Oleh: Renville Almatsier*
Pasti Anda termasuk yang ikut berdebar menunggu penampilan tim nasional sepakbola kita yang minggu ini akan turun gelanggang di Saudi Arabia. Kita berharap yang terbaik, Indonesia lolos dari babak kualifikasi Piala Dunia 2026 ini.
Para pemain sudah mulai berlatih di Jeddah. Sebelumnya, susunan pemain diumumkan dan menimbulkan berbagai komentar dari para pendukung. Dua kiper andalan Audero dan Paes kabarnya agak cedera. Marselino, entah bagaimana kabar terakhirnya. Thijs Dalinga belum jelas juga statusnya. Apakah Patrick Kluivert tetap akan mengubah strateginya? Terserahlah, tapi kali ini saya tak akan membahas tentang pertandingan itu. Tidak juga mengenai dikotomi pemain asing vs lokal, atau campuran vs asli. Istilah “lokal” atau “asli” di sini mengacu pada “putra Indonesia” yang tumbuh di tanah airnya.
Sudah menjadi kebijakan berdasarkan pengalaman PSSI bahwa menaturalisasi pemain diaspora merupakan jalan pintas paling efektif untuk meningkatkan performa dan kualitas timnas. Karena mereka, pemain-pemain keturunan Indonesia yang merumput di negara-negara Eropa itu, dianggap terbiasa dengan sistem kompetisi yang ketat. Tingginya putaran kompetisi dengan pemain-pemain bertaraf internasional diyakini akan membentuk pemain yang tangguh dan terlatih baik.
Hal itu sudah dibuktikan oleh Timnas Indonesia dalam dua tahun terakhir di bawah Ketua Umum PSSI Eric Thohir. Sejak dimulai di era pelatih Shin Tae Yong kemudian berlanjut dengan Kluivert, tim kita memang berkembang pesat. Berkat diperkuat dengan pemain-pemain impor itu, Indonesia bisa masuk di peringkat 117 dunia. Sejak itu pula penampilan timnas selalu menjadi pusat perhatian masyarakat, tidak saja di tanah air tetapi juga disorot oleh pengamat dari mancanegara.
Kini tidak kurang dari dua pertiga pemain timnas senior, yang akan maju ke babak kualifikasi Piala Dunia melawan Saudi Arabia dan Irak itu, diisi oleh mereka. Kita bersyukur bahwa mereka ikut menaikkan nama bangsa Indonesia di kancah dunia. Kevin Diks, Mees Hilgers, Emil Audero, Jay Idzes, Calvin Verdonk, Joey Pellupessy memang masuk di kasta utama Liga Utama Eropa. Pemain-pemain senior di atas usia 21 tahun itu, bolehlah dianggap telah matang. Tidak ada yang salah dengan cara ini.
Tetapi kini, masuknya pemain keturunan itu ikut merembet ke Tim U-23 dan juga U-17. Tampaknya pemain-pemain diaspora usia muda pun jadi incaran tim pembinaan PSSI. Padahal dilihat dari usia, mereka belum banyak dan belum terlalu tergembleng bertarung di kompetisi Eropa. Beberapa dari mereka, sebutlah Miliano Jonathans atau Mauro Zijlstra, masih berkompetisi di Liga Kelas Dua. Kita bahkan juga menerima pemain junior seperti Struick dan Raven yang masih sangat muda dan belum teruji di kompetisi Eropa yang disebut-sebut merupakan kancah candradimuka pemain-pemain kelas dunia.
Sebaliknya, beberapa pemain senior seperti Eliano Rijnders, Thom Haye, Marc Klok, dan Jordy Amat kini justru dikontrak oleh klub-klub lokal bertarung di kompetisi lokal kita yang kini bernama Liga Super. Jadi, bila tadinya kita mau mengambil manfaat dari pemain-pemain diaspora yang terbentuk dalam kompetisi Eropa, beberapa pemain senior itu kini justru bertarung dalam liga lokal.
Sayangnya, kini muncul peraturan penambahan jatah pemain asing pada kompetisi lokal. Doeloe, pada musim kompetisi 2023-2024, pembatasan maksimal enam pemain sebenarnya sudah cukup baik sebagai pemicu pemain-pemain lokal. Tapi kini kepada klub diberikan kesempatan memiliki 11 pemain asing, Akibatnya, kini kompetisi lokal makin dipenuhi oleh pemain asing yang mayoritas berasal dari Amerika Selatan, Eropa dan Asia Timur. Tentu saja dilihat dari segi pembinaan, kehadiran begitu banyak pemain asing telah mengancam kesempatan menit bermain pemain lokal.
Sementara, pemain lokal murni dari Indonesia baru Marselino yang mampu menembus dan merasakan beratnya kompetisi Eropa. Beberapa lainnya bermain di kawasan Asean. Kita memang belum punya pemain berbakat seperti Son Heung-min atau Cha Bum-kun atau Park Ji-sung pemain-pemain Korea Selatan yang hebat sehingga bisa berkelana di antara klub-klub Eropa.
Dari hasil Turnamen Piala Gothia di Swedia baru-baru ini, sebetulnya pemain-pemain cilik kita sudah membuktikan bahwa talentanya tidak kalah dengan anak-anak Eropa. Karena itu, baiknya kita pikirkan juga pembinaan bagi talenta lokal dengan memberikan kesempatan selua-luasnya bermain di negeri sendiri. Bukannya justru membuka keran masuknya pemain asing yang sedikit banyak menutup kesempatan bagi pemain lokal. Artinya, pemain atau talenta lokal kita rugi dua kali. Mau ke Eropa belum bisa bersaing. Mau main di negeri sendiri eh, pintu masuknya makin sempit.
*Pengamat Sepakbola dan Mantan Jurnalis Majalah Berita Tempo
Editor: Jufri Alkatiri