Hari Santri dan Perlawanan Ideologis  Ketika Imperialisme Berganti Wajah, Santri Tidak Boleh Tunduk

Oleh: Benz Jono Hartono*

Sejarah memang kejam — ia mencatat siapa yang berjuang, tapi dunia modern lebih suka menghafal siapa yang menjajah. Dulu bangsa ini dijajah dengan bedil dan bajak laut, kini dijajah dengan utang luar negeri dan teori ekonomi impor. Bedanya cuma satu, dulu penjajah berkulit putih, sekarang anteknya ber-KTP Indonesia.

Dan di tengah hiruk-pikuk propaganda kemajuan, santri kembali menjadi kelompok yang paling disalahpahami. Mereka dianggap tradisional, ketinggalan zaman, bahkan dituduh penghalang modernisasi. Padahal justru dari pesantrenlah bangsa ini belajar arti merdeka — merdeka berpikir, merdeka beriman, dan merdeka dari tipu daya penjajah.

Dulu santri melawan kolonialisme Belanda, kini santri harus melawan kolonialisme gaya baru — kapitalisme global, imperialisme budaya, dan oligarki ekonomi yang menukar iman dengan statistik pertumbuhan. Bila dulu penjajah membawa rempah-rempah pulang ke Eropa, kini mereka mengirim produk gaya hidup yang menjerat rakyat dalam utang dan hedonisme.

Santri yang dulu berperang di Surabaya tahun 1945 melawan sekutu, kini harus berperang melawan sekutu-sekutu baru, bank internasional, perusahaan digital raksasa, lembaga donor yang mengatur kurikulum pendidikan bangsa. Mereka datang dengan senyum, membawa beasiswa dan hibah, padahal di baliknya terselip agenda penjinakan ideologi Islam yang merdeka dan berdaulat.

Kita tak lagi dijajah oleh VOC, tapi oleh MOU. Tak lagi diintai kapal perang, tapi diawasi algoritma. Tidak lagi dipaksa menanam tebu, tapi dipaksa menanam mental konsumtif. Dan ironinya, sebagian anak negeri bangga menjadi penerjemah kepentingan asing — berlagak sebagai pemikir global padahal hanyalah penjaga gerbang kolonialisme baru. Mereka memuja teori Barat seolah wahyu kedua, menertawakan kitab kuning seolah kitab kuning adalah batu nisan masa lalu.

Padahal dari kitab kuning itulah lahir logika moral dan sosial yang menegakkan bangsa ini, logika tauhid, logika keadilan, logika kemanusiaan. Sementara dari teori Barat yang mereka sanjung itu lahir logika pasar, siapa kuat dia menang, siapa miskin dia salah.

Santri hari ini harus sadar — perjuangan belum selesai. Penjajahan tak lagi di pelabuhan, tapi di pasar modal. Tak lagi di tanah jajahan, tapi di kepala rakyat yang dijejali iklan dan wacana palsu. Inilah zaman di mana penjajahan tidak menindas tubuh, tapi mematikan ruh.

Maka Hari Santri bukan sekadar peringatan sejarah. Ia adalah manifesto perlawanan ideologis terhadap sistem global yang ingin menghapus Tuhan dari ruang publik, menggantikan iman dengan indeks ekonomi, mengganti dzikir dengan digitalisasi, dan mengganti ulama dengan influencer.

Wahai santri, jangan pernah tunduk pada jebakan kemajuan semu. Jadilah oposisi moral bagi zaman yang kehilangan arah. Lawan setiap penjajahan pikiran yang mengajarkan bahwa hidup hanyalah urusan perut dan gengsi. Ingatlah, kalian adalah pewaris darah suci para pejuang yang menulis kemerdekaan dengan air mata dan takbir, bukan dengan tanda tangan di atas kontrak investasi asing.

Merdeka tidak cukup hanya dengan bendera, tetapi dengan kesadaran bahwa kita tidak boleh menjadi budak dalam bentuk baru. Dan tugas itu — seperti dulu, kini, dan selamanya — berada di tangan santri. Selamat Hari Santri

Praktisi Media Massa dan Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *