mayoritas guru kini telah bergelar Sarjana (S1); (iv) Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi pada tahun 2000 sebesar  ~11 persen dan pada tahun 2024: >34 persen  dan banyak Kampus Nasional masuk dalam pemeringkatan Asia dan dunia (misalnya UI, UGM, ITB); (v)  Program Beasiswa Unggulan yakni beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP); (vi) Akses Pendidikan Tinggi untuk anak Papua, Daerah Tertinggal,Terluar dan Terdepan (3T); (vii) Akses untuk  disabilitas (orang berkebutuhan khusus) meningkat; (viii). Anggaran Pendidikan meningkat, Konstitusi UUD 1945 mengamanatkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen, APBN 2024  sebesar ±Rp 665 triliun terealisasi (termasuk belanja pusat dan transfer ke daerah) (ix) Program Link and Match antara pendidikan dan industri mulai berjalan di banyak daerah.

Ketiga: Capaian utama Bidang Sosial Budaya, Politik dan Demokrasi, berdasarkan data resmi dan pandangan  para ahli serta evaluasi terhadap RPJPN dan RPJMN menunjukkan :(i). Lebih dari 11.000 karya budaya telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB); (ii) Penguatan identitas dan toleransi Budaya,konsolidasi semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” dalam pendidikan dan media; (iii) Sektor ekonomi kreatif menyumbang lebih dari 7 persen  PDB (terbesar di ASEAN); ((iv)  Setelah reformasi 1998, Indonesia berhasil melaksanakan  6 kali Pemilu secara langsung Nasional dan ratusan Pilkada; (v) Terciptanya sistem multipartai yang stabil dan keterbukaan media politik; (vi). Lembaga negara seperti Komisi Pemberantan Korupsi (KPK), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Ombudsman makin berperan dalam pengawasan pemerintahan; (vii). Pelaksanaan otonomi daerah sejak 2001 berhasil memperkuat peran pemerintah lokal dan daerah diberi wewenang dalam pengelolaan anggaran dan kebijakannya; (viii) Indonesia aktif dalam Gerakan 20 (G20), ASEAN, Organisasi Konprensi Islam (OKI), dan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB); (x) Sejak 2004, Presiden dipilih langsung oleh rakyat dengan partisipasi pemilih cukup tinggi (misalnya: 2019 mencapai 81 persen; (x) Lahir dan berkembangnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai bagian dari masyarakat Madani, gerakan sosial, dan aktivisme politik masyarakat berkembang, terutama pasca-reformasi.

Tantangan dan Pembelajaran untuk Indonesia yang lebih baik

Rintangan yang menghadang menjadi batu sandung dalam pelaksanaan pembangunan, rintangan itu dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar–internal dan eksternal. Rintangan internal berasal dari kondisi domestik berupa: lemahnya kapasitas birokrasi; lambatnya proses perizinan dan tidak efisien,korupsi menghambat efektivitas dan kredibilitas kebijakan.  Disamping itu kualitas SDM yang masih rendah dan adanya lonflik politik dan tarik-menarik kepentingan elite. Rintangan  Esternal (dari luar negeri) : Gejolak ekonomi global, krisis ekonomi internasional (misal: 1998 dan  COVID-19), fluktuasi harga komoditas ekspor-impor dan    persaingan ketat di pasar global. Disamping itu, perubahan iklim dan bencana alam. Rintangan baik internal maupun ekternal telah menimbulkan tantangan tersendiri dalam pelaksanaan pembangunan sekaligus pembelajaran.

Pertama, Bidang Ekonomi –menurut para ahli ekonomi antara lain Faisal Basri,MA, (Ekonom UI), Prof. Emil Salim (Ekonom Senior UI), Prof. Budiono (Ekonom UGM, Mantan Wapres—menyatakan bahwa  tantangan yang dihadapi: (i) Indonesia berisiko terjebak dalam middle-income trap jika pertumbuhan ekonomi stagnan dan tidak ditopang inovasi serta produktivitas, yang ditunjukkan  dengan kurangnya investasi di sektor bernilai tambah tinggi, ketergantungan pada komoditas mentah, Pendidikan dan keterampilan tenaga kerja yang belum optimal; (ii) Distribusi pendapatan yang timpang dapat memperlemah daya beli masyarakat dan menimbulkan instabilitas sosial, (iii) Adanya kesenjangan wilayah (Desa-Kota, wilayah Barat dan wilayah Timur); (iv) Terkonsentrasinya aset dan tanah pada kelompok elite  dan minimnya pemerataan akses ekonomi; (v). Indonesia harus bertransformasi menuju ekonomi hijau yang berkelanjutan agar tidak tertinggal dalam perdagangan global yang makin ramah lingkungan,karena adanya ketergantungan pada energi fosil dan lambatnya implementasi ESG (Environmental, Social, Governance); (vi)  Bonus demografi bisa menjadi berkah atau bencana, tergantung pada kualitas pendidikan dan lapangan kerja yang tersedia; (vii) Tantangan adanya mismatch antara pendidikan dan kebutuhan industri, tingkat pengangguran generasi muda cukup tinggi serta produktivitas tenaga kerja masih rendah.

Kedua, Bidang Pendidikan—dalam pandangan  para ahli pendidikan antara lain, Prof. Anindito Aditomo (Kepala Balitbang Kemendikbudristek), Prof. Fasli Jalal (Ahli Pendidikan dan mantan Wakil Mendiknas),  Prof. Mohammad Nuh (Mantan Mendiknas)—menyatakan : (i) Tantangan terbesar adalah adanya kesenjangan kualitas antar wilayah dan antar kelompok sosial yang ditandai oleh kualitas guru yang tidak merata, fasilitas sekolah di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) sangat rendah dan akses internet dan perangkat digital belum merata; (ii) Hasil Asesmen Nasional dan Pogramme for Internatonal Student Assesment (PISA) menunjukkan rendahnya kemampuan literasi dan numerasi siswa yang ditunjukan oleh fokus pembelajaran masih bersifat hafalan bukan pemahaman; (iii) Kesenjangan capaian antar sekolah dan antar daerah serta kurikulum belum sepenuhnya membangun berpikir kritis; (iv) Relevansi Pendidikan dengan dunia Kerja tidak saling terhubung yang ditandai oleh sistem pendidikan belum sepenuhnya menyiapkan siswa untuk kebutuhan dunia kerja abad ke-21; (v)  Kualitas Pendidikan Tinggi dan Riset masih lemah, dimana pendidikan tinggi belum menjadi pendorong utama inovasi dan riset nasional, dana riset masih sangat rendah dibanding negara lain.

Ketiga, Bidang  Sosial, Budaya, dan demokrasi di Indonesia menurut para Ahli seperti  (i) Prof. Bambang Shergi Laksmono (UI), Dr. Imam Prasodjo (Sosiolog UI), dan Prof. Jeffrey Winters (Northwestern University). Pandangan mereka dapat diringkas : (i) Ketimpangan ekonomi dan akses  pada layanan dasar (pendidikan, kesehatan) menjadi penyebab utama konflik sosial dan marginalisasi kelompok rentan; (ii) Arus urbanisasi yang tidak terkendali, menyebabkan disintegrasi sosial, melemahnya ikatan komunal, dan munculnya masalah identitas serta alienasi sosial; (iii). Tumbuhnya radikalisme berbasis agama di ruang-ruang sosial karena lemahnya pendidikan toleransi dan kontrol digital; (iv) Globalisasi menyebabkan westernisasi nilai dan budaya pop asing yang bisa menggerus nilai-nilai lokal dan kurangnya Literasi Budaya; (v) Pentingnya penguatan pendidikan seni dan sastra agar generasi muda tidak terasing dari warisan budaya mereka; (vi). Demokrasi Indonesia lebih banyak berfokus pada ritual elektoral, bukan pada pemberdayaan warga dan keadilan sosial; (vii). Indonesia sebagai “oligarki demokratis” di mana elite kaya mendominasi politik lewat modal dan media; (ix) Maraknya hoaks dan politik identitas memecah belah masyarakat serta merusak kualitas deliberasi publik dalam Pemilu.

Agenda Utama Menuju Indonesia Maju yang Berkeadilan

Indonesia maju yang berkeadilan adalah sebuah konsep yang merujuk pada kondisi ideal bangsa Indonesia yang telah mengalami transformasi besar dalam berbagai bidang — ekonomi, sosial, politik, budaya, dan teknologi — menuju masyarakat yang maju, adil, makmur, dan berdaulat.  Negara yang mampu mengelola ; (iii). Membangun Sistem perlindungan sosial universal dan tangguh; (iv). Memastikan terbangun sistem mitigasi perubahan iklim dan bencana serta pelestarian lingkungan hidup.

Dengan terlaksananya agenda utama tersebut,diharapkan dapat mewujudkan Indonesia maju  yang berkeadilan. Adapun ciri-cirinya–menurut  pandangan para ahli— adalah ekonomi yang berdaya saing global, berbasis inovasi dan industri hijau. Pendidikan dan kesehatan merata,kualitas SDM tinggi. Aspek politiknya dicirikan oleh demokrasi substansial, supremasi hukum kuat dan tingginya partisipasi warga.  Penggunaan teknologi berupa tehnologi digitalisasi luas, dalam kehidupan sehari-hari. Menguatnya  identitas nasional, tetapi terbuka terhadap perubahan global. Pembangunan dilakukan secara berkelanjutan, mengutamakan dialog, Pemerintah yang menjunjung etika, transparan, dan berintegritas, serta tindakannya berbasis nilai-nilai moral. Wallahu ‘Alam Bi Sowab.

*Kosnsultan Pemberdayaan Masyarakat dan Dewan Pembina Yayasan Pembangunan Mahasiswa Islam Insan Cita (YAPMIC) Ciputat

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *