Tot…Tot, Wuk… Wuk…..

Oleh: Renville Almatsier*

Ternyata Jakarta, nggak jelek-jelek amat. Menurut media massa, sistem transportasi umum di Jakarta lebih baik dari pada Kuala Lumpur dan Bangkok. Itu kesimpulan survei internasional yang dirilis oleh Time Out (Kompas, 10 September 2025).  Menurut survei itu, Jakarta menduduki peringkat ke-17 dunia. Untuk di Asia Tenggara, kita  masih kalah oleh Singapura yang berada di posisi ke-12. Survei itu menilai sejumlah aspek, mulai dari keterjangkauan tarif, kenyamanan, keamanan,  dan kemudahan akses hingga integrasi antar moda.

Ya, senang dan bangga juga kita dibuatnya — meskipun, hmm.. kalau mau jujur, pada kenyataannya yang kita temui adalah kebalikannya. Sehari-hari kita harus menderita oleh ketidak-nyamanan kemacetan lalulintas ibukota.

Sebenarnya transportasi di Jakarta jauh dari sempurna. Kapasitas angkutan umum di Jakarta belum memadai. Menurut berita yang lain, rata-rata jumlah pengguna angkutan umum di Jakarta berjumlah 2,301 juta penumpang per hari. Rinciannya 1 juta penumpang KRL, 1,1 juta penumpang bus Transjakarta, 100.000 untuk MRT, dan 1000 penumpang LRT. Padahal total penumpang yang butuh angkutan setiap hari lebih dari 5 juta orang (Kompas, 19 Juni 2025).

Kita yang sehari-hari bertungkuslumus di ibukota negara ini sudah capek dihadapkan pada masalah lalulintas. Kalau macet di tengah kota, atau di jalan-jalan utama pusat perkantoran atau bisnis, itu bisa dimaklumi. Tetapi kini, kemacetan sudah bermula sejak kita meninggalkan gerbang rumah. Berbagai upaya dilakukan untuk mengimbau masyarakat  menggunakan transportasi umum dan meninggalkan kendaraan pribadi di rumah masing-masing.  Hasilnya belum tampak. Sebagian orang berpindah dari kendaraan pribadi bukan ke kendaraan angkutan massal. Tetapi  beralih ke angkutan ojek yang berarti tidak mengurangi jumlah kendaraan yang berseliweran di jalan.

Maaf kepada rekan-rekan pengemudi ojek, ini bukan masalah lapangan kerja. Kehadiran ojek memang memberi kemudahan bagi banyak orang.  Tetapi jumlah ojek yang bertambah banyak kemudian menimbulkan masalah baru. Dari sekitar Jakarta, setiap pagi ribuan kendaraan bermotor termasuk ojek, memadati jalan-jalan menuju tengah kota. Sementara KRL, moda yang paling cepat tetapi berdesakan, tidak bisa diandalkan dari segi kenyamanannya.  Begitupun, setelah sejenak menikmati kenyamanan,  mereka yang memilih moda transportasi massal seperti KRL, MRT, atau LRT, setelah turun kembali harus bergulat melawan kemacetan yang tidak terhindarkan untuk sampai ke tujuan akhir.

Meskipun tersedia bus yang bersih dan sejuk, agaknya orang bukan mencari kenyamanan saja tetapi lebih butuh kecepatan, tidak terlambat!   Karena itu ojek sangat laku. Ojek,  bisa meliuk-liuk di tengah kemacetan, bisa menerobos lampu lalin, bisa melawan arus. Dengan ojek semua bisa diterabas, tidak peduli ojek itu sendiri menjadi sumber kemacetan bagi kendaraan lain.

Upaya untuk menekan kemacetan lalulintas yang terus digaungkan, saya yakin akan tetap sulit dilakukan selama beberapa hal terus dibiarkan. Pertama, tertibkan disiplin pengguna jalan secara umum. Kali ini mohon maaf kepada bapak-bapak Polantas dan LLAJR. Ternyata begitu sulit bagi petugas ya…untuk melarang pengemudi yang melawan arus.

Usul saya, hidupkan kembali larangan bagi kendaraan berukuran besar masuk ke jalan atau jembatan kecil. Mengacu “jaman normal”, doeloe ada pembagian kelas jalan dan jembatan. Sayangnya sejak munculnya  jalan tol, hal itu tidak dikenal lagi. Kini truk dan bus wisata  berukuran gede bisa seenaknya masuk ke jalan atau jembatan berukuran kecil.  Mobil pribadi four-seater pun kini berukuran tambun  sehingga menyempitkan jalan bila ada dua kendaraan berpapasan. Berikutnya, tertibkan parkiran di pinggir jalan, terutama di setiap halte bus/MRT/LRT dan di sekitar pertokoan. Lalu, konsekuenlah dengan peraturan melarang daerah tertentu dijadikan tempat usaha.

Alhamdulillah Korps Lalu Lintas Polri sudah memutuskan membekukan penggunaan fasilitas sirene dan strobo kendaraan pejabat di jalan raya, salah satu penyumbang kemacetan. Paling tidak imbauan masyarakat lewat gerakan Stop Tot ToT, Wuk Wuk di media sosial sudah difahami yang berwenang. Memang, yang kita dambakan, selain tidak ada kemacetan, juga kenyamanan dan ketertiban. (*)

*Pekerja Sosial dan Mantan Jurnalis Majalah Berita Tempo

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *