Oleh: Kurniawan Zulkarnain*
Syafruddin Prawiranegara merupakan salah satu tokoh fenomenal dalam sejarah Indonesia, terutama dalam bidang ekonomi dan pemerintahan. Dia dikenal sebagai ekonom, politisi, dan pejuang kemerdekaan yang memiliki kontribusi besar dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya pada masa-masa awal kemerdekaan. Gunting Syafruddin merupakan kebijakan yang pahit tetapi manjur, menjadi salah satu tonggak penting stabilisasi moneter Indonesia pasca-kemerdekaan. Meletakan landasan untuk mengembangkan Bank Indonesia (BI) dan menyelamatkan Negara Indonesia sebagai Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Syafruddin dilahirkan pada tanggal 28 Februari 1911 di Serang-Banten. Dibesarkan dalam keluarga Priyai Sunda terpandang dan berpendidikan. Ayahnya bernama Raden Arsjad Prawiraatmadja, seorang jaksa di Banten. Seorang Ayah yang menanamkan nilai-nilai Keislaman dan kedisiplinan. Ibunya Raden Ratnaningsih, seorang– ibu rumah tangga dari keluarga priyayi Jawa-Sunda. Dia dikenal sebagai sosok yang religius dan membesarkan anak-anaknya dengan nilai Islam yang kuat dan menekankan pentingnya shalat, akhlak, dan disiplin dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
Setelah menamatkan HIS (Hollandsch Inlandsche School), Syafruddin melanjutkan pendidikannya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Jakarta dan AMS (Algemene Middelbare School) bagian A1 (Budaya Timur) di Jakarta. Pendidikan tingginya ditempuh di Rechts Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia, lulus Sarjana Hukum. Syafruddin bergabung dengan Perhimpunan Pelajar Islam (PPI).Ketika kuliah di RHS, Syafruddin semakin aktif dalam Organisasi Mahasiswa Islam dan Nasionalis dan menjadi anggota yang kemudian tokoh Jong Islamieten Bond (JIB). Selama di JIB, Syafruddin membangun jejaring dengan tokoh-tokoh muda pergerakan Islam dan nasional, termasuk Mohammad Natsir, Mohammad Roem dan pemuda-pemuda dari Persatuan Islam (Persis).
Perjuangan Politik Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin mengawali karier dan politiknya, setelah lulus RHS dengan bekerja di berbagai kantor hukum dan perusahaan. Bekerja sambil tetap aktif dalam pergerakan pemuda Islam. Gagasannya tentang Islam, moralitas, dan ekonomi kerakyatan mulai dikenal di kalangan intelektual muda. Ketika Jepang masuk (1942) dan mendukuki Indonesia. Dengan maksud memperluas wawasan Syafruddin ikut dalam kegiatan Keimin Bunka Shidosho—Lembaga Kebudayaan dibentuk Jepang, untuk mempengari kaum intelektual dan seniman Indonesia agar mendukung Jepang. Namun, Syafruddin tetap menjaga jarak dan kritis serta memelihara kemandiriannya.
Syafruddin Prawiranegara bergabung dengan Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) sejak awal berdirinya tahun 1945. Dia menjadi salah satu tokoh penting di bidang ekonomi dan keuangan dalam partai tersebut, serta tercatat sebagai anggota Dewan Pimpinan Partai. Dalam struktur Masyumi, Syafruddin dikenal sebagai ahli keuangan dan ekonomi yang kelak banyak memberi masukan bagi kebijakan ekonomi negara. Syafruddin juga diangkat menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada tahun 1945 dan menduduki Bagian Keuangan/Ekonomi, sesuai dengan latar belakang dan keahliannya.
Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II dan menduduki Yogyakarta (Ibu Kota RI saat itu), Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta sejumlah menteri ditangkap dan diasingkan ke Bangka. Sebelum ditangkap, Presiden Sukarno mengirimkan mandat melalui telegram kepada Syafruddin Prawiranegara (yang saat itu sedang Sumatera Barat) untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik. Pada 22 Desember 1948. Syafruddin secara resmi membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan Ibukotanya Bukitinggi-Sumatera Barat.
Syafruddin, menjabat sebagai Ketua PDRI merangkap Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri. Keberadaan PDRI sangat penting, untuk menjamin kelangsungan dan menjadi simbol bahwa Republik Indonesia masih ada. Dengan begitu, dunia internasional tetap mengakui eksistensi RI. Syafruddin memberi instruksi kepada TNI di bawah Jenderal Sudirman untuk terus melancarkan perang gerilya. Sebagai Menteri Luar Negeri, Syafruddin menghubungi perwakilan RI di luar negeri agar tetap menjalankan tugas diplomatik, mendorong agar PBB (UNCI – United Nations Commission for Indonesia) menekan Belanda untuk menghentikan agresi. Setelah tercapai Perjanjian Roem–Royen (Mei 1949), dan Pemerintahan RI resmi kembali ke Yogyakarta (Juli 1949), maka Syafruddin dengan penuh loyalitas dan kesadaran menyerahkan mandat PDRI kepada Presiden Soekarno.
Pada 15 Februari 1958, Syafruddin mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dicatat bahwa pendiriannya merupakan kekecewaan daerah-daerah, khususnya di Sumatera dan Sulawesi, merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat di Jakarta. Syafruddin dengan sejumlah tokoh Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) menolak arah politik Soekarno yang semakin condong ke Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis). Mereka khawatir dominasi PKI semakin menguat.
Tokoh Utama PPRI, Syafruddin Prawiranegara diangkat sebagai Perdana Menteri PRRI, Kolonel Ahmad Husein , Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera Tengah, Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera Utara (walau kemudian lebih pasif), Kolonel Dahlan Djambek, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera Barat, Letkol Ventje Sumual, pemimpin Permesta di Sulawesi Utara, yang kemudian bekerja sama dengan PRRI. Soekarno menganggap PRRI sebagai pemberontakan dan melancarkan operasi militer besar-besaran (Operasi 17 Agustus) yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani. Pada tahun 1961, PRRI resmi dibubarkan.Syafruddin dan para pendiri PRRI lainnya menyerahkan diri pada 1961 dan ditahan hingga tahun 1966.
Pada masa Orde Baru, Syafruddin tidak lagi aktif dalam politik praktis dan menjadi tokoh pemikir Islam moderat. Banyak memberikan pandangan tentang demokrasi, ekonomi, dan hubungan negara dengan agama. Syafruddin aktif dalam dakwah dan organisasi keagamaan, mendirikan Himpunan Usahawan Muslimin Indonesia (HUSAMI, 1967) dan Yayasan Dana Tabungan Haji (1970). Sebagai bentuk kritik moral terhadap sikap otoritarianisme Orde Baru Syafruddin ikut menandatangi Petisi 50 pada tahun 1980.
Beliau wafat pada 15 Februari 1989 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Diakui sebagai Pahlawan Nasional Indonesia tahun 2011, melalui Keppres Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sumbangan Syafruddin Prawiranegara dalam mengelola perekonomian nasional sangat fenomenal dan menjadi pembelajaran penting bagi para penyelenggara negara berikutnya. Syafruddin juga mewariskan keteladanan dalam menegakan disiplin dan kejujuran. (bersambung)
*Konsultan Pemberdayaan Masyarakat dan Dewan Pembina Yayasan Pembangunan Mahasiswa Islam Insan Cita (YAPMIC) Ciputat
Editor: Jufri Alkatiri