Oleh: Study Rizal L. Kontu*
Di Jakarta, malam itu — tragedi merenggut nyawa seorang anak muda bernama Affan Kurniawan. Dia bukan mahasiswa yang turun ke jalan, bukan pula aktivis yang bersuara lantang melawan kebijakan negara. Dia hanyalah seorang driver ojek online yang sedang menunaikan tugas, mengantarkan pesanan makanan di tengah hiruk pikuk demonstrasi. Namun hidupnya berakhir dengan cara yang tragis, terlindas mobil taktis Barracuda milik Brimob yang tengah melaju di tengah kerumunan.
Kematian Affan tidak bisa dipandang sekadar sebagai kecelakaan lalu lintas. Dia menyimpan makna yang jauh lebih dalam tentang bagaimana relasi kuasa bekerja di ruang publik. Barracuda yang gagah dan menakutkan itu bukan sekadar kendaraan tempur – melainkan simbol komunikasi non-verbal negara kepada warganya. Kehadirannya di jalan raya adalah pesan intimidasi yang jelas: negara hadir dengan kekuatan penuh, dan rakyat harus tunduk. Dalam perspektif komunikasi kritis, inilah bentuk kekerasan simbolik yang lama tertanam dalam cara negara berinteraksi dengan masyarakat.
Peristiwa itu cepat sekali bertransformasi menjadi narasi kolektif. Video amatir yang merekam detik-detik Affan kehilangan nyawa menyebar luas di media sosial. Publik tidak membingkai kejadian itu sebagai kecelakaan, melainkan sebagai bukti bahwa negara gagal melindungi warganya. Media sosial pun menjadi ruang resistensi, tempat publik membalik narasi dominan. Aparat yang biasanya tampil sebagai penjaga ketertiban — kini justru dianggap pelanggar. Wacana kekuasaan tidak lagi bisa berjalan satu arah, karena publik digital menghadirkan arena diskursif yang lentur, dinamis, dan penuh perlawanan.
Ketika Kapolri datang menemui keluarga Affan dengan air mata dan permintaan maaf, itu pun dibaca publik dengan ambivalensi. Tangisan seorang pejabat tinggi memang dapat menyentuh rasa kemanusiaan, tetapi dalam kacamata komunikasi kritis, dia juga merupakan tindakan simbolik yang dimaksudkan untuk meredam kemarahan. Empati yang ditunjukkan tidak akan bermakna apa-apa bila tidak diikuti dengan tindakan konkret, transparan, dan akuntabel. Publik yang telah tercerahkan oleh pengalaman digital tidak lagi puas dengan simbol; mereka menuntut perubahan nyata.
Tragedi ini menyingkap bagaimana bahasa kekuasaan masih beroperasi di Indonesia. Negara masih gemar menggunakan instrumen kekerasan untuk berkomunikasi dengan rakyatnya. Aparat masih lebih percaya pada kekuatan intimidasi ketimbang dialog. Namun tragedi ini juga memperlihatkan sesuatu yang lain: rakyat tidak lagi diam. Mereka punya ruang untuk bersuara, membangun narasi tandingan, dan menolak hegemoni.
Affan Kurniawan, dalam kesendiriannya mencari nafkah, tidak pernah membayangkan dirinya menjadi simbol perlawanan terhadap komunikasi kekuasaan yang represif. Tetapi kematiannya memaksa kita semua untuk bertanya ulang: sampai kapan rakyat harus terus menjadi korban? Jika negara sungguh ingin meraih kembali kepercayaan publik, maka dia harus berhenti berkomunikasi dengan bahasa senjata dan mulai berbicara dengan bahasa kemanusiaan.
Tragedi ini adalah cermin betapa rapuhnya relasi negara dan rakyat. Affan telah tiada, tetapi kisahnya hidup sebagai pengingat bahwa komunikasi yang dibangun di atas ketakutan hanya akan menghasilkan perlawanan. Sudah saatnya negara belajar berbicara dengan rakyatnya, bukan mengintimidasi, melainkan menghargai. (*)
* Dosen Ilmu Komunikasi dan Dakwah FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Jufri Alkatiri