Tangan Berdarah Stephen Orlac

Oleh: Helmi Hidayat, MSi*

Di tahun 1920-an, tangan Stephen Orlac pernah memukau Paris, Prancis. Warga kota menara Eifel itu gemar melihat pianis muda ini memainkan piano dengan mata tertutup. Jari-jemarinya tidak pernah mau dituntun, selalu menari sendiri di atas tuts piano sesuai irama batin. Malaikat kerap menari jika Orlac merangkul piano. Tetapi, bintang Orlac berhenti bersinar ketika dia berusia 30 tahun. Sebuah kecelakaan kereta api yang dahsyat antara Montgeron dan Paris telah membuatnya terluka parah. Kedua tangan Orlac harus diamputasi.

Seorang ahli bedah Prancis bernama dr. Cerral lalu menjahitkan tangan baru ke lengan Orlac. Tetapi, begitu siuman, Orlac kaget luar biasa. Dia merasa bukan lagi pianis yang dulu mampu membuat Paris bertekuk lutut, tetapi menjadi orang asing. Kedua tangan barunya itu sama sekali tidak mengenal tuts piano.

Bukan hanya itu, pelan-pelan Orlac malah jadi bertingkah aneh. Awalnya dia gemar menampar Helene, istrinya yang cantik, lalu pelan-pelan gemar membunuh orang tanpa dia sendiri mampu mengontrol kedua tangannya.

Tangan yang dulu menjanjikan erotisme kini penuh darah.  Orlac berusaha lari dari tangannya sendiri, tetapi kedua tangan itu tetap menempel di tubuhnya. Dia pun merenung  panjang lalu menemukan fakta bahwa dr. Cerral ternyata telah menempelkan tangan seorang pembunuh yang dihukum potong tangan untuk dirinya.

Sejak saat itu Orlac menyadari ada yang salah dalam dirinya. Kedua tangan pria kriminal itu ternyata masih mematuhi pemilik awal, yang membuat Orlac melakukan perbuatan mengerikan yang berlawanan dengan nuraninya sendiri. Akhirnya, tangan berdarah Orlac dilucuti. Pengadilan memutuskan dia tidak bersalah. Orlac kemudian kembali ke pianonya meski tidak lagi membuat malaikat menari.

Cerita fiktif Stephen Orlac ini ditulis oleh Maurice Renard, dalam novel berjudul ‘’Les Mains d’Orlac’’. Oleh Pascal Bruckner, kisah Orlac ini dijadikan prolog bukunya yang terkenal, ‘’The Tears of the White Man, Compassion as Contempt’’.

Apa yang dimaksud Brucker sebagai  Air Mata Orang Kulit Putih di judul bukunya itu adalah balada orang-orang Barat yang kerap menampilkan kesedihan melihat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di mana-mana, tetapi sementara itu mereka sendiri gemar menjual senjata ke mana-mana. Kasih sayang mereka sejatinya penghinaan. Taetpi, itu adalah tafsir Bruckner atas kisah fiktif Stephen Orlac karya Renard. Saya, Anda, kita semua, juga bebas memberi tafsir atas novel horor yang kisahnya sudah dijadikan film dengan beragam judul, mulai dari ‘’Orlacs Hände’’ (1924), ‘’Mad Love’’ (1935), ‘’The Hands of Orlac’’ (1960), sampai ‘’Hands of a Stranger’’ (1962).

Indonesia dengan segala kecantikan alamnya, kekayaan perut buminya, juga kesantunan penduduknya, adalah Stephen Orlac muda yang dengan jari-jemarinya membuat Malaikat menari. Negeri ini kemudian jadi penuh darah akibat orang-orang dengan jiwa-jiwa jahat diselundupkan di dalamnya, seperti Orlac yang ke dalam tubuhnya ditransplantasikan dua tangan penuh darah.

Jika Indonesia diibaratkan Stepen Orlac muda, siapa yang memerankan  dua tangan berdarah untuk negeri kita tercinta?  Jangan cuma merenung. Tangkap mereka!

*Dosen FDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengamat Keagamaan, dan Filsuf

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *