Sektor Informal: Jaring Pengaman di Masa Krisis

Oleh:Kurniawan Zulkarnain*

Dalam lanskap perekonomian Indonesia, dikenal adanya tiga pelaku ekonomi yaitu : Pertama, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) – mewakili peran negara/pemerintah dalam mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.  Kedua, Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) – pihak swasta yang menjalankan kegiatan ekonomi untuk memperoleh keuntungan, dan  Ketiga yaitu Koperasi – badan usaha yang berlandaskan asas kekeluargaan dan gotong royong, bertujuan  meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Sektor Informal tidak termasuk didalamnya, kendatipun sektor ini menurut laporan Bank Dunia, rata-rata ekonomi informal Indonesia menyumbang sekitar 36 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) selama periode 2011–2019 — hal ini  juga dikonfirmasi oleh opini The Jakarta Post (April 2025).

Dalam pandangan, Sri-Edi Swasono (Guru Besar UI dan Mantan Ketua Dewan Koperasi Indonesia-DEKOPIN-) sektor informal dikenal sebagai bentuk ekonomi kerakyatan yang tumbuh dari kreativitas rakyat, sering kali tanpa dukungan negara. Dia mengkritik pandangan yang meremehkannya, karena sektor ini justru menjadi sumber penghidupan mayoritas rakyat Indonesia. Sementara itu,menurut Julius Herman Boeke (Ekonom Belanda) bahwa  bahwa sektor informal di negara berkembang muncul karena adanya dua sistem ekonomi yaitu sektor moderen (formal) berdampingan dengan sektor tradisional (informal), tetapi keduanya tidak sepenuhnya terintegrasi.

Awal mula munculnya sektor informal erat kaitannya dengan perubahan ekonomi dan sosial di negara berkembang, termasuk Indonesia. Fenomena ini mulai dikenal luas setelah ILO (International Labour Organization) memperkenalkannya dalam studi tentang pasar kerja di Afrika Timur tahun 1972. Pada masa kolonial, banyak masyarakat yang bekerja di sektor pertanian subsisten atau sebagai pedagang kecil karena kesempatan kerja formal (pabrik, administrasi, perusahaan besar) sangat terbatas dan biasanya hanya terbuka untuk kalangan tertentu. Aktivitas ekonomi rakyat ini berlangsung di luar sistem upah formal dan tidak tercatat dalam statistik resmi. Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan adanya kesenjangan pembangunan antara wilayah perkotaan dan perdesaan  telah mendorong proses urbanisasi yang pada ujung menambah jumlah pelaku sektor informal. 

Sektor Informal Sebagai Jaring Pengaman di Masa Krisis

Biro Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa angka kemiskinan pada bulan Maret 2025 sebesar 8,47 persen atau setara dengan  23,85 juta, sementara tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 4,76 persen  setara dengan  7,28 Juta. Kemiskinan dan pengangguran disebabkan oleh faktor yang saling kait mengait—multidimensi– ,secara struktural karena adanya kesenjangan distribusi aset dan sumberdaya, ketimpanagan pembangunan antara kota-desa dan antarwilayah  serta struktur ekonomi yang pada modal bukan padat karya. Ketika negara belum mampu menyediakan atau menciptakan lapangan pekerjaan secara memadai, sektor informal hadir menawarkan sebuah solusinya. Perkiraan para ahli dan lembaga resmi, sektor informal mampu menyerap sekitar 86,58 juta orang,setara dengan 59,40 persen dari total pekerja di Indonesia.

Dalam situasi krisis seperti krisis moneter (Krismon) tahun 1997-1998 dan krisis Pandemi COVID-19 tahun 2020-2022, sektor informal mampu berfungsi sebagai jaring pengaman safety net)  melalui  penyediaan lapangan  kerja alternatif yang menampung pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau tidak terserap oleh sektor formal. Usaha informal seperti pedagang kaki lima, ojek, usaha rumahan, tukang pangkas, rumah makan, ojek online (Ojol) dan banyak lagi, dapat langsung mengoperasikan usahanya. Sektor ini  mampu beradaptasi dengan daya beli masyarakat yang menurun. Pemasaran  usaha informal ini memanfaatkan modal sosial yaitu jaringan keluarga, tetangga, dan komunitas menjadi modal untuk memulai usaha.

Kelebihan apakah yang dimiliki sektor informal,sehingga mampu menjadi jaring pangaman?  kelebihannya dari sektor ini  adalah mudah beradaptasi dengan perubahan kondisi ekonomi atau permintaan pasar. Untuk mengawali  usaha sektor informal tidak membutuhkan investasi besar. Sektor ini dapat menjadi alternatif pekerjaan bagi masyarakat yang sulit masuk sektor formal. Produk sektor informal dipasarkan dekat dengan konsumen dan produknya disesuaikan dengan kebutuhan pasar/konsumen. Sektor informal memiliki peluang untuk dikembangkan melalui pemanfaatan media sosial dan e-commerce guna memperluas pasar. Terbuka peluang sektor informal untuk bermitra dengan sektor formal, menjadi pemasok bahan/ komponen atau mitra distribusi. Peluang lainnya yang terbuka bagi sektor informal adalah mengakses program pemberdayaan seperti pelatihan, bantuan modal, dan sertifikasi usaha kecil yang disediakan pemerintah atau oleh pihak ketiga.

Disamping kelebihan,sektor sektor informal juga mempunyai kelemahan yang dapat menjad faktor penghambat berkembangnya usaha mereka. Pada umumnya pelaku sektor informal tidak memiliki izin resmi, sehingga rentan penggusuran atau penutupan.  Untuk pengembangan produknya, sektor ini memiliki keterbatasan modal dan sulit mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan formal. Produktivitasnya rendah, karena menggunakan peralatan sederhana dan teknologi terbatas yang juga berimplikasi pada standar dan kualitas produknya. Para pekerja atau karyawan pada sektor  ini tidak   ada jaminan kesehatan, pensiun, atau asuransi kerja. Sektor informal juga memiliki hambatan yaitu adanya pesaing baik antar sesama sektor informal juga dengan sektor formal. Perkembangan teknologi yang cepat dan para pelaku sektor informal tidak mampu mengaksesnya, maka model produknya sering tertinggal.  Sektor informal  sering mendapat hambatan, terutama pedagang kaki lima yang rentan terhadap penggusuran atasnama ketertiban.

Pemberdayaan Sektor Infomal

Sektor informal telah terbukti menunjukkan kemampuannya baik dimasa normal menyerap tenaga para pencari kerja yang tidak terserap pada sektor formal. Pada masa-masa krisis, sektor informal  yang bertindak sebagai jaring pengaman bagi mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) seperti yang terjadi pada  krismon tahun 1997/1998 dan juga pada krisis pandemi COVID-19 pada tahun 2020-2023. Sekarang ini, kita berada ditengah situasi global yang fluktuatif mempengaruhi perkembangan sektor formal dan sudah barang tentu mengurangi  ketersediaan peluang kerja bagi msyarakat. Dengan  pertimbangan tersebut ,tampaknya perlu adanya kebijakan afirmatif—pemihakan berupa pemberdayaan sektor informal sebagai upaya antipatif terhadap krisis-kriris yang sewaktu dapat melanda Indonesia. 

Pemberdayaan sektor informal adalah serangkaian upaya untuk meningkatkan kapasitas dan produktivitas serta kesejahteraan para pelaku usaha yang beroperasi diluar sistem formal. Pemberdayaan dapat dilakukan melalui penguatan kapasitas berupa pelatihan ketrampilan kerja dan kewirausahaan serta literasi keuangan (pencatatan sederhana, pengelolaan modal). Hal yang mendesak adalah membangun sistem keuangan agar sektor informal dapat mengakses kredit mikro bunga rendah (model KUR), skema pembiayaan syariah atau koperasi, program hibah peralatan.  Memberikan legalitas berupa kepada sektor informal berupa pendaftaran usaha sederhana (OSS RBA –Online Single Submission Risk-Based Approach), dan memberikan perlindungan sosial melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)  Ketenagakerjaan  dan Kesehatan dan pengaturan zonasi yang adil bagi pedagang kaki lima (PKL). Pemanfaatan teknologi berupa pelatihan pemasaran digital, Platform e-commerce lokal dan digitalisasi pencatatan keuangan. Penguatan Jaringan Pasar berupa  kemitraan dengan sektor formal (ritel, hotel, dan restoran), Festival atau bazar produk UMKM dan Integrasi ke rantai pasok industri.

Kunci keberhasilan pemberdayaan sektor informal ditunjukkan oleh adanya pendekatan partisipatif (melibatkan pelaku sektor informal dalam perencanaannya). Terbangunnya  Integrasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Penguatan kelembagaan komunitas (koperasi, paguyuban) dan akses berkelanjutan terhadap modal, pasar, dan teknologi. Indikator lainya yang perlu diperhatikan  adalah seberapa banyak sektor informal yang naik kelas menjadi  Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Dengan demikian, mereka dapat berkembang lagi dan mampu mengakses berbagai fasilitas yang tersedia. Melakukan pemberdayaan secara terencana dan berkala, sektor informal diharapkan dapat menjadi bagian penting dalam lanskap perekonomian nasional. Wallahu ‘Alam Bi Sowab.

*Konsultan Pemberdayaan Masyarakat, Dewan Pembina Yayasan Pembangunan Mahasiswa Islam Insan Cita (YAPMIC) Ciputat

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *