Renungan Malem Jemuwah: Tuhan Maha Hadir (bag-5)

Oleh: Anwar Rosyid  Soediro*

2). Efek Pengamat dan Kesadaran Ilahi

Fitur lain yang terkenal dari mekanika kuantum  adalah  peran pengamat. Dalam kehidupan sehari-hari, mengamati sesuatu biasanya tidak menciptakan atau mengubahnya, ketika kita melihat pohon, dia tetaplah pohon. Namun dalam ranah kuantum, tindakan pengamatan lebih intrusif. Untuk mendeteksi partikel sub-atom, seseorang seringkali harus berinteraksi dengannya (misalnya, dengan memantulkan foton darinya), dan interaksi ini mengganggu keadaan partikel tersebut. Dengan demikian, mengamati sistem kuantum “memaksanya” ke dalam keadaan tertentu dan dengan demikian, mengubahnya.

Fenomena ini dikenal sebagai efek pengamat

Seolah-olah alam secara aktif mengamati pengukuran, dan hanya ketika pengukuran terjadi, dia memutuskan suatu hasil. Hal ini telah menyebabkan interpretasi yang provokatif dan/atau kontroversial, bahwa kesadaran atau pengetahuan pengamat mungkin merupakan hal mendasar dalam cara realitas terungkap. Meskipun sains arus utama menafsirkan efek pengamat dalam konteks interaksi pengukuran fisik (yang tidak mensyaratkan pengamat (manusia)  memiliki kesadaran), bahasa observasi tidak pelak lagi mengundang pertanyaan filosofis tentang hakikat kesadaran dalam semesta (sistem kosmos).

Pandangan bagi para Teolog, efek pengamat memunculkan kemungkinan yang menarik; jika Tuhan adalah pengamat tertinggi, apakah pengamatan Tuhan yang terus-menerus (melekat) terhadap alam semesta memastikan bahwa kemungkinan-kemungkinan kuantum senantiasa terwujud secara teratur?

Sebuah anekdot filosofis kuno menangkap gagasan serupa; Apakah pohon yang tumbang di hutan mengeluarkan suara jika tidak ada orang di sekitar yang mendengarnya? Idealisme menjawab bahwa Tuhan selalu hadir sebagai pengamat universal, sehingga tidak ada yang benar-benar luput dari pengamatan.

Dalam perubahan kuantum pada gagasan ini, beberapa orang merenungkan bahwa tatapan “Yang Maha Tahu” dapat menjadi sesuatu yang “meruntuhkan” fungsi gelombang dunia. Tindakan observasi ilahi akan menjamin realitas yang pasti.

Dalam puisi jenaka yang dikutip oleh seorang komentator, seorang skeptis bertanya-tanya apakah sebatang pohon tetap ada ketika tidak ada orang di sekitarnya yang melihatnya, dan jawabannya adalah bahwa Tuhan selalu berada di gerak-dinamis yang mengawasi; “Yang Maha Teliti, akan selalu memastikan pohon itu tetap ada. Dengan kata lain, kesadaran Tuhan dapat memainkan peran sebagai alat ukur untuk seluruh alam semesta, menjaga konsistensi dan aktualitas.

Namun, gagasan ini datang dengan tantangan! Jika Tuhan mengamati segala sesuatu sepanjang waktu, mengapa kita masih mengamati ketidakpastian dalam eksperimen kuantum?  Orang akan berpikir bahwa jika seorang pengamat ilahi yang maha hadir terus-menerus  mengukur dunia, sistem kuantum akan selalu berada dalam keadaan pasti runtuh (collaps) alih-alih dalam superposisi yang rapuh.

Namun, kita melihat pola interferensi dan fenomena lain yang menyiratkan superposisi tetap ada hingga kita (manusia) mengukurnya. Hal ini menyebabkan beberapa orang berpendapat bahwa menggunakan Tuhan sebagai solusi untuk masalah pengukuran “terlalu banyak membuktikan”.  Hal itu akan menghapus efek kuantum yang ingin kita jelaskan.

Barangkali, seseorang mungkin berspekulasi, Tuhan memilih untuk membiarkan dunia fisik beroperasi menurut prinsip-prinsip kuantum kecuali makhluk sadar, yang kemudian melakukan pengamatan, Tuhan pada dasarnya membiarkan ciptaan berjalan dengan aturan kuantumnya sendiri kecuali ketika berinteraksi dengan pikiran sadar.

Penjelasan lain bisa jadi adalah bahwa cara pengamatan Tuhan sama sekali berbeda dari pengukuran fisik dan tidak memicu keruntuhan seperti yang terjadi pada instrumen kita.  Secara teologis, seseorang dapat mengatakan Tuhan mengetahui hasil dari setiap peristiwa kuantum sebelumnya (atau melampaui waktu), sehingga Tuhan tidak perlu melakukan pengamatan dalam arti “menemukan sesuatu”, dengan demikian, pengetahuan ilahi tidak mengganggu proses kuantum alami.

Bagaimanapun, korespondensi antara  efek pengamat dan pengetahuan Tuhan bersifat menggugah. Hal ini memperkuat gagasan bahwa pengetahuan dan realitas secara aneh saling terkait.  Dalam al-qur’an al-karim, sering ditegaskan bahwa tidak ada yang tersembunyi dari pandangan Tuhan.

Fisika kuantum menambahkan dimensi ilmiah pada gagasan bahwa tindakan mengetahui itu dahsyat. Bahkan jika kita mengesampingkan detail teknis yang ketat (karena pengamat kuantum tidak perlu sadar), kita menemukan paralel yang puitis; sebagaimana peristiwa kuantum tidak akan terselesaikan hingga diamati, mungkin perkembangan hidup kita tidak akan “terselesaikan” tanpa kesadaran Tuhan yang intim.

Orang beriman sering kali menemukan penghiburan dalam gagasan bahwa Tuhan “melihat” mereka setiap saat, seorang pengamat ilahi yang menghargai dan merespons setiap hasil. Efek pengamat kuantum dapat menjadi perumpamaan modern; realitas, pada tingkat terdalamnya, bersifat partisipatif dan responsif, bukan sekadar mesin jam yang berdetak secara independen.  Hal ini dapat dilihat sebagai cerminan alam semesta di mana kesadaran ilahi selalu bekerja, secara halus menegakkan perbedaan antara yang mungkin dan yang nyata, (dengan tidak sadar ter-rekaman).

Orang-orang beriman mungkin merasa terhibur karena fisika itu sendiri mengisyaratkan keterbukaan di alam; masa depan tidak sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu (kausalitas ataupun karma), akan tetapi bergerak selaras dengan gagasan bahwa Tuhan mengundang makhluk hidup untuk ikut menciptakan takdir mereka sampai batas tertentu.

Singkatnya, ketidakpastian kuantum menambah bobot ilmiah pada intuisi bahwa kebebasan itu nyata. Meskipun hal itu tidak membuktikan manusia memiliki kehendak bebas (karena pernyataan itu melampaui fisika), tetapi pernyataan tersebut menghilangkan keberatan deterministik lama terhadap kehendak bebas.

Dan jika seseorang percaya kepada Tuhan yang Maha Rahman-Rahim (kasih-sayang) dan ketaatan (beribadah) yang diberikan tanpa paksaan, sudah sepantasnya bahwa alam semesta pada intinya bukanlah mesin deterministik, melainkan sebuah teater (pertunjukan) kemungkinan, tempat hal yang baru yang sejati dapat terjadi (takdir). (Bersambung)

*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM Yogyakarta

  Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *