Oleh: Kurniawan Zulkarnain*
Kita punya ungkapan terkenal ‘’Indonesia bagaikan Jamrud di Khatulistiwa” merupakan kiasan puitis yang menggambarkan keindahan dan kekayaan alam Indonesia. Jamrud adalah batu permata berwarna hijau yang indah dan berharga, melambangkan keindahan dan kemewahan. Sedangkan, khatulistiwa menunjukkan posisi geografis Indonesia yang dilintasi garis ekuator. Makna filosofis dan simbolis yang terkandung dalam ungkapan itu menunjukkan keindahan alam berupa pegunungan, pantai, hutan tropis, dan terumbu karang. Kekayaan sumber daya yang ditunjukkan oleh mineral, flora-fauna unik, dan tanah yang subur. Keragaman budaya berupa lebih dari 17.000 pulau, puluhan etnis dan suku, bahasa, dan tradisi dan kearifan lokal yang beraneka ragam.
Anugerah Tuhan ini menjadi aset utama bangsa untuk mengembangkan berbagai program pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat termasuk pengembangan kegiatan sektor pariwisata. Pemerintah telah dan sedang mengembangkan 10 (sepuluh) destinasi wisata unggulan yang mewakili keindahan tanah air Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Di wilayah paling timur, kita punya Raja Ampat –Papua Barat, surga wisata menyelam dengan keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia. Diwilayah barat ada Danau Toba dan Pulau Samosir-Sumatra Utara, dengan danau vulkanik terbesar di dunia dan panorama indah serta keunikan budaya Batak.
Diwilayah tengah terdapat Candi Borobudur – Jawa Tengah sebagai Warisan dunia UNESCO. Pulau Bali menawatkan keindahan pantai, pura, adat istiadat, dan budaya Bali. Labuan Bajo-Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal dengan komodo dan destinasi bahari kelas dunia.Destinas Gunung Bromo – Jawa Timur tidak kalah menariknya dengan pemandangan matahari terbit dan lautan pasir yang menakjubkan. Di Sulawesi Tenggara kita punya destinasi diving terkenal dengan terumbu karang yang memukau. Dan di Sulawesi utara punya taman laut tropis menawarkan wisata menyelam hingga kedalaman 30 meter.
Bila pada tingkat regional kita punya 10 destinasi wisata, pada tingkat desa telah lama digagas untuk ’’menjual’’ keunggulan desa dan daya tariknya baik berupa keindahan alam berupa gunung, sawah terasering, sungai, pantai,dan hutan maupun budaya lokal berupa tari-tarian tradisional, musik daerah, dan upacara adat serta keramah tamahan masyarakat desa. Terdapat serba aneka kuliner khas berupa makanan dan minuman tradisional layak dijajagkan. Disamping itu, tersedia pula aneka ragam kerajinan tangan seperti anyaman, batik, ukiran dan kerajianan khas lokalnya. Bagi para petualang tersedia wisata petualangan seperti trekking, tubing, arung jeram, bersepeda. Destinasi wisata pada tingkat desa telah dikemas dalam bentuk ‘’Desa Wisata’’ yaitu kawasan pedesaan yang menawarkan suasana asli desa dengan potensi alam, budaya, dan kearifan lokal yang dikelola secara terintegrasi untuk tujuan wisata. Pengelolaan desa wisata pada umumnya berbasis masyarakat (community-based tourism), sehingga keuntungan ekonomi dapat dinikmati oleh warga desa setempat.
Pengembangan Desa Wisata : Peluang dan Tantangannya
Pembelajaran dari pendirian Desa Wisata Ponggok –Klaten Jawa-Tengah dan Desa Wisata Penglipuran-Bangli-Bali.Tahapan pendiriannya dapat dicatat sebagai berikut : Pertama, melakukan identifikasi dan pemetaan potensi Desa Wisata melalui kegiatan survei potensi alam, budaya, dan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) calon pengelola desa wisata; Kedua, menentukan segmen wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang ditargetkan sebagai sasaran; Ketiga, melakukan Musyawarah Desa (Musdes) penyepakatan pendirian Desa Wisata dengan menghadirkan para pemangku kepentingan; Keempat, Pelatihan SDM tentang hospitality (keramahtamahan), komunikasi dan bahasa asing dasar serta pemasaran digital;Kelima, penguatan infrastruktur jalan akses, kebersihan, area parkir, toilet, papan informasi, pemasaran dan promosi media sosial, website Desa Wisata, kerjasama dengan agen perjalanan. event tahunan yang khas (festival panen, festival budaya).Keenam, melalukan kolaborasi dengan pemerintah daerah, perguruan tinggi, komunitas, dan para investor lokal
Menurut catatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dan Jejaring Desa Wisata (Jadesta), tercatat 4.674 yang secara resmi terdaftar sebagai Desa Wisata rintisan pada tahun 2024, jumlah ini terus bertambah. Sebanyak 6.016 Desa Wisata tercatat sebagai peserta aktif dalam program Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI). Pada 21 Oktober 2024, data Jadesta mencatat 6.026 Desa Wisata, dengan rincian kategori: 4.687 Desa Wisata rintisan, 992 Desa Wisata berkembang, 314 Desa Wisata maju dan 33 Desa Widesa mandiri.Peluang untuk mengembangkan dan memperluas Desa Wisata masih terbuka luas, mengingat banyak desa yang memiliki kekhasan yang layak dikemas menjadi Desa Wisata,bukankah kita 84.276 Desa dan Kelurahan yang tersebar di seluruh Nusantara.
Keberadaan Desa Wisata telah memberi manfaat bukan saja kepada Pemerintah Desa, tetapi juga kepada warga disekitar lokasi Desa Wisata. Pemerintah Desa memperoleh tambahan dana sebagai pendapatan asli desa (PADes) melalui tiket masuk kawasan Desa Wisata, pungutan tempat parkir. Komunitas setempat telah mengembangkan usaha sewa homestay, dan penjualan produk lokal seperti kuliner, kerajinan, dan cindera mata lainnya. Membuka lapangan baru berupa pemandu wisata, pengelola homestay, penjual makanan, pengrajin dan juga memuka peluang usaha kepada masyarakat lebih lagi untuk membuka usaha restoran, penyewaan alat untuk rafting, peralatan mendagi gunung, transportasi lokal, jasa fotografi dan juga meningkatkan nilai produk lokal melalui branding wisata. Peluang Desa Wisata.
Peluang untuk mengembangkan Desa Wisata terbuka luas guna mengembangkan dan meningkatkan ekonomi lokal, baik untuk menambah pendapatan asli desa maupun pendapatan masyarakat disekitar lokasi Desa Wisata.Peluang lainnya,Desa Wisata dapat menjadi pintu masuk bagi penyadaran masyarakat untuk melestarikan budaya dan tradisi seperti yang dilakukan oleh desa wisata Penglipuran Bali. Untuk melayani para wisatawan, terbuka peluang pengembangan SDM dan ketrampilan. Dengan meningkatnya jumlah wisata, maka akan ada permintaan cindra mata dan kuliner, dengan demikian harus dilakukan diversifikasi ekonomi tidak hanya mengandalkan hasil pertanian. Terdapat beragam program pendampingan, bantuan dana, serta promosi digital yang dapat membantu pengembangan Desa Wisata yang belum dioptimalkan. Sekali lagi, kita punya aset yang belum dikemas menjadi komoditas wisata yang ada yaitu alam pedesaan yang asri, sawah, hutan, dan sungai yang dapat dikembangkan menjadi destinasi ekowisata yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Namun, terdapat pula tantangan yang harus diatasi untuk mengembangkan Desa Wisata, keterbatasan Infrastruktur dan kurangnya transportasi umum menuju Desa Wisata. Lemahnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang terampil dan memiliki kemampuan di bidang hospitality. Lemahnya koordinasi dan sistem manajemen profesional membuat beberapa Desa Wisata sulit berkembang secara berkelanjutan. Kunjungan wisatawan yang hanya ramai pada waktu-waktu tertentu (seperti liburan) membuat pemasukan desa tidak stabil ,hal ini harus dicarikan solusinya. Jika tidak diatur dengan bijak, Desa Wisata bisa kehilangan keaslian budaya dan lingkungannya karena terlalu mengejar keuntungan. Banyak Desa Wisata yang belum dikenal luas karena keterbatasan promosi digital dan jejaring pasar. Kenaikan jumlah wisatawan bisa menyebabkan konflik sosial, perubahan gaya hidup, dan kerusakan lingkungan jika tidak dikendalikan.
Pemberdayaan Masyarakat : Perkuat Kapasitas Desa Wisata
Dengan pertimbangan Desa Wisata dapat memberikan manfaat yang besar,bukan saja kepada pemerintah daerah tapi juga kepada masyarakat loka. Untuk itu, upaya pemberdayaan Desa Witasa yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan terutama oleh Pemerintah Daerah perlu dikawal dan didorong. Pemberdayaan Desa Wisata adalah upaya sistematis untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing Desa Wisata agar mampu berkembang secara mandiri, berkelanjutan, dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat lokal. Tujuan pemberdayaan Desa Wisata diarahkan untuk meningkatkan kapasitas SDM & kelembagaan melalui serangkaian pelatihan dan pendampingan serta penguatan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Untuk membangun rasa kepemilikan terhadap Desa Wisata-nya, maka partisipasi harus digalang pada setiap tahap pengembangan destinasi wisata. Desa Wisata membuka peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui beragan produk ekonomi lokal. Untuk menarik lebih banyak lagi para wisatawan, Desa Wisata perlu berkolaborasi dengan para pihak terutama dunia usaha terkait dengan inovasi yang dapat ditawarkan.
Untuk memperkuat kapasitas Desa Wisata guna memberikan manfaat kepada Pemerintah Desa dan masyarakat,terdapat beberapa pilar penyangga yang perlu mendapat perhatian. Kelembagaan Desa Wisata yang kuat menjadi dasar untuk membangun trust (kepercayaan) dan memastikan adanya transparansi,adanya organisasi pengelola wisata (seperti Pokdarwis atau BUMDes Wisata) dan tersusunya dan diterapkan aturan main (Standard Operating Procedure (SOP), Tata kelola, dan pembagian hasil).Pilar penyangga lainnya, tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni dan trampil,yang dapat dilakukan melalui pelatihan tour guide, manajemen wisata, hospitality, kuliner, dan kebersihan serta kemampuan komunikasi (terutama bahasa asing); Pilar penyangga berikutnya, terbangunnya ikon produk wisata unggulan yang dapat dikembangkan melalui paket wisata tematik: budaya, alam, edukasi, dan petualangan dan penguatan keunikan lokal (keunikan budaya, kerajinan tangan, kuliner khas). Pilar penyangga selanjutnya, adanya identitas digital Desa Wisata : Website, Media Sosial, Google Maps dan pemasaran berbasis konten kreatif (foto, video, testimoni) serta kolaborasi dengan platform travel online, travel blogger, dan influencer.
Untuk memperkuat kapasitas Desa Wisata, kolaborasi dengan para pihak merupakan bagian strategis yang perlu dirancang dan dipastikan untuk dilaksanakan. Kolaborasi dilakukan dengan Pertama, Pemerintah (Pusat, Daerah, Desa) guna memperoleh penyediaan regulasi dan kebijakan pendukung,fasilitasi pelatihan dan penyediaan infrastruktur (jalan, listrik, internet, air).Kedua, dengan masyarakat lokal untuk memastikan penyediaan atraksi wisata, akomodasi, dan layanan, penjaga budaya, tradisi, dan kelestarian alam serta adanya Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Ketiga dengan Pelaku Usaha / Swasta, untuk menawarkan peluang investasi dalam fasilitas dan promosi dan penyediaan akses pasar (platform booking, e-commerce) dan sponsorship event desa atau pelatihan SDM.Keempat, dengan Akademisi / Perguruan Tinggi terkait dengan riset potensi dan dampak wisata,pedampingan (branding, digitalisasi, storytelling) dan pengembangan Inovasi produk wisata berbasis data.Kelima, dengan LSM/ Komunitas guna mendapat dukungan advokasi dan isu keberlanjutan, inklusi sosial, dan pelestarian budaya. Keenam, kolaborasi dengan para wisatawan untuk memberi masukan atas layanan dan pengalaman wisata dan usulan untuk membangun citra positif Desa Wisata.
Prinsip Utama dalam melakukan kolaborasi dengan para pemangku kepentingan, hendaknya memperhatikan aspek partisipatif & inklusif: semua suara didengar, terutama masyarakat lokal. Transparansi & akuntabilitas terkait dengan alur dana, tanggung jawab, dan hasil kerja yang jelas. Keberlanjutan, tidak hanya soal ekonomi, tapi juga sosial dan lingkungan. Prinsip yang lainnya adalah keadilan pemanfaatan hasil dari hasil usaha Desa Wisata harus kembali pada masyarakat.(*)
*Konsultan Pemberdayaan Masyarakat, Dewan Pembina Yayasan Pembangunan Mahasiswa Islam Insan Cita (YAPMIC) Ciputat
Editor: Jufri Alkatiri