Oleh: Benz Jono Hartono*
Dari Rangkasbitung ke Pasadena
Setiap kisah besar sering kali bermula dari tempat kecil. Di antara gemuruh panggung dunia, jarang orang tahu bahwa di balik band rock legendaris Van Halen ada darah yang mengalir dari sebuah kota tenang bernama Rangkasbitung, Banten. Perempuan itu bernama Eugenia van Beers, ibu dari dua bersaudara pendiri Van Halen — Eddie dan Alex. Dia menikah dengan Jan Van Halen, seorang musisi Belanda pemain klarinet dan saksofon. Dari cinta lintas benua itu lahirlah dua anak yang kelak mengubah peta musik dunia.
Darah Nusantara mengalir dalam jari-jari yang memetik senar gitar legendaris, dalam tangan yang menabuh drum dengan kecepatan Surgawi. Dari Rangkasbitung ke Belanda, lalu ke Pasadena, California, kisah ini seperti perjalanan budaya yang panjang — dari timur yang lembut ke barat yang bergemuruh.
Ketika Iman Menjadi Irama
Van Halen tidak hanya dikenal karena musiknya yang keras dan energik, tetapi juga karena keunikannya: tiga keyakinan besar dunia hidup berdampingan di dalam satu band. David Lee Roth, vokalis Flamboyan dan karismatik, berasal dari keluarga Yahudi. Eddie Van Halen, Gitaris revolusioner dengan teknik “tapping”-nya, tumbuh dalam tradisi Kristen Katolik. Alex Van Halen, drummer penuh tenaga, adalah seorang Islam.
Bayangkan, tiga iman yang dalam sejarah sering saling berjarak, justru berpadu dalam satu harmoni. Tanpa perdebatan dogma, tanpa tuntutan keseragaman, mereka memainkan lagu bersama — dan jutaan orang di seluruh dunia ikut bernyanyi tanpa tahu bahwa di balik panggung itu, ada simbol perdamaian antaragama. Musik mereka bukan lagi sekadar hiburan. Ia adalah simbol spiritual tanpa kata, doa yang dinyanyikan lewat dentuman drum dan lengkingan gitar.
Musik Sebagai Bahasa Tuhan
Musik adalah bahasa yang lahir sebelum agama. Dia tidak butuh penerjemah, tidak menghakimi, dan tidak memisahkan. Dalam musik, setiap nada punya tempatnya, sebagaimana manusia di bumi ini. Van Halen menjadi bukti bahwa harmoni sejati lahir dari perbedaan yang saling melengkapi.
Mereka tidak seragam, namun saling mendengarkan. Tidak satu suara, namun satu irama. Dan mungkin, inilah yang ingin Tuhan tunjukkan: bahwa kebenaran tidak hanya ditemukan dalam kitab, tapi juga dalam melodi yang dimainkan dengan kejujuran.
Eddie Van Halen dengan gitar “Frankenstrat”-nya menciptakan suara yang seperti menyatukan dunia. Alex menabuh drum seolah menandai ritme kehidupan. David Lee Roth menjeritkan lirik seperti doa dari anak manusia yang ingin bebas. Di situ, iman berhenti menjadi batas, dan berubah menjadi getaran yang menyatukan.
Dari Banten ke Dunia Jejak yang Tak Terhapus
Bagi Indonesia, kisah ini lebih dari sekadar trivia budaya. Dia adalah pengingat bahwa peradaban besar bisa tumbuh dari rahim kecil bernama Banten. Bahwa darah kita mengalir dalam karya yang mengguncang dunia.
Eugenia van Beers mungkin tidak pernah membayangkan bahwa anak-anaknya akan membawa nama kecil Rangkasbitung ke kancah rock internasional. Tetapi sejarah telah menulisnya. Dalam setiap konser Van Halen, gema musik mereka seakan membawa pesan tidak tertulis dari Timur: bahwa harmoni adalah jantung dari kemanusiaan.
Harmoni yang Tidak Disadari
Ketika banyak orang sibuk memperdebatkan agama, Van Halen justru memperlihatkan bagaimana tiga iman bisa hidup bersama dalam satu lagu. Mereka tidak mengkhotbahkan persaudaraan — mereka memainkan persaudaraan.
Dan siapa sangka, sebagian dari harmoni dunia itu berasal dari seorang perempuan Indonesia — dari Rangkasbitung, Banten — yang menurunkan bukan hanya darah, tetapi juga keheningan yang bisa berubah menjadi nada. Mungkin, di antara petikan gitar Eddie yang terakhir, Tuhan tersenyum: karena dari musik, manusia akhirnya mengerti makna terdalam dari iman — bukan untuk membedakan, tetapi untuk bergetar bersama.
Catatan:
Van Halen dibentuk di Pasadena, California pada tahun 1972. Band ini meraih puncak popularitas pada era 1980-an dan dianggap sebagai salah satu ikon musik rock dunia. Ibu Eddie dan Alex, Eugenia van Beers, lahir di Rangkasbitung, Banten, sebelum keluarganya pindah ke Belanda pasca-Perang Dunia II.
*Praktisi Media Massa dan Menetap di Jakarta
Editor: Jufri Alkatiri