Oleh: Renville Almatsier*
Tidak dapat disangkal, hampir semua kita merasa tertolong dan berterima kasih berkat adanya BPJS –lembaga negara yang bertanggung jawab menyediakan jaminan sosial bagi masyarakat. Terutama bagi warga lansia, di saat tidak ada lagi asuransi yang mau menanggung biaya kesehatan mereka, sementara aneka penyakit makin sering mampir di usia tua.
Saya adalah peserta BPJS sejak program itu diperkenalkan di awal 2014. Sejak itu beberapa kali saya telah menikmati fasilitas BPJS, mulai dari operasi berat, rawat-inap, dan berobat-jalan. Dari segi finansial saya sangat, sangat terbantu. Dari waktu ke waktu — BPJS terus melakukan perbaikan, mulai dari mengatur rumah sakit (RS) rujukan terdekat dengan (calon) pasien, menata sistem kelas rawat-inap, menyesuaikan ongkos hingga meng-update teknis pelayanannya.
Saya sendiri sudah tiga kali berpindah RS rujukan. Pada masa-masa awalnya, mulai mendaftar pasien sudah harus berebutan. Setiap kali berurusan, proses apapun mensyaratkan adanya fotokopi, mulai dari surat pengantar, kartu BPJS, KTP dan macam-macam lagi. Repotnya bukan main setiap kali harus menduplikasi berkas-berkas itu.
Dari sisi pelayanan begitu juga. Doeloe setiap pasien yang datang harus mendaftar, menuliskan data diri di secarik kertas sebelum menunggu giliran dipanggil. Kemudian ada perbaikan, disediakan buku, lalu mengambil nomor antrian dari mesin absensi. Tidak berebutan lagi. Tidak perlu lagi aneka fotokopi. Kemudian, ada pemisahan batas usia, pasien manula diprioritaskan.
Kini, hampir semua warga masyarakat, kecuali yang mampu berobat ke Penang atau Beijing, mengandalkan program BPJS — karena itu pasien peserta BPJS makin banyak dan ruang dokter pun selalu penuh. Dampaknya, banyak dokter kian bergegas memeriksa pasiennya. Saya menjumpai banyak pasien yang tidak puas. Ingin berkonsultasi, tetapi belum lagi dia sempat duduk, sang dokter yang lebih sibuk menatap layar komputer, lalu menyodorkan resep dan memanggil pasien berikutnya.
Kemudian juga ada integrasi data dan digitalisasi. Sejak diperkenalkannya aplikasi JKN, prosedur menjadi lebih tertib dan lebih baik. Setelah komputer ikut masuk, berangsur kerepotan jadi berkurang Mendaftar tidak bisa lagi go show, tetapi harus lewat online — tetapi tetap saja membingungkan bila jaringan internet terganggu, atau kalau ada hal yang perlu ditanyakan.
Saya tidak tahu apakah semua RS mempraktikkan cara pelayanan yang sama, namun secara umum saya merasa tetap banyak yang harus dibenahi. Memperpanjang masa berlakunya surat rujukan di klinik perantara (atau resminya disebut FKTP/Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) kini ada aturannya. Misalnya, pada pasien yang terkait dengan perawatan lebih dari satu macam penyakit. Dia tidak bisa memperpanjang sekaligus dua atau tiga surat rujukan meski kepada dokter spesialis berbeda.
Menurut peraturan baru. itu harus dilakukan satu persatu pada hari berbeda. Doeloe, setiap waktu kita bisa memperpanjang surat rujukan ini –tetapi kini bila masa berlaku surat rujukan masih cukup lama, perpanjangan surat itu harus menunggu tiga-empat hari menjelang masa berlakunya habis. Bayangkan betapa seringnya kita harus bolak-balik mengurus perpanjangan surat-surat penting itu. Selain memakan waktu, buat pensiunan yang menggunakan kendaraan umum sangat terasa memberatkan. Jangan sampai kadaluwarsa, karena itu akan membuat proses tambah rumit.
Di RS rujukan atau FKRTL (Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan) masih ada desk pendaftaran yang menggunakan cara tradisional, memanggil nama pasien dengan berteriak. Bila suaranya pelan, atau kalaupun menggunakan pelantang, suaranya kresek-kresek, panggilan sering terlewatkan. Sering pula petugas membaca terlalu cepat sehingga pasien, terutama manula, tidak bisa mendengar dengan jelas. Dampaknya, mereka lalu berkerumun di depan meja pendaftaran atau loket farmasi. Akibatnya suasana jadi kacau, tempat yang disediakan untuk duduk dengan tertib jadi sia-sia. Panggilan lewat teriakan pun makin tak terdengar.
Pengalaman saya yang paling baru: datang terlalu cepat untuk ambil nomor, tidak akan dilayani. Datang mepet waktu — bisa-bisa nggak dapat giliran, atau dokter keburu pulang. Jadi, datang cepat, salah datang terlambat, itu resiko juga.
Alangkah baiknya bila BPJS Pusat bisa membina manajemen semua RS pelaksana (FKTP dan FKRTL). Kalau perlu, mendidik para petugas itu agar menjalankan kebijakan standar, mulai dari penerapan sistem pendaftaran yang tertib, penggunaan pelantang suara yang jelas, agar dokter mau mendengar keluhan pasien hingga memperluas bagian farmasi agar pengadaan obat bisa lebih cepat.
Kalau soal menunggu, urusan dengan BPJS memang perlu kesabaran. Kami juga tahu diri. Mau murah, ya tentu harus mau bersabar, tetapi dengan turun tangannya BPJS Pusat mungkin beberapa hal dasar tadi bisa diperbaiki. Paling tidak, waktu tunggu mulai dari antre pendaftaran, menunggu giliran pengukuran tensi darah, menunggu pemeriksaan dokter, dan ini yang paling lama menunggu keluarnya obat, bisa ditekan.
Rata-rata secara total seorang pasien membutuhkan waktu 3-5 jam di RS, di luar waktu perjalanan dari rumah. Bisa-bisa pasien bukannya sembuh.. tetapi malah tambah sakit. Apalagi, dengar-dengar iuran BPJS mau dinaikkan. Aduuh. Alamak. (*)
*Pengamat Sosial dan Mantan Jurnalis Majalah Berita Tempo
Editor: Jufri Alkatiri