Renungan Malem Jemuwah: Ilmu Kalam (bag-7)

Oleh: Anwar Rosyid Soediro*

B. Akidah Hanbali: Kalam,Aallah Tanpa Modalitas (bi-lā kayf)

Gerakan Hanbali — yang didasarkan pada ajaran dan warisan Ahmad bin Hanbal (w. 241/855) sebagaimana diriwayatkan oleh murid-muridnya, pada awalnya menyebut diri sebagai ahl al-hadīth (Ahli Riwayat Nabi) dan ahl al-sunnah (Ahli Tradisi), juga dikenal sebagai akidah atstsariyah.

a. Tahap Awal Pemikiran Hanbali

Pada tahap awalnya, pemikiran Hanbali sepenuhnya menjauhi Kalām, menganggapnya sebagai bid’ah yang haram, namun, selama berabad-abad, beberapa penerus Hanbali terlibat dengan posisi Teologis mazhab-mazhab Kalām dan, melalui interaksi (dialektika) tersebut, mengartikulasikan posisi-posisi teologis tertentu yang khas.

Metode yang dianut kaum Hanbali adalah dengan hanya menegaskan semua sifat dan deskripsi Tuhan yang terdapat dalam kitab suci (Al-Qur’an dan Hadits) tanpa menggunakan penafsiran alegoris (taʾwīl) untuk memahami makna ungkapan-ungkapan tersebut.  Namun, penerapan metode ini dalam praktik terbukti sulit, terutama dalam menghadapi penjelasan rasional teologi Kalām tentang Tauhid dan banyaknya antropomorfisme yang terdapat dalam kitab suci yakni; “penggambaran atau menarasikan Tuhan memiliki bentuk atau sifat manusiawi, seperti memiliki tubuh, perasaan, atau melakukan tindakan seperti manusia”.

Berikut ini, contoh wacana tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya dari para ahli Hanbali terkemuka yang telah disurvei dan dianalisis. Aḥmad bin Hanbal, sebagaimana diungkapkan dalam syahadat yang dikaitkan dengannya oleh para muridnya, menegaskan berbagai sifat antropomorfik Tuhan.

Berikut ini adalah kutipan dari salah satu syahadatnya: Arsy Yang Maha Pengasih (Maha Perkasa dan Maha Mulia) berada di atas air. Tuhan berada di atas [ʿalā] Arsy. Tumpuan Kaki-Nya berada di tempat kedua telapak kaki-Nya. [QS. Hud/11;7] Dia bergerak, berbicara, mengamati, melihat, tertawa, bergembira, dan mencintai [al-Baqarah/2/253, An-Nisâ/4:164] & [Hadits] Dia turun setiap malam ke langit dunia sesuai kehendak-Nya. ‘Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya; Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat’ [QS. al-Anfal/42:11]. Hati para hamba berada di antara dua jari Allah Yang Maha Penyayang [HR. Muslim] Langit dan bumi pada Hari Kiamat berada di tangan-Nya. Dia akan memasukkan kaki-Nya ke dalam api neraka, lalu api itu menggelinding. (Syahadat 1, Ibnu Abī Yaʿlā 1999: 60–62 [jilid 1]; terj. Melchert 2017: 5-6)

Ibnu Hanbal menegaskan sejumlah deskripsi ilahi yang ditemukan dalam Al-Qur’an dan Hadits, termasuk dua tangan, jari, kaki, kemarahan, tawa, turunnya Tuhan di malam hari, dll. Bagi Ibnu Hanbal, riwayat-riwayat seperti ini harus dipahami dan diriwayatkan dalam arti yang sebenarnya:

“Menurut kami, hadits sesuai dengan maknanya yang tampak (ẓāhirihi) sebagaimana halnya yang datang dari Nabi.* Kalam tentangnya merupakan bid’ah. Namun kami meyakininya sesuai dengan maknanya yang tampak (ẓāhirihi) dan kami tidak berselisih dengan siapa pun tentangnya” (Syahadat 3, Ibnu Abī Yaʿlā 1999: 168 [jilid 2]).

Contoh hadis (Hadīth al-shābb) yang memiliki implikasi antropomorfik yang jelas, adalah sebuah riwayat yang tersebar luas di mana Nabi Muhammad melihat Tuhan dalam wujud manusia: “Aku melihat Tuhanku, Maha Suci dan Maha Tinggi, sebagai seorang pemuda tanpa janggut, berambut keriting panjang, mengenakan jubah merah.” Sebagaimana diriwayatkan oleh asisten pribadinya, al-Marrūdhī, Ahmad bin Hanbal, mengotentikasi hadits ini dengan beberapa rantai periwayatan (Ibn Abī Yaʿlā 1999: 81 [jilid 3]).

Ibn Hanbal juga menegaskan rantai periwayatan ini (Syahadat 3, Ibn Abī Yaʿlā 1999: 168 [jilid 2]). Hadis ini kemudian diriwayatkan atas otoritas Ahmad bin Hanbal. Hanbal dan disahih oleh para ulama Hanbali, seperti Abd Allāh bin Ahmad bin Hanbal, al-Thabrani (w. 360/918), Abu al-Hasan bin Bashshar (w. 312/925), al-Dāraquṭnī (w. 385/995), dan Ibnu Aqīl (w. 513/1119).

Oleh karena itu, hadis ini beredar luas di kalangan Hanbali selama periode klasik Islam (Williams 2002: 445–447). Ibnu Taimiyyah juga mengutip hadis ini sebagai riwayat yang shahih (Ibnu Taimiyyah 2005: 290 [vol. 7]). Hadits serupa menggambarkan bagaimana Nabi melihat Tuhan dalam wujud yang indah (ṣūra) dan merasakan kesejukan tangan Tuhan menyentuhnya di antara kedua bahunya (al-Tirmidzi, Kitab al-tafsir, hadits no. 285, 286, 287).

Pendekatan Ibnu Hanbal terhadap hadits di atas menimbulkan beberapa kesulitan bagi konsep tauhidnya. Menurut ulama Hanbali seperti Ibnu Qudāma (w. 620/1223), “makna yang tampak” (al-ẓāhir) adalah ”apa yang pertama kali terlintas dalam pikiran dari teks tersebut, terlepas dari apakah itu literal atau metaforis” (Ibnu Qudāma 2002: 55).

Dengan demikian, ketika ungkapan seperti tangan, kaki, keagungan, jari-jari, atau turunnya Tuhan dipahami dalam makna semunya, hal ini menyiratkan bahwa Tuhan memiliki kualitas spasial, temporal, dan jasmani, yang menjadikan-Nya serupa dengan makhluk fisik. Williams (2002) dengan demikian menyimpulkan bahwa Ibn Hanbal menegaskan bentuk antropoid untuk Tuhan yakni, penggambaran atau pemberian sifat-sifat manusiawi pada Tuhan. Pada tataran filosofis, penegasan Hanbalī tentang makna semu dari tangan, kaki, wajah, jari-jari, turunnya Tuhan, dll., sembari juga menegaskan bahwa tidak ada kesamaan antara Tuhan dan ciptaan-Nya, menyiratkan sebuah “teologi yang kontradiktif” (Chowdhury 2021).

Al-Azmeh memandang doktrin Hanbalī sebagai “suatu bentuk pengetahuan yang hampa dari konten epistemic (nilai-nilai pengetahuan kognitif seperti keyakinan yang benar, pemahaman dan pengetahuan), dan yang penuturannya langsung diserap oleh pendengarnya dan lebih tepat disebut sebagai tindakan pengabdian daripada tindakan intelek” (Al-Azmeh 1988). (bersambung)

*Pemerhati Keagamaan, Filosof, dan Alumni Fakultas Teknik Pertanian UGM Yogyakarta

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *