“Lima Ribu Mas” kata dua orang bapak-bapak yang duduk di tengah lorong. Uang tersebut adalah biaya retribusi masuk di Lorong Surgawi* yang tersembunyi dari ingar-bingar keramaian Mahameru Kota Kejayaan*. Keberadaan tempat ini menjadi Legenda, membuat sebagian umat manusia menerka apa yang ada di dalam gang gelap yang penuh dengan nyala gemerlap. Tempat itu bernama Sardena*.
Beberapa waktu lalu, penulis melajukan motor setelah menjemput Dani, partner yang akan menemani menyelami aktivitas di tempat yang mendapat cap haram tersebut. Berbekal informasi yang diperoleh dari internet, penulis menemukan tempat hiburan malam yang legendaris ini. Karena penulis tidak pernah ke Sardena atau Pasar Tuir*, ketika sampai di depan Gang Sardena* malah menjadi kikuk. Entah bagaimana harus mengawali, akhirnya terpaksa menyantap wedang ronde yang berada di pinggir jalan. Wedang ronde ini berada persis di depan pintu masuk Stasiun Kejayaan* atau lebih akrab disebut Stasiun Tuir. Sembari menikmati jajanan yang dibeli– penulis berbincang mengenai cara agar bisa masuk ke dalam Sardena.
Ramainya pejalan kaki yang berlalu lalang masuk ke dalam, semakin membuat penulis berani untuk masuk, namun ternyata ada retribusi yang ditarik dari siapa pun yang akan melewati tempat ini, baik mereka yang akan mencari hiburan di sini, atau turis yang tidak sengaja tersasar. Saat akan masuk, terlihat berbagai tempat hiburan seperti karaoke yang sound systemnya sember atau pun rumah bordil yang lusuh dan sembab. Banyak laki-laki ramah yang menawarkan jasa hiburan di tempat mereka dengan iming-iming harga bersahabat dan fasilitas yang memikat. Untuk mengamati keadaan, penulis duduk sejenak di depan sebuah kafe remang-remang bertuliskan Akur Mas*.
Sembari menghisap sebatang rokok dan memperhatikan mereka yang berlalu lalang atau pun mengobrol ria, terdengar sebuah obrolan yang bukan berbahasa Jawa. Karena bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa di daerah asal penulis, dengan sedikit keyakinan mencoba menimbrung percakapan. Tentu saja, mereka sangat terbuka. Bondi, pria yang berasal dari salah satu kota di Jawa Daya Barat* ini bercerita tentang kehidupan yang ada di tempat ini. Dia menuturkan, bagaimana pelanggan yang datang untuk karaoke ataupun sekadar mencari wanita yang bisa memuaskan hasrat biologisnya.
Tarif di tiap tempat hiburan bisa berbeda-beda, tergantung bagaimana operator dan wanita penjaja tubuh menegosiasikan. Terkadang jika ingin merambah pengalaman lebih ataupun memperpanjang waktu, ada biaya tambahan yang dibebankan. Tempatnya bekerja menawarkan harga lima puluh ribu untuk ruangan karaoke dan Rp120.000 untuk minuman jenis anggur putih yang wajib dibeli jika memesan ruangan karaoke. Sedangkan untuk kamar pelebur syahwat memiliki harga berbeda dan lebih tinggi.
Dengan harga yang demikian, tentu saja ini lebih murah daripada menyewa secara daring menggunakan aplikasi. Mereka yang datang adalah orang-orang yang melepaskan diri dari kepenatan yang memuakkan. Tempat ini dengan sempurna menghadirkan kesenangan paling purba dalam diri manusia. Sebagian rumah-rumah di tempat ini sudah diubah agar bisa memuat ruangan-ruangan yang lebih banyak di dalamnya, lorong-lorong kecil yang ada membawa perasaan pengap dan tersembunyi dari ganasnya dinamika Kota Kejayaan*.
Layaknyakampung lain di Kejayaan, Sardena yang masuk Kelurahan Sosrobahu juga memiliki fasilitas umum bahkan terdapat taman kanak-kanak yang terhimpit kafe dan karaoke. Saat Pandemi melanda, Sardena seperti mati suri tetapi tetap ramai dengan daya tariknya. Mural di beberapa tembok memberikan kesan artistik dan mengingatkan, bahwa Sardena tetaplah bagian dari riuhnya kota. Bagi sebagian orang tempat ini adalah lubang penuh dosa, tetapi bagi mereka yang mencari pundi-pundi penghasilan, dia adalah lanskap penuh cinta bagi mereka yang ingin bernyanyi atau bergumul hangat di kamar sempit nan pengap. (Arga Fahreza)
Editor: Jufri Alkatiri
* Nama daerah dan lokasi sengaja diganti dan disamarkan, oleh editor
