Oleh: Kurniawan Zulkarnain*
Terminologi Stunting di Indonesia mulai mendapat perhatian serius, ketika hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Balitbang-Kemenkes, dipublikasikan tahun 2013 — menjadi dasar dalam menyusun kebijakannya. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak akibat kekurangan gizi kronis, terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan (sejak dalam kandungan hingga usia 2 tahun). Anak yang Stunting memiliki tinggi badan lebih pendek dari standar usianya (menurut standard Organisasi Keseharan Dunia–WHO). Stunting berdampak jangka panjang pada perkembangan otak, kemampuan belajar, produktivitas, dan kesehatan saat dewasa.
Anak stunting dapat dikenali dari penampakan fisik yang lebih pendek dibanding dengan teman seusianya (postur tubuh kerdil). Berat badannya tidak naik sesuai grafik pertumbuhan atau cenderung stagnan dalam waktu lama. Anak Stunting berisiko mengalami gangguan perkembangan kognitif dan motorik. Sistem kekebalan tubuh lemah, sehingga anak mudah terserang penyakit. Pada umumnya, anak stunting memiliki nafsu makan yang buruk. Keterlambatan berjalan, berbicara, atau kemampuan motorik halusnya dan fitur wajah tampak seperti “bayi” meskipun usia sudah bukan balita lagi.
Pertanyaannya adalah mengapa anak-anak kita menjadi Stunting? Ibu yang kurang pengetahuannya tentang kesehatan dan gizi– sebelum dan pada masa kehamilan– dapat melahirkan anak Stunting. Ditambah lagi anak dengan usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif. Keluarga dengan akses pada terhadap air bersih dan sanitasi dapat menyumbang pada lahirnya anak Stunting. Di Indonesia, 1 dari 5 rumah tangga, masih buang air besar (BAB) di ruang terbuka yang dapat menimbulkan penyakit diare, kolera, tifus, dan cacingan. Keluarga yang tidak mampu mengakses makanan bergizi dapat melahirkan anak Stuning. Jika, dilihat dari kenyataan di masyarakat pada tahun 2023 makanan bergizi di Jakarta lebih mahal 52 persen dibandingkan dengan di New Delhi, India (Food Agriculture Organization dan World Bank).
Indonesia,menurut Survey Status Gizi Indonesia tahun 2024 (SGGI), menunjukkan angka prevalesi Stunting masih berada dia angka 19,8 persen sekitar 4,4 Juta. Sedangkan pada tahun 2023 sekitar 4.8 Juta bayi. Ini merupakan sinyal positif karena untuk pertama kalinya,Indonesia memenuhi ambang batas World Health Organization (WHO) < 20 perasen. Namun demikian, kita harus tetap waspada, angka prevalensi Stunting dapat meningkatkan lagi, bila upaya pencegahan dan penurunan Stunting mengendor.
Pada daerah-daerah tertinggal seperti Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Barat, serta pada kawasan-kawasan kumuh di Perkotaan — dimana kemiskinan terkonsentrasi menunjukan angka prevalensi yang tinggi. NTT pada tahun 2024 ini, memiliki angka stunting sebesar 37.0 persen, Papua sebesar 24,7persen sedangkan Papua Barat 24,6 persen. Upaya menurunkan angka Stunting harus dilakukan secara paralel dengan upaya penanggulangan kemiskinan. Bayi Stunting banyak dilahirkan keluarga miskin dengan beragam keterbatasannya.
Berpacu Untuk Menurunkan Stunting
Masalah Stunting menjadi isu nasional, dengan pertumbuhan penduduk sebesar 1,2 persen pertahun (perkiraan BPS dan World Bank), maka diperkirakan akan lahir 3,360 Juta bayi,bila 19,8 persen diantaranya Stunting dengan perkiraan sebesar 665,28 bayi Stunting/tahun. Bila tidak ada upaya penurunan maka secara kumulatif akan membesar jumlahnya. Stunting berdampak jangka panjang pada perkembangan otak, kemampuan belajar, produktivitas, dan kesehatan pada saat dewasa.Tentu saja, akan menjadi beban negara dan megancam mimpi Indonesia Emas 2045 sebagai wujud dari Bonus Demografi.
Sejak tahun 2017, Pemerintah menetapkan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dengan fokus Stunting. Tahun 2018, diluncurkan Program Nasional Percepatan Penurunan Stunting dengan beragam program yang terkait dengan bidang kesehatan dengan intervensi kesehatan dan gizi dan non-kesehatan yang berhubungan dengan perbaikan lingkungan ,sanitasi, air bersih, dan akses pangan. Sesuai dengan dokumen RPJMN th 2025-2029, ditargetkan prevalensi Stunting dapat turun ke 14,2 persen. Dengan demikian dalam 5 tahun,harus mampu menurunkan 5,6 persen dimana tahun 2024 angkanya sebesar 19,8 persen — kita tengah berpacu dengan waktu.
Program pencegahan dan penurunan Stunting diarahkan pada keluarga rawan Stunting yaitu keluarga yang memiliki Ibu Hamil terutama yang kurang gizi, anemia, tidak mendapat pemeriksaan kehamilan yang memadai. Keluarga dengan anak usia 0-59 bulan berada pada situasi kritis pertumbuhan, sehingga rawan terkena Stunting — bila tidak terpenuhi kebutuhan gizinya. Program juga menyasar pada keluarga dengan penghasilan rendah agar mampu mengakses makanan bergizi, sanitasi yang layak agar tidak BAB sembaragan. Program juga harus memastikan menyasar pada keluarga yang tidak memberikan ASI Eklusif dan MP ASI serta kurangnya pengetahuan tentang gizi dan kesehatan anak.
Sejak tahun 2018, pemerintah menetapkan kabupaten/kota prioritas Stunting (dimulai dengan 100 kabupaten/kota) sebagai lokasi program. Pada tahun 2022, dikembangkan mencapai seluruh 514 kabupaten/kota. Lokasinya difokuskan pada Desa/Kelurahan dengan prevalensi Stunting tinggi, tingkat kemiskinan tinggi, dan akses layanan dasar yang rendah. Badan Kependudukan dan Keluarga Keluarga Bercana Nasional (BKKBN) melakukan pendataan tentang kondisi demografi, keluarga, kesehatan reproduksi, dan pembangunan keluarga dan Stunting.
Mulai tahun 2025, Pemerintah melalui Badan Gizi Nasional (BGN) meluncurkan Program Makan Bergizi Gratis yaitu pemberian satu porsi makanan bergizi tiap hari kepada siswa hingga ibu hamil. Dana yang dialokasikan sebesar Rp 71 triliun untuk tahun 2025. Target awal adalah menjangkau sekitar 19,5 juta penerima di tahun 2025, dengan biaya terencana hingga US$ 28 miliar (sekitar Rp 450 triliun) hingga tahun 2029. Diharapkan program MBG ini dapat mengakselarasi angka penurunan stunting mengingat salah satu sararannya adalah Ibu hamil dan Ibu menyusui.
Upaya Pencegahan dan Penurunan Stunting diampu secara kolaboratif lintas sektor. Kementerian Kesehatan — pelaku utama untuk melakukan intervensi gizi spesifik (imunisasi, pemberian tablet tambah darah, pemantauan tumbuh kembang. Sedangkan Kementerian/Lembaga lainnya melakukan intervensi non-kesehatan (penyediaan air bersih dan sanitasi). Pemerintah Kabupaten dan Desa sebagai ujung tombak pelaksana dilapangan. Masyarakat dan swasta juga dilibatkan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), Posyandu, kader PKK, dan Organisasi Masyarakat Sipil. Sejak Tahun 2021 — melalui Peraturan Presiden, BKKBN ditetapkan sebagai Koordinator Utama Percepatan Penurunan Stunting.
Bonus Demografi dan Stunting
Secara konseptual, Bonus Demografi adalah kondisi ketika jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) jauh lebih besar dibandingkan populasi usia non-produktif (anak-anak dan lansia). Fenomena ini memberi peluang strategis untuk pertumbuhan ekonomi. Indonesia telah memasuki Era Bonus Demografi akan berlangsung hingga sekitar 2040–2045. Puncaknya terjadi antara 2020 hingga 2030, di mana usia produktif bisa mencapai sekitar 64–70 persen dari total penduduk. Pertanyaannya adalah bagaimana Indonesia menyongsong kesempatan ini sebaik-baiknya untuk meraih mimpi Indonesia Emas pada tahun 2045?
Indonesia Emas 2045, digagas untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju, sejahtera, berkeadilan, dan berdaya saing di tingkat Global. S trategi basarnya adalah bagaimana keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap) dan menjadi negara dengan ekonomi besar (5 besar dunia). Membangun SDM yang sehat, cerdas, produktif, dan berkarakter. Menekan angka Stunting sampai pada tingkat minimal agar dapat mengurangi beban pembangunan dimasa depan. Memastikan pelayanan dasar terkait dengan kualitas pendidikan, perluasan akses kesehatan dan infrastruktur dasar yang pada ujungnya dapat mengurangi kesenjangan antarwilayah, kelompok sosial, dan gender. Ketersediaan pangan dan energi menjadi bagian penting. Penguatan demokrasi, supremasi hukum, dan pemberantasan korupsi perlu dipastikan terlaksana.
Pengalaman Korea Selatan dan Singapura dalam memanfaatkan Bonus Demografi dapat menjadi cermin bagi bangsa Indonesia. Dalam 30 tahun, Korea Selatan berubah dari negara miskin menjadi negara industri maju. Pada tahun 2024, Korea Selatan masuk Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dengan Gross Domestic Bruto (GDP) kapita lebih dari USD 36.024. Memiliki SDM produktif yang berkualitas yang menjadi motor pertumbuhan.
Sementara itu, Singapura dalam 50 tahun, bertransformasi menjadi pusat keuangan dan logistik global. Pendapatan per-kapitanya naik tajam dari USD 500 (1965) menjadi USD 71.851 (2024). Kedua negara tersebut, melakukan strategi yang mirip– penguatan SDM yang berkualias untuk menjadi pemain global. Memastikan terlaksananya pengendalian pertumbuhan penduduk dan meningkatkan peningkatan kesehatan dan gizi dan akses pada pelayanan dasar agar terbangun generasi produktif yang lebih sehat dan siap bekerja. Keduanya, merancang Industrialisasi secara bertahap dari padat karya menuju Industri padat modal berbasis teknologi tinggi.
Dalam laporan World Bank (2018 The Economic Impacts of Child Undernutrition in Indonesia). Stunting disebut menurunkan potensi produktivitas tenaga kerja dan menyebabkan kehilangan pendapatan nasional secara signifikan. Untuk Indonesia, dengan PDB Rp 22.139,0 triliun (2024), kerugian dapat mencapai Rp 400–600 triliun per tahun atau sekitar 2-3 persen dari PDB. Di sisi lain, WHO menekankan bahwa Stunting tidak hanya masalah gizi, tetapi juga masalah pembangunan ekonomi dicirikan dengan produktivitas tenaga kerja yang lebih rendah, biaya kesehatan lebih besar dan pertumbuhan ekonomi melambat. Untuk mengurangi beban pembangunan dimasa depan dan meraih Indonesia Emas tahun 2045, penurunan Stunting merupakan langkah strategis melalui kerja kolaboratif. Wallahu ‘Alam Bi Sowab.
*Konsultan Pemberdayaan Masyarakat dan Dewan Pembina Yayasan Mahasiswa Islam Insan Cita (YAPMIC) Ciputat
Editor: Jufri Alkatiri