Gerakan Rakyat Agustus Kelabu:  Analisis dan Pembelajaran 

Oleh: Kurniawan Zulkarnain*

Akhirnya jerami kering yang tertimbun lama itu terbakar di penghujung Agustus 2025—begitulah perumpamaan yang dapat kita buat– menggambarkan suasana Gerakan Rakyat—ada juga yang menyebutnya  dengan Gerakan Rakyat Agustus Kelabu. Diawali dengan perilaku elit di DPR dan pemerintahan yang kurang emphati  pada rakyat yang terhimpit kehidupan ekonomi dan pemicunya awal meninggalnya Affan Kurniawan—seorang driver ojeg online.

Sedangkan pemicu  besarnya adalah minimnya trust pada kelembagaan pemerintah yang kurang proaktif mengatasi problem sosial, politik, dan ekonomi yang dihadapi rakyat dan pada melemahnya kepercayaan. David Easton menjelaskan bahwa bila legitimasi melemah (legitimacy dengan kenaikan harga bahan pokok (minyak goreng, LPG 3 kg, telur), pajak bumi dan bangunan, serta dampak PHK crisis), maka dukungan politik berkurang dan sistem bisa  menghadapi instabilitas atau protes rakyat (A System Analyses of Political Life (1965).   

Dengan mengusung narasi  sosial-ekonomi yang menyentuh kehidupan rakyat seperti melonjak biaya hidup dan naiknya  pajak bumi dan bangunan, serta frustrasi publik terhadap elite politik yang arogan, maka Gerakan Agustus Kelabu ini  mendapat momentumnyanya. Penyebarannya difasilitasi oleh beragamnya media-sosial: media jejaring sosial (facebook dan linkediln) dan media sharing network. Dalam waktu singkat bahkan real-time, Gerakan Agustus Kelabu menyebar ke sejumlah Provinsi dan Kota di Indonesia: Pulau Jawa, Sumatera,Kalimantan, Sulawesi, Makuku, dan Papua (Wikipedia,JatimTimes).  

Tuntutan Gerakan Agustus Kelabu, tanggal 25 Agustus 2025: penolakan tunjangan besar untuk anggota DPR—tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan (10× Upah Minimum DKI), ditambah tunjangan lain—dipandang tidak sensitif terhadap krisis ekonomi rakyat. Permintaan pembubaran DPR serta pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU), Perampasan Aset, kritik terhadap RUU Polri dan RUU Penyiaran. Narasi Ekonomi dan Sosial dan biaya hidup melonjak : kenaikan harga bahan pokok (minyak goreng, LPG 3 kg, dan telur), pajak bumi dan bangunan, serta dampak PHK dan frustrasi publik terhadap elite politik yang dianggap berjalan jauh dari realitas rakyat.(detiknews,NU-Online).  

Pada 28 Agustus 2025, Mahasiswa dan Buruh menuntut:  penghapusan kontrak pihak luar (outsourcing), kenaikan upah minimum, pelarangan PHK massal, reformasi pajak tenaga kerja—ditujukan kepada DPR dan Pemerintah. Pada 28 Agustus itu juga,  aksi damai berubah  rusuh di sejumlah kota: pembakaran kantor DPRD (Makassar, Surabaya), blokade jalan, kerusuhan di Grahadi (Surabaya), pembakaran halte Transjakarta,  dan vandalism di Jakarta.

Untuk menyalurkan berbagai tuntutan publik secara sistematis, muncul rumusan  17+8 Tuntutan Rakyat: 17 tuntutan jangka pendek (target dipenuhi dalam seminggu, hingga 5 September 2025) dan 8 tuntutan jangka panjang (target dalam satu tahun, hingga 31 Agustus 2026). Subtansinya  mencakup: penghapusan tunjangan DPR, transparansi, pembebasan demonstran, reformasi institusi, pelarangan dwifungsi TNI/Polri, evaluasi hukum dan kebijakan, serta keadilan sosial dan reformasi ekonomi (Wikipedia,Liputan6,Kompas TV).

 Tanggapan Terhadap Gerakan Rakyat Agustus Kelabu 

Organisasi Keagamaan:  Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persekutuan Geraja Indonesia (PGI,dan Konperensi Waligereja Indonesia (KWI) 31 Agustus 2025 (Wikipedia,teks bahasa Inggris), menyampaikan belasungkawa atas korban yang meninggal dan mendesak masyarakat untuk menghentikan penjarahan dan vandalisme saat demonstrasi.

Organissasi Keagamaan ini juga meminta agar pemerintah dan DPR lebih introspektif dan tidak menyakiti hati rakyat—karena masyarakat membutuhkan teladan dari para pemimpin. mengkritik pemerintah dan DPR yang dinilai kurang empati dan sadar diri, juga mengecam kekerasan berlebihan oleh aparat selama demonstrasi. Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo menyerukan pertobatan nasional dan meminta Lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif untuk merefleksikan kekeliruan dan melakukan reformasi sistemik  (Wikipedia,9/9/2025)

Secara khusus,  31 Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto didampingi  8 Ketua Umum Parpol, Ketua DPR, dan Ketua MPR menyampaikan sikap bersama di Istana Merdeka yang subtansinya: Negara menghormati hak warga untuk menyampaikan pendapat dan menuntut aparat TNI/Polri bersikap tegas terhadap massa anarkis—termasuk yang merusak fasilitas umum, melakukan penjarahan, atau berupaya melakukan tindakan makar ( ANTARA News). 

Sebelumnya, yaitu tanggal 25 Agustus 2025, anggota DPR dari Fraksi PDIP, Selly Andriany Gantina  dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (Partai Gerindra) menyatakan hal yang mirip pada intinya demonstrasi adalah bagian dari demokrasi dan DPR menghormati hak berserikat dan menyatakan pendapat sesuai konstitusi dan menghimau agar aspirasi disampaikan secara tertib dan sesuai aturan berlaku (Antara News).

Suara Mahasiswa melalui  Kelompok Cipayung Plus Jawa-Timur sebagaimana  dikutip  Radar Kediri, 31/8/2025 memberikan  pernyataan sikap yang — dikenal  sebagai Dasa Prakatana —Intinya menyampaikan  duka cita dan belasungkawa mendalam kepada para korban. Menyerukan agar publik tetap menjaga keutuhan dan perdamaian bangsa, khususnya di Jawa Timur serta mendorong masyarakat agar tidak menerima isu apa adanya, melainkan menelaah dan mencermati informasi dengan bijak. Kelompok Cipayung menolak segala bentuk arogansi, tindakan represif aparat, maupun anarkisme massa dalam aksi demonstrasi. Kelompok Cipayung   menyatakan  kesiapannya sebagai mitra kritis pemerintah sekaligus oposisi terhadap kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.

Tidak ketinggalan Kelompok Masyarakat Sipil: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesian Corruption Wacth (ICW),  Kontras, dan Transparency International Indonesia  dan  lainnya (INAnews,31/8/2025) mengeluarkan pernyataan yang menuntut pembentukan tim investigasi independen atas aksi represif terhadap demonstran, serta adili aparat yang bertanggung jawab. Mereka  menolak pembungkaman ruang sipil dan mendesak pemerintah membuka dialog, serta mereformasi institusi Polisi Republik Indonesia (POLRI)  secara transparan dan menyeluruh. 

Langkah Pro-aktif Pemerintah 

Pasca-Gerakan Rakyat Akhir Agustus, Pemerintah mengambil langkah-langkah pro-aktif  pada penegakan hukum yang adil dan transparan: menekankan bahwa penanganan pasca-demonstrasi dilaksanakan sesuai koridor hukum. Mengedepankan HAM, serta dilakukan secara terukur, transparan, dan akuntabel. Dari 5.444 orang yang diamankan, 4.861 telah dipulangkan, dan 583 tetap diproses secara hukum, dengan hak-hak hukum terjamin—seperti pendampingan advokat dan akses informasi.

Pemerintah akan memastikan penanganan peserta anak mendapat perhatian khusus: mereka tidak dikriminalkan dan mendapatkan pendampingan psikologis, hukum, dan sosial melalui layanan pengaduan seperti SAPA129 dan SIGAP Anak 2025. Korban luka ditanggung penuh oleh pemerintah, dan keluarga korban yang meninggal dunia mendapat santunan serta beasiswa untuk anak-anak mereka.

Presiden Prabowo juga meminta pimpinan DPR dan jajaran kabinetnya membuka pintu dialog langsung dengan pihak-pihak yang menyampaikan aspirasi, termasuk mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil  (Liputan6 dan Wikipedia). Penasehat Golkar, Henry Indraguna, mengusulkan agar penanganan pasca-demo melibatkan pendekatan persuasif dan humanis, bukan represif, serta dorong proses hukum yang transparan terhadap aparat yang diduga melanggar prosedur. Pemerintah diminta menunda atau mengevaluasi kebijakan seperti kenaikan pajak dan biaya hidup tanpa kompensasi yang adil bagi masyarakat kecil  (Liputan6).

Usulan reformasi termasuk pengesahan UU Perampasan Aset guna mempercepat pemulihan kerugian negara akibat korupsi. Pemerintah juga mengambil langkah revisi terhadap UU Pemilu agar akses politik lebih inklusif dan adil—khususnya dalam menghapus ambang batas dan membuka akses bagi calon non-elite

Pemerintah tengah menyiapkan langkah pemulihan cepat untuk korban demonstrasi serta infrastruktur yang terdampak pasca-kerusuhan demo. Menko Polkam menyatakan beberapa wilayah telah kembali kondusif pasca-gelombang demonstrasi. Menteri Dalam Negeri mengajak para Kepala Daerah untuk membahas dan memperkuat situasi keamanan pasca-demo, termasuk kemungkinan reaktivasi sistem keamanan lingkungan (Siskamling) di tingkat RW/RT (Wikipedia)

Analisis dan Pembelajaran

Gerakan sosial muncul karena kesenjangan antara harapan (apa yang diyakini orang seharusnya mereka dapatkan) dan kenyataan (apa yang benar-benar mereka miliki). Semakin besar jurang ini, semakin tinggi potensi protes, demonstrasi, bahkan pemberontakan (Ted Robert Gurr dalam Why Men Rebel, 1970). Gerakan sosial bukan sekadar reaksi emosional, tetapi hasil perencanaan strategis. Gerakan sosial sukses karena jaringan sosial (koneksi antar individu, kelompok, organisasi).

Keberhasilan gerakan sangat tergantung pada sumber daya (uang, jaringan, media, organisasi, kader). Jadi, bukan rasa marah saja yang penting, tetapi kemampuan mengorganisir (John D. McCarthy & Mayer N. Zald, dalam  Resources Mobilazation Theory, 977). Dari dua teori di atas, Gerakan Rakyat Akhir Agustus terjadi karena adanya narasi bersama dan dukungan sumberdaya terutama jaringan dan media sosial  dalam dalam hal ini media digital, yang menjadi sarana penyebaran gagasan gerakan meluas.   

Selanjutnya, Gerakan Sosial terjadi berbeda dengan gerakan lama (buruh, kelas), gerakan sosial baru lebih menekankan isu identitas, budaya, HAM, lingkungan, Gender. Gerakan ini tidak selalu menuntut negara, tetapi juga perubahan nilai dan gaya hidup (Alberto Melucci, Jürgen Habermas, Alain Touraine dalam New Social Movements, 1970–1990-an).

Gerakan sosial berhasil, bila ada peluang  dalam dalam sistem politik, basis massa terorganisir dan  masyarakat sadar bahwa mereka bisa mengubah keadaan. (Doug McAdam dalam Political Process Theory (1982). Gerakan Rakyat Penghujung Agustus berbeda dengan Gerakan Reformasi 1998 dan Gerakan Rakyat sebelumnya. Gerakan Rakyat Penghujung Agustus, didukung oleh basis massa yang solid yaitu Mahasiswa dan Buruh yang memahami situasi sosial ekonomi dan memiliki kesadaran politik untuk mengubah keadaan.

Pembelajaran yang dapat dipetik dari Gerakan Rakyat Agustus Kelabu: aparat negara harus mengedepankan prinsip kehati-hatian dan menghormati nyawa rakyat saat menjaga keamanan publik. Kaum Cendekiawan perlu melakukan  edukasi dan penguatan nilai demokrasi pada masyarakat terutama di kalangan Gen Z — sehingga aspirasi bisa disampaikan melalui saluran yang tepat—seperti diskusi, advokasi, bukan demonstrasi jalanan.  Gerakan  berbasis keadilan sosial lebih efektif dlakukan melalui negosiasi, advokasi hukum, dan dialog—daripada destruksi yang kontraproduktif terhadap citra gerakan rakyat.

Gerakan Rakyat ini — demonstrasi besar-besaran membawa kerugian ekonomi berupa hilangnya produktivitas, terganggunya logistik, dan penghentian aktivitas bisnis — namun, dalam jangka panjang, aksi tersebut dapat meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pemerintah, mendorong kebijakan yang lebih responsif pro-rakyat, dan menurunkan risk premium, sehingga memperbaiki iklim investasi,yang pada  ujungnya menggerakan urat nadi perekonomian rakyat. Wallau ‘Alam Bi Sowab.

*Konsultan Pemberdayaan Masyarakat dan Dewan Pembina Yayasan Mahasiswa Islam Insan Cita (YAPMIC) Ciputat

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *