Oleh: Prof. Dr. Murodi al-Batawi, MA*
Hari Ayah Nasional di Indonesia yang diperingati setiap tanggal 12 November, merupakan — fenomena sosial-budaya yang unik. Berbeda dengan Hari Ibu yang telah ditetapkan secara resmi oleh pemerintah, Hari Ayah lahir dari inisiatif masyarakat sipil sebagai upaya untuk mengapresiasi peran, kontribusi, dan kasih sayang seorang ayah dalam keluarga. Dalam budaya Indonesia, peran ayah seringkali digambarkan secara tradisional sebagai pencari nafkah dan kepala keluarga, sementara peran pengasuhan dan domestik lebih banyak diasosiasikan dengan ibu.
Namun, seiring dengan perubahan zaman, peran ayah mengalami transformasi menuju konsep keayahan yang lebih setara dan terlibat langsung (involved fatherhood). Hari Ayah Nasional hadir sebagai respons terhadap kebutuhan untuk mengenali dan merayakan evolusi peran ini. Peringatan ini bertujuan tidak hanya untuk menghormati figur ayah, tetapi juga untuk memperkuat ikatan keluarga dan mendorong kesetaraan dalam pengasuhan anak.
Sejarah dan Latar Belakang
Hari Ayah Nasional di Indonesia tidak lahir dari keputusan presiden atau undang-undang, melainkan dari sebuah gerakan akar rumput. Inisiasi: Peringatan ini diprakarsai oleh Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi (PPIP) — organisasi masyarakat yang pada tahun 2004 mengadakan peringatan Hari Ibu dengan menyelenggarakan Lomba Menulis Surat untuk Ibu. Peserta lomba kemudian mempertanyakan mengapa tidak ada lomba serupa untuk ayah. Pertanyaan ini mendorong PPIP untuk menggali lebih dalam tentang keberadaan Hari Ayah.
Deklarasi: Setelah melakukan penelitian dan konsultasi, termasuk audiensi dengan DPRD Kota Surakarta, PPIP mendeklarasikan tanggal 12 November 2006 sebagai Hari Ayah Nasional dalam sebuah forum di Pendapa Gajah Mungkur, Kota Surakarta. Tanggal ini dipilih dan kemudian disepakati untuk diperingati setiap tahunnya.
Perkembangan: Sejak deklarasi tersebut, peringatan Hari Ayah Nasional mulai menyebar secara organik melalui media massa, media sosial, dan kampanye-kampanye komunitas. Meskipun belum berstatus hari nasional resmi seperti Hari Ibu (22 Desember), Hari Ayah telah diakui dan dirayakan oleh banyak kalangan masyarakat.
Tujuan dan Makna Peringatan
Peringatan Hari Ayah Nasional memiliki beberapa tujuan mendalam, antara lain: 1. Mengapresiasi Peran Ayah. Sebagai momen untuk mengucapkan terima kasih dan menghargai jasa, pengorbanan, kasih sayang, dan kerja keras seorang ayah bagi keluarganya. 2. Mendorong Keikutsertaan Ayah dalam Pengasuhan (Father Involvement): Hari Ayah menyoroti pentingnya keterlibatan ayah yang aktif dalam mendidik, membimbing, dan mengasuh anak, melampaui peran tradisionalnya sebagai pencari nafkah. 3. Memperkuat Ikatan Keluarga: Peringatan ini menjadi pengingat bagi seluruh anggota keluarga untuk mempererat hubungan dengan sang ayah, menciptakan komunikasi yang lebih baik, dan keharmonisan rumah tangga. 4. Merekonstruksi Citra Ayah: Hari Ayah berperan dalam mendekonstruksi stereotip ayah yang distant dan otoriter, menuju citra ayah yang penyayang, komunikatif, dan menjadi sahabat bagi anak-anaknya. 5. Menyetarakan Apresiasi: Sebagai bentuk pengakuan bahwa peran ayah juga layak mendapatkan apresiasi setara, meskipun dengan ekspresi yang berbeda, dengan peran ibu.
Perayaan dan Ekspresi
Masyarakat Indonesia memperingati Hari Ayah dengan berbagai cara, seringkali terinspirasi oleh perayaan Hari Ibu, seperti: Memberikan hadiah atau kartu ucapan. Mengadakan makan malam keluarga. Mengunggah foto dan kata-kata penghargaan untuk ayah di media sosial. Mengadakan acara doa bersama atau ziarah ke makam. Berbagai institusi, sekolah, dan perusahaan juga mulai mengadakan acara khusus, seperti seminar parenting tentang peran ayah atau lomba-lomba yang melibatkan figur ayah.
Tantangan dan Perdebatan
Keberadaan Hari Ayah Nasional tidak lepas dari beberapa tantangan dan kritik di antaranya: 1. Status Tidak Resmi: Karena tidak ditetapkan oleh pemerintah, otoritas, dan pengakuannya di tingkat nasional masih dianggap kurang oleh sebagian pihak. 2. Komersialisasi: Seperti perayaan serupa, Hari Ayah rentan terhadap komersialisasi, di mana esensi penghargaannya dapat tenggelam oleh budaya konsumerisme. 3. Kritik atas Keterlambatan Pengakuan: Sebagian kalangan mengkritik mengapa apresiasi terhadap ayah membutuhkan waktu yang begitu lama dan harus mengekor pada Hari Ibu 4. Relevansi bagi Semua Kalangan: Peringatan ini bisa menjadi pengingat yang menyakitkan bagi mereka yang tidak memiliki hubungan baik dengan ayahnya atau yang telah kehilangan figur ayah.
Hari Ayah Nasional di Indonesia merupakan sebuah inisiatif yang patut diapresiasi. Dia merepresentasikan sebuah kesadaran kolektif akan pentingnya peran ayah dalam struktur keluarga moderen. Meskipun belum berstatus resmi, nilai sosial dan kulturalnya sangat signifikan. Peringatan ini berhasil menciptakan ruang dialog publik tentang makna keayahan, mendorong keterlibatan ayah yang lebih besar, dan pada akhirnya memperkuat pondasi keluarga Indonesia.
Ke depannya, diperlukan sosialisasi yang lebih luas dan pendalaman makna agar peringatan ini tidak hanya bersifat seremonial, tetapi benar-benar mampu merefleksikan apresiasi dan transformasi peran ayah di Indonesia.
*Profesor Sejarah dan Peradaban. Dosen Tetap Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Jufri Alkatiri
