Oleh: Benz Jono Hartono*
Dari Jalanan ke Istana Romantika Perlawanan
Aktivisme selalu memulai langkahnya dari tempat-tempat kasar, kampus, lorong-lorong sempit, sudut kota yang penuh spanduk tuntutan. Di sana idealisme tumbuh, bukan dari kemewahan, melainkan dari perlawanan terhadap hidup yang keras. Di jalanan, mereka belajar satu hal, suara rakyat adalah kekuatan. Mereka menantang penguasa yang terlalu lama duduk manis di kursi kekuasaan.
Mereka berjalan tanpa takut, meski hanya bersenjatakan megafon dan poster bertuliskan keluh kesah bangsa. Dari setiap aksi, terbentuklah narasi besar: bahwa perubahan hanya mungkin terjadi jika penguasa diguncang dari luar. Namun, jalan panjang sejarah memperlihatkan fakta lain, Suatu hari, para aktivis itu sendiri dipanggil masuk ke Istana yang dulu mereka guncang.
Mereka tidak lagi berteriak dari luar pagar, melainkan kini duduk rapat di dalam ruang yang sama dengan mereka yang pernah mereka kecam. Di titik itulah semua idealisme diuji, “Apakah mereka tetap menjadi pembela rakyat?” Atau berubah menjadi penjaga privilese baru? Hal ini membuka pintu dari sebuah ironi yang akan berlangsung panjang, bahwa perjuangan terbesar aktivis bukan melawan kekuasaan, tetapi melawan dirinya sendiri saat memegang kekuasaan itu.
Ilusi Perjuangan yang Tidak Berujung
Setiap demonstrasi menyimpan rasa kemenangan psikologis, teriakan lantang membuat hati merasa sedang berada di pihak kebenaran. Sayangnya, psikologi aktivis sering terjebak dalam ilusi heroisme permanen, bahwa selama mereka melawan penguasa, mereka otomatis adalah pahlawan rakyat. Padahal, kebenaran perjuangan tidak ditentukan oleh siapa lawannya, tetapi oleh integritas tujuannya.
Ketika seorang aktivis mulai menyadari bahwa memegang megafon tidak cukup mengubah nasib bangsa, mereka tergoda mencari pintu lain — pintu kekuasaan. Di sinilah jebakan yang halus mulai bekerja. Aktivisme berubah menjadi modal politik. Rakyat hanya jadi gambar sampul kampanye Perjuangan menjadi ambisi untuk naik kelas sosial. Miskin menjadi pengalaman tragis yang dijual demi simpati
Pada akhirnya, sebagian aktivis lupa bahwa aktivisme bukan profesi politik. tetapi amanah moral. Dan begitu lupa, mereka mudah sekali berkata: “Sekarang giliran kami menikmati fasilitas kekuasaan.” Ilusi idealisme itu runtuh — bukan karena penguasa lama, tetapi karena diri sendiri tidak kuat menahan godaan.
Memasuki Sistem Ujian yang Sesungguhnya
Saat aktivis melangkah ke dalam ruang kekuasaan, mereka memasuki medan tempur baru, kompromi. Dulu: Mereka melawan kekuasaan dari luar. Setiap korupsi adalah musuh, Setiap privilese adalah kutukan. Kini: Mereka mulai bernegosiasi. Mereka belajar bahwa membuat kebijakan itu rumit. Mereka melihat bahwa kekuasaan memiliki logikanya sendiri. Di titik inilah terjadi transformasi berbahaya, kritik berubah menjadi pembenaran diri.
Kekuasaan bukan lagi musuh, tetapi cermin. Di cermin itu, mereka melihat bayangan baru: lebih rapih, lebih mewah… lebih sewenang-wenang. Yang dulu mereka lawan, kini mereka tiru — tanpa sadar. mereka berpikir: “Kalau dulu mereka bisa menikmati fasilitas negara, sekarang giliran kami” dan di sanalah awal mula pengkhianatan aktivisme dimulai.
Studi Kasus Indonesia, dari Reformasi ke Reformatasi Kekayaan
Indonesia memiliki sejarah unik, aktivis terjun ke birokrasi dianggap kemenangan rakyat, namun setelah duduk di kursi empuk kekuasaan, Ada yang tersangkut korupsi. Ada yang jadi bagian oligarki baru. Ada yang membungkam kritik generasi penerus aktivis. Rakyat pun bertanya, “Apakah perjuangan kalian dulu untuk kami? Atau hanya untuk karier kalian sendiri?”
Gerakan reformasi melahirkan penguasa, tetapi sebagian dari mereka justru menutup pintu perubahan. Aktivis yang dulu meneriakkan demokrasi, kini marah ketika mereka dikritik. Di sinilah tragedi aktivisme kita, Penguasa baru lebih alergi kritik daripada penguasa lama.
Studi Kasus Internasional, Aktivisme yang Menjadi Tirani Baru
A. Amerika Latin.
Di Venezuela dan Bolivia, pemimpin dari gerakan rakyat awalnya membawa harapan untuk kaum miskin, namun ketika kekuasaan semakin panjang, demokrasi melemah, korupsi meningkat. Penguasa baru menyerupai diktator yang dulu mereka lawan.
B. Timur Tengah
Arab Spring melahirkan aktivis dalam pemerintahan, namun hasilnya? Kekacauan politik Militer kembali berkuasa. Aktivis malah jadi pelarian. Demokrasi runtuh sebelum sempat berakar.
C. Asia Tenggara
Terlalu sering aktivis tampil sebagai simbol perubahan, namun akhirnya terseret arus dinasti politik dan kepentingan ekonomi. Pelajaran besar dunia, aktivis tanpa integritas dalam kekuasaan, dari pahlawan menjadi penguasa baru yang menindas.
Psikologi Balas Dendam Kelas
Tidak semua balas dendam menggunakan senjata. Ada yang menggunakan kebijakan. Sebagian aktivis menyimpan trauma kemiskinan. Saat berkuasa, trauma itu membentuk sikap: “Saya pernah menderita, sekarang saya harus dihormati.”
Mereka bukan membalas dendam pada orang kaya, tetapi pada simbol kemiskinan yang dulu menghina mereka. Akibatnya: rakyat kembali jadi korban. Kebijakan dibuat untuk gengsi, bukan kepentingan umuml. Kekuasaan jadi panggung pembuktian superioritas sosial. Mereka bukan memperbaiki nasib rakyat miskin, mereka justru melupakan dunia yang pernah melahirkan mereka.
Etika Kekuasaan untuk Aktivis
Aktivisme tanpa etika hanyalah ambisi. Kekuasaan tanpa moral hanyalah kediktatoran yang menunggu waktu. Maka aktivis harus memiliki prinsip: Tidak menggunakan kekuasaan untuk membalas masa lalu. Tidak menikmati fasilitas secara berlebihan. Menjadikan kritik sebagai vitamin, bukan racun. Mendahulukan rakyat daripada partai dan kelompok. Kekuasaan adalah arena pembuktian sejati: apakah aktivis benar-benar mencintai rakyat? Atau hanya mencintai dirinya yang merasa paling benar?
Generasi Aktivisme Baru Anti-Penguasa Baru
Ini adalah peringatan, Gerakan yang besar bisa hancur oleh ego yang kecil. Generasi baru harus lebih kuat: Idealisme tinggi, mental sehat. Akal waras dalam kekuasaan, mereka tidak boleh lagi terjebak dalam siklus: “aktivis → kekuasaan → tirani baru”. Mereka harus membuktikan: Aktivisme bukan karier. Perubahan bukan spanduk. Kekuasaan bukan hadiah. Kekuasaan adalah amanah yang harus dikembalikan ke rakyat. tanpa noda, tanpa dendam — karena perubahan sejati bukan ketika aktivis merebut kekuasaan, tetapi ketika rakyat merasakan keadilan dari kekuasaan itu.
*Praktisi Media Massa dan Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat
Editor: Jufri Alkatifri
