Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
A. Teologi Kalam Sunni; Allah Maha Pencipta —Maha Qadim (abadi)
Salah satu tradisi intelektual Islam yang paling penting dan tertua dikenal sebagai Kalām (secara etimologis “ucapan”, atau “logos” dalam terminologi filsafat). Kalām adalah ilmu agama yang melibatkan penyelidikan rasional (nalar), di mana umat Islam mencari pengetahuan tentang rukun iman melalui argumen dan kesimpulan rasional: “Fungsi utama kalām, tujuan dan aktivitasnya adalah untuk merasionalisasi keyakinan dasar umat Islam sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan hadir dalam cara keduanya dibaca dan dipahami oleh umat beriman ortodoks/klasik” (Frank 1992: 22).
Tradisi kalām berfokus pada pembuktian keberadaan Tuhan, penetapan realitas sifat-sifat Tuhan, konseptualisasi tindakan ilahi, pembuktian kebenaran kenabian Muhammad, misi (tugas) kemanusian dan takdir manusia, epistemologi, dan sebagainya.
Tiga mazhab Kalām utama dalam Islam klasik dan pasca-klasik adalah Muʿtazilah, Asyʿari, dan Māturīdī. Di sisi lain, Hanbalī (Atsari) tercatat sebagai mazhab akidah. Apa yang oleh para ulama dan umat beriman saat ini dianggap sebagai “Islam Sunni” masih terus dikonsolidasikan hingga periode pasca-klasik; selama berabad-abad, berbagai mazhab hukum, kalām, dan akidah bersaing satu sama lain untuk mengklaim gelar Sunni Ortodoks.
Pada periode modern awal, Muʿtazilah tidak lagi termasuk dalam definisi aqidah ortodoks “Islam Sunni”, yang hanya terbatas pada Asy’ari, Māturīdī, dan Atsari.
1. Kalam (Teologi) Mu’tazilah
Muʿtazilah adalah mazhab Kalām paling awal dalam sejarah Islam. Meskipun mereka tidak lagi berdiri sebagai kelompok masyarakat yang independen, posisi teologis mereka sangat memengaruhi evolusi teologi Islam di kalangan Sunni dan Syiah.
Teologi Muʿtazilah menguraikan Tauhid dengan sangat menekankan keunikan absolut dan keesaan absolut Tuhan, sekaligus memberikan peran formatif bagi akal manusia dalam refleksi Teologis. Muslim Abū al-Ḥasan al-Asyʿarī (w. 324/936) secara akurat merangkum kisah Muʿtazilī tentang tauhid sebagai berikut:
Tuhan itu Esa. “Tidak ada yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat” (Quran 42:11). Dia bukan tubuh (Jism), bukan penampakan, bukan volume, bukan rupa, bukan daging, bukan darah, bukan rupa, bukan substansi (Jauhar), bukan aksiden. Dia tidak memiliki panjang, lebar, maupun kedalaman. Dia tidak menyambung maupun memisahkan. Dia tidak bergerak maupun diam. Dia tidak melekat di suatu tempat. Dia tidak dapat dijelaskan oleh apa pun di antara sifat-sifat makhluk yang menunjukkan keberasalan mereka (Syakhs).
Dia juga tidak dapat dijelaskan sebagai terbatas. Mata tidak dapat melihat-Nya. Penglihatan tidak dapat menangkap-Nya. Imajinasi tidak dapat mencakup-Nya. Dia adalah sesuatu yang tidak seperti benda-benda lainnya. Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan Maha Hidup, tidak seperti para Maha Mengetahui, Maha Berkuasa, dan Maha Hidup (dalam ciptaan] (ardl). Dia abadi (qadim) dalam ketunggalan-Nya, bukan abadi melalui yang lain. (al-Asy’arī 1990: 235([jilid 1)
Sebagaimana terlihat dalam kutipan ini, kaum Mu’tazilah meniadakan semua kualitas fisik dan temporal dari Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan bersifat temporal dan jasmani, sedangkan hanya Tuhan yang incorporeal (tidak ber-bentuk fisik, materi, atau substansi) dan abadi. Dengan demikian, Tuhan tidak memiliki kemiripan dengan ciptaan.
Kaum Muʿtazilah secara umum berpendapat bahwa: Tuhan itu mengetahui, berkuasa, dan hidup dalam Diri-Nya, bukan melalui pengetahuan, daya, atau kehidupan” yang secara numerik berbeda dari Diri-Nya (al-Asyʿarī 1990: 244 [vol. 1]).
Posisi ini setara dengan apa yang disebut oleh para filsuf agama moderen sebagai kesederhanaan ilahi, di mana Tuhan tidak memiliki atribut apa pun yang secara Numerik berbeda dari Diri-Nya; sebaliknya, sebagian besar simplisis ilahi berpendapat bahwa atribut-atribut Tuhan identik dengan Diri-Nya (Vallicella 2023). Sebagaimana akan terlihat, sejumlah besar pemikir Muslim menganut doktrin kesederhanaan ilahi.
Teolog Muʿtazilah Abū al-Hudhayl (w. 227/841) mengatakan bahwa “Tuhan mengetahui melalui pengetahuan yang adalah Diri-Nya; Dia berkuasa melalui daya yang adalah Diri-Nya; Dia hidup melalui kehidupan yang merupakan Diri-Nya sendiri. [Hal yang sama] berkenaan dengan pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, kekekalan-Nya, kemuliaan-Nya, kebesaran-Nya, keagungan-Nya, keagungan-Nya, dan semua sifat esensi-Nya” (al-Ashʿarī 1990: 245 [jilid 1]).
Abū Alī al-Jubbāʾī (w. 303/915) juga berpendapat bahwa Tuhan itu hidup, berkuasa, mengetahui, dan ada karena Esensi-Nya (Abd al-Jabbār 1965: 182). Dengan kata lain, setiap sifat esensial Tuhan ilmu-Nya, kehidupan, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, kekekalan, dan keberadaan-Nya identik dengan Diri Tuhan atau Esensi Tuhan. Tuhan secara metafisik sederhana tanpa perbedaan apa pun. Oleh karena itu, kaum Mu’tazilah menafsirkan banyak nama ilahi yang terdapat dalam kitab suci sebagai kiasan terhadap sifat-sifat hakiki Tuhan (lihat Peters 1976: 243).
Mengenai hubungan Tuhan dengan makhluk-makhluk-Nya, kaum Mu’tazilah berbicara tentang Tuhan sebagai agen (fāʿil) yang melakukan berbagai tindakan terhadap makhluk-makhluk. Dalam konteks ini, mereka menjunjung tinggi keadilan (ʿadl) sebagai sifat hakiki dari semua tindakan ilahi. Tuhan hanya melakukan apa yang baik dan adil; Dia tidak dapat melakukan tindakan-tindakan jahat. Oleh karena itu, banyak nama ilahi dalam kitab suci merujuk pada tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan Tuhan termasuk menciptakan, memulai, memelihara, memberi karunia, memberi pahala, menyediakan, memerintah, berfirman, dan sebagainya (Peters 1976: 269–271).
Tindakan-tindakan Tuhan diciptakan – baik sebagai tubuh maupun sebagai aksiden yang melekat dalam tubuh. Tuhan menciptakan Kosmos melalui tindakan penciptaan temporal (ḥudūth), dengan keberadaan Tuhan mendahului Kosmos, yang mulai ada pada saat Dia menciptakannya.
Muʿtazili menafsirkan semua deskripsi antropomorfik tentang Tuhan yang ditemukan dalam kitab suci sebagai metafora untuk atribut atau tindakan ilahi: wajah Tuhan (wajh) merujuk pada Tuhan sendiri; tangan Tuhan (yad) merujuk pada karunia Tuhan (niʿma); mata Tuhan (ʿayn) merujuk pada ilmu-Nya. Tuhan dalam Dzat-Nya melampaui memiliki wajah, tangan, atau mata literal (al-Asyʿarī 1990: 245, 248 [vol.1]).
Teologi Muʿtazili mengakui kausalitas ilahi langsung maupun kausalitas sekunder di mana makhluk menghasilkan akibat. Manusia adalah pencipta tindakan sukarela mereka sendiri, yang mereka pilih secara bebas. Kendati kaum Muʿtazilah tidak lagi eksis sebagai komunitas tersendiri, banyak aspek teologi mereka berlanjut dalam tradisi Kalām Syi’ah Zaidi dan Syi’ah Dua Belas. (bersambung)
*Pemerhati Keagamaan, Filosof, dan Alumni Fakultas Teknik Pertanian UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri
