Renungan Dino Jemuwah: Ilmu Kalam (bag-6)

Oleh: Anwar Rosyid Soediro*

3.Kalam Maturidi

Mazhab Teologi Sunni utama kedua dalam Ilmu Kalam adalah tradisi Māturīdī, yang jika menelusuri warisan intelektualnya hingga ajaran Abu Hanifah (w. 150/767) dan jika Mu’tazilah muncul karena konflik politik penguasa, yang kemudian Kalam Asy’ari melakukan reformulasi terhadap Teologi Mu’tazili, sementara tradisi kalam Maturidi merespon dialektika lebih terbuka, dalam karya teologinya yang besar, Tabsirat al-adilla, Abū al-Muʿīn menyatakan bahwa pengetahuan hanya dicapai melalui penyelidikan rasional terhadap bukti dan bahwa ini harus didasarkan pada sumber epistemic (sumber yang diyakini benar dalam ilmu filasafat) yakni; akal (rasionalisme) dan pengalaman (empirisme) atau (badāha fī al-ʿuqūl), meskipun sumber lain seperti kesaksian, wahyu, dan intuisi juga dianggap relevan tergantung tradisinya.

Para konsolidator teologi Hanafi-Maturidi adalah Abū al-Muʿīn al-Nasafī (w. skt. 508/1115) dan Abū Yusr al-Bazdawī (w. 493/1100), yang ajarannya menjadi dasar bagian ini. Sebagaimana kaum Muʿtazilī dan Asyʿarī, kaum Maturidi mengakui bahwa Tuhan itu mutlak satu, abadi, incorporeal (tdk berwujud/immaterial), dan berbeda dengan semua makhluk ciptaan.

Mereka menegaskan dua jenis sifat ilahi: sifat-sifat Zat Tuhan dan sifat-sifat tindakan ilahi. Sifat-sifat ilahi yang hakiki adalah kehidupan, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, pengetahuan, ucapan, dan kehendak (atau niat) Tuhan. Sifat-sifat tindakan Tuhan meliputi; penciptaan, pemberian rezeki, pemberian karunia, pemberian nikmat, pemberian keindahan, kasih sayang, dan pengampunan.

Menurut al-Nasafī, semua sifat ilahi – baik dari Dzat Tuhan maupun tindakan-Nya – bersifat kekal dan tidak diciptakan: Tuhan Yang Maha Esa adalah kekal dan abadi dengan semua sifat dan nama-Nya. Nama-nama dan sifat Tuhan tidak identik dengan-Nya dan tidak lain dari-Nya – sebagaimana halnya angka satu berkaitan dengan angka sepuluh.

Adapun sifat-sifat tindakan seperti; menciptakan, menyediakan, menganugerahkan karunia, memberi nikmat, memperindah, kasih sayang, pengampunan, dan bimbingan – semuanya bersifat kekal dan abadi dan tidak identik dengan-Nya dan tidak lain dari-Nya.

Adalah mungkin bahwa Tuhan disebut pencipta meskipun Dia tidak menciptakan makhluk dan disebut pemberi rezeki meskipun Dia tidak memberi rezeki kepada makhluk. Sifat-sifat ini ada dalam Dzat Tuhan, semoga Dia Maha Esa, dalam kekekalan.  Hal ini karena jika sifat-sifat ini tidak ada dalam Dzat Tuhan dalam kekekalan, maka Dzat-Nya akan menjadi tempat terjadinya aksi-aksi temporal dan ini mustahil. (al-Nasafī 1997: 91–93)

Serupa dengan Asy’ari, al-Nasafī dan al-Bazdawī menganut “rumus Kullabi”, yaitu bahwa sifat-sifat Tuhan tidak identik dengan-Nya, tidak pula yang lain (ghayr) selain-Nya. Menurut al-Bazdawī, istilah “ghayrīya” (keberbedaan) berarti “keterpisahan”; dengan demikian, menyangkal bahwa sifat-sifat Tuhan adalah “selain” Tuhan berarti bahwa sifat-sifat-Nya tidak terpisahkan dari Dzat-Nya (al-Bazdawī 2002: 46).

Kaum Māturīdī juga menekankan bahwa tindakan Tuhan dalam menciptakan dan mengeksistensikan (al-takwīn wa-al-ījād) juga tidak diciptakan dan abadi. Mengenai deskripsi antropomorfik Tuhan yang ditemukan dalam kitab suci, para pemikir Māturīdī menafsirkan beberapa ungkapan menggunakan taʾwīl, sementara menegaskan ungkapan lain tanpa modalitas (bi-lā kayf) Tuhan tidak terikat oleh segala bentuk modalitas.

Misalnya, al-Bazdawī menafsirkan tindakan-tindakan ilahi seperti kedatangan Tuhan (atā, jāʾa), duduk (istiwāʾ), dan turun (nuzūl) dalam istilah alegoris: Kedatangan Tuhan berarti manifestasi (ẓuhūr) jejak atau efek Tuhan, alih-alih kedatangan Tuhan secara harfiah; Tuhan duduk di atas Singgasana-Nya menandakan tindakan kekal-Nya dalam menjalankan kekuasaan (istīlāʾ) dan dominasi (qahr), alih-alih menetap secara harfiah (istiqrār); Akhirnya, turunnya Tuhan ke surga terendah berarti hubungan-Nya (ittiṣāl) dengan surga itu dalam arti bahwa efek dari sifat-sifat Tuhan mencapai dunia (al-Bazdawī 2002: 36-38).

Mengenai mata (ʿayn) dan tangan (yad) Tuhan, al-Bazdawī menyangkal bahwa ini adalah anggota tubuh fisik, tetapi sambil tetap menegaskan bahwa istilah ʿayn dan yad masing-masing merujuk pada “sifat spesifik” (ṣifa khāṣṣa) dari Esensi Tuhan, dengan demikian menolak untuk menafsirkannya secara alegoris (al-Bazdawī 2002: 39). Mengenai masalah tindakan (agensi) manusia, posisi Māturīdī adalah bahwa tindakan manusia diciptakan oleh Tuhan dan diperoleh manusia melalui tindakan pilihan bebas.

Tuhan menciptakan dalam diri manusia kapasitas untuk memilih untuk memperoleh suatu tindakan. Hal ini menghasilkan rasa agensi manusia (pilihan melakukan perbuatan) yang lebih kuat dibandingkan dalam teologi Asyʿarī (Haidar 2016: 76–78). (bersambung)

*Pemerhati Keagamaan, Filosof, dan Alumni Fakultas Teknik Pertanian UGM Yogyakarta

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *