Holocaust, Kebohongan Terbesar Abad XX

Oleh: Helmi Hidayat, MSi*

Ketika menyusuri labirin berkelok-kelok di antara 2.711 lempengan beton di Holocaust-Mahnmal di pusat kota Berlin, Jerman, 2023 lalu, saya sesungguhnya lebih membayangkan wajah tua  Robert Faurisson ketimbang membenarkan ada 6.000.000 keturunan Yahudi Jerman tewas dibunuh di kamar gas.  Faurisson adalah dosen di Universitas Lyon, Prancis, yang hingga ajal menjemputnya pada 21 Oktober 2018 lalu tetap menyangkal bahwa peristiwa Holocaust benar-benar terjadi.

Lelaki kelahiran Middlesex, Inggris, itu terus berkampanye sepanjang hayat bahwa peristiwa Holocaust adalah fiktif, isapan jempol, karangan konspiratif petinggi Zionisme dengan pejabat Nazi Jerman. ‘’Orang-orang paling tolol yang pernah saya lihat di muka Bumi adalah orang-orang yang mempercayai ilusi ini,’’ kata Faurisson di ruang-ruang kuliahnya, di forum-forum diskusi Institute for Historical Review yang ditekuninya sejak 1970an, serta di ruang-ruang kuliah di markas besar National Alliance (partai neo-Nazi Amerika ) di luar Washington tempat ia banyak menyampaikan kebenaran. 

Pikiran Faurisson tidak hanya menggema di ruang-ruang kuliah, tetapi juga menancap tajam di jurnal-jurnal ilmiah semisal Jurnal Historical Review dan media massa Prancis, khususnya ”Le Monde”, selama bertahun-tahun. Gerakannya membuat kaum Zionis di Eropa dan AS gerah. Mereka lalu menyogok para senator di Paris untuk memuluskan disahkannya UU Gayssot pada 1990, yang bakal memberangus siapa saja yang puny pikiran bahwa Holocaust di Jerman adalah kebohongan terbesar abad XX – menyaingi kebohongan besar mendaratnya umat manusia di bulan dengan teknologi rapuh Apollo 11 pada 1969.

Tidak sampai setahun setelah UU Gayssot disahkan, Faurisson ditangkap, dihukum denda, lalu dipecat sebagai dosen. Tidak pernah kita duga bahwa di Perancis pikiran bisa diberangus begitu saja lewat undang-undang, padahal di sanalah kemerdekaan akrobat berpikir dan berkesenian umat manusia dimulai lewat revolusi berdarah 1789 – 1799, setelah berabad-abad Eropa ditelan kegelapan. 

Ada tiga mitos konyol tentang Holocaust yang selalu dikampanyekan Faurisson dan membuat gerah kaum zionis.  Mitos pertama, Holocaust cuma isapan jempol sebab  blue print pemusnahan Yahudi di Jerman tidak pernah ditemukan sampai kini. Mustahil 6.000.000 anak manusia dibunuh dalam periode yang sama tanpa perencanaan matang oleh rezim Adolf Hitler. “Tindakan sedahsyat itu pasti direncanakan, diperintahkan, diorganisasi, juga dianggarkan. Mana semua bukti itu,’’ demikian selalu dikatakan Robert Faurisson, dengan nada nyinyir.

Mitos kedua, saat berargumentasi tentang Holocaust, para cendekiawan pembela kisah fiktif ini hanya mengandalkan kesaksian mereka yang lolos dari kamp Auschwitz, tanpa pernah bisa mengeluarkan dokumentasi objektif bahwa genosida oleh Nazi benar-benar terjadi. Andalan mereka adalah  The Diary of Anne Frank,  buku harian berbahasa Belanda yang disimpan Anne Frank ketika ia bersembunyi dari kejaran Nazi. Buku hariannya ditemukan oleh Miep Gies, lalu diserahkan kepada Otto Frank, ayah Anne yang menjadi satu-satunya korban selamat. Buku inilah yang diterbitkan dalam 60 bahasa lalu disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia untuk menarik simpati warga Bumi.

Kata Faurisson, lagi-lagi dengan nada nyinyir, setiap orang bisa mengarang buku harian itu, lalu jidat Otto Frank ditodong pistol Zionis untuk mengakui buku itu adalah tulisan anaknya yang sudah mati. Masa kaum cendekiawan menulis artikel di jurnal-jurnal berbekal buku harian anak kecil?

Mitos ketiga, ‘’Plakat Auschwitz’’ tentang angka 6.000.000 berkali-kali diralat. Plakat ‘’glorifikasi kesedihan’’ ini dipasang di kompleks kamp konsentrasi dan pemusnahan Auschwitz. Setelah tentara Rusia membebaskan kamp tersebut pada 1945, sebuah investigasi Soviet menyimpulkan bahwa hanya empat juta orang tewas di Auschwitz selama perang. Angka ini dijadikan bukti hukum saat mantan pejabat Nazi diadili di Pengadilan Nuremberg, lalu pemerintah Polandia mengubah Auschwitz menjadi museum pada 1947.

Uniknya, pada 1990, museum itu menghapus plakat tadi dari jajaran benda-benda pajangan setelah sejarawan museum, Franciszek Piper, mengumumkan bahwa jumlah korban Auschwitz hanya 1.500.000 , bukan 4.000.000. Kata Faurisson dan kawan-kawannya, antara lain  Michael Collins Piper, yang pada 1999 menulis makalah berjudul “Auschwitz: The Final Count”  dalam jurnal The Barnes Review Vol. 5 No. 5, ‘’ Jika fakta-fakta baru ini benar, jumlah sebenarnya korban Holocaust Yahudi pasti jauh lebih sedikit dari 6 juta orang seperti yang banyak dibicarakan itu.’’

Faurisson memang tidak sendiri. Ada banyak orang waras meragukan Holocaust pernah terjadi. Selain Michael Collins Piper, ada John Wear dan Alex Linder. John Wear adalah akademisi yang populer lewat bukunya yang menjadi best seller, ‘’Germany’s War: The Origins, Aftermath & Atrocities of World War II.’’ Di buku ini dia banyak mengungkapkan kebohongan Zionis tentang ilusi Holocaust.

Sedangkan Alex Linder adalah mantan anggota Aliansi Nasional, sebuah organisasi politik yang dianggap oleh Southern Poverty Law Center di AS sebagai “kelompok neo-Nazi paling aktif dan penting’’ di Negeri Paman Sam itu. Linder selalu berteriak bahwa ralat plakat Auschwitz adalah bukti otentik kebohongan Zionis tentang Holocaust.

Dari semuanya, Willis Allison Carto lebih trengginas dibanding Piper dan Linder. Carto menjadi aktivis politik sayap kanan AS yang sangat terkenal akibat kampanyenya yang gencar tentang teori konspirasi Holocaust. Ia sampai mendirikan Liberty Lobby di akhir 1950-an, mempromosikan betapa bohongnya kisah Holocaust.

Carto menyebar kampanyenya itu di The Spotlight, majalah mingguan miliknya yang di awal 1980-an memiliki sirkulasi 300.000 eksemplar. Majalahnya berulang kali memuat klaim bahwa buku harian Anne Frank adalah rekayasa, bahwa Hitler memiliki niat mulia, bahwa Zionis berkolusi dengan Nazi, dan bahwa kamar gas mematikan di Auschwitz adalah ilusi murahan.

Buat apa Zionis dan petinggi Nazi mengarang cerita bohong Holocaust? Jawabanya cuma satu: mereka butuh alasan untuk merebut tanah orang-orang Palestina untuk membuat satu negara sendiri, agar bangsa Israel tak lagi keleleran di banyak negara lalu jadi beban mereka, kemudian Holocaust serupa pun terjadi lagi.

Carto wafat 26 Oktober 2015 dan Faurisson wafat  21 Oktober 2018. Keduanya tak sempat melihat tentara Israel yang sejak 7 Oktober 2023 lalu turun ke tanah Gaza lalu menembaki kaki anak-anak Arab sambil tersenyum seperti orang menembaki anak bebek. Militer Israel yakin, jika kaki ditembak, anak-anak Arab itu akan tumbuh jadi generasi yang lemah dan tak berdaya, lalu punah dengan sendirinya ditelan zaman.

Sampai saat ini, 63.700 bangsa Palestina gugur ditembak peluru atau dihajar roket panas yang mampu meruntuhkan tembok Windsor Castle di Inggris. Mereka ditembaki oleh tentara sebuah negara yang dibangun di atas kisah bohong Holocaust.

Jika Faurisson, Carto, Linder dan John Wear sudah waras sebelum Netanyahu dan mesin perangnya bertindak Barbarian, Anda masih mau mempercayai kisah Holocaust dan bersimpati pada kampanye beton-beton di Holocaust-Mahnmal di pusat kota Berlin?  Saya pribadi tidak mau disebut tolol oleh Faurisson!

*Dosen FDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengamat Keagamaan, dan Filsuf

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *