Renungan Malem Jemuwah: Ilmu Kalam (bag-9)

Oleh: Anwar Rosyid Soediro*

C. Filsafat (Falsafah) Ibnu sina

Ibnu Sina (w. 428/1037), yang populer di Barat dengan nama Avicenna, adalah seorang pendukung sekaligus pengubah tradisi intelektual Islam yang dikenal sebagai Falsafah. Menurut McGinnis dan Reisman (2007: xvii), Falsafah adalah “kelanjutan dan penyempurnaan Filsafat “Kalam” (Teologi Dialektis) menjadi filsafat rasional yang lebih komprehensif dengan mengintegrasikan ajaran Islam dengan Filsafat Yunani, terutama Aristoteles dan Plato”.  Dengan sangat cepat, falsafah berkembang menjadi bentuk penyelidikan dan pengkajian filosofis Islam yang berjalan paralel, bersaing, dan saling melengkapi dengan tradisi kalām yang telah disebutkan sebelumnya.

Ibnu Sina menandai titik balik dalam sejarah falsafah dan sejarah intelektual Islam secara umum, dengan kontribusinya menjadi titik acuan utama bagi sebagian besar proyek Filsafat dan Teologis Muslim. Yang menjadi perhatian di sini adalah posisi khas Ibnu Sina tentang konsep Tauhid, sebagaimana tertanam dalam ajarannya tentang Tuhan sebagai Wujud Wajib (wajib al-wujūd).

Konsep Tauhid Ibnu Sina didasarkan pada Metafisika modal yakni;  tentang esensi (hakikat) dan eksistensi (realisasi aktual), Esensi adalah hakikat sesuatu, sedangkan eksistensi adalah realisasi aktualnya, yang hanya berlaku untuk segala sesuatu kecuali Tuhan.

Dalam pandangannya, apa pun yang ber-wujud adalah “Wujud Wajib dalam Dirinya” (wajib al-wujūd bi-dhātihi) atau “wujud yang mungkin/kontingen dalam dirinya” (mumkin al-wujūd bi-dhātihi). Wujud yang mungkin atau kontingen dalam dirinya sendiri adalah sesuatu yang, ketika dipertimbangkan dengan sendirinya, disebabkan oleh suatu sebab yang menentukan keberadaan atau ketidakberadaannya.

Di sisi lain, Wujud Wajib dalam Dirinya sepenuhnya independen dan tanpa sebab; Dia juga merupakan sumber dan sebab yang mensyaratkan semua wujud yang mungkin. Ketika suatu eksistensi yang mungkin atau kontingen itu sendiri benar-benar ada karena penyebabnya, maka eksistensinya adalah “wajib al-wujūd bi-ghayrihi; Ibnu Sina (Ibnu Sina) 2005: 29–31).

Secara Teologis, bagi Ibnu Sina, Wujud Wajib adalah Tuhan dan eksistensi-eksistensi yang mungkin, yang semuanya ada sebagai eksistensi wajib melalui yang lain, adalah ciptaan Tuhan: “Inilah makna dari sesuatu yang diciptakan – yaitu, mencapai eksistensi dari yang lain” (Avicenna – Ibnu Sina) 2005: 272).

Berdasarkan kerangka modal ini, Ibnu Sina secara rasional mendemonstrasikan eksistensi Tuhan sebagai Wujud Wajib melalui argumen terkenal yang dikenal sebagai “Bukti Kebenaran” (burhān al-ṣiddiqīn). Inti argumen Ibnu Sina adalah bahwa apa pun yang ada merupakan eksistensi niscaya dalam dirinya sendiri atau eksistensi yang mungkin dalam dirinya sendiri.

Jika apa yang ada itu mungkin dalam dirinya sendiri, maka eksistensi ini bergantung pada sebab bagi eksistensinya, dan pertanyaan yang sama berlaku untuk sebab tersebut. Sekalipun seseorang mengandaikan serangkaian eksistensi yang mungkin tak terhingga dalam rantai sebab akibat (hukum kausalitas), agregat eksistensi yang mungkin tetap membutuhkan sebab di luar agregat tersebut; sebab eksternal ini pastilah eksistensi niscaya dalam dirinya sendiri – wujud ini adalah Tuhan, Wujud yang Wajib (Avicenna, terj. McGinnis dan Reisman 2007: 215–216).

Setelah membuktikan Wujud Wajib, Ibnu Sina melanjutkan dengan menegaskan doktrin kesederhanaan ilahi; bahwa Tuhan mutlak satu tanpa bagian atau komposisi internal apa pun karena kemandirian Ontologis-Nya.  Dengan demikian, Tuhan tidak memiliki atribut entitatif atau saling berbeda, seperti kehidupan, pengetahuan, atau kekuasaan, yang eksis dalam Dzat-Nya, sebagaimana diyakini oleh para ulama Kalām Sunni klasik.  Jika Dzat Tuhan mengandung pluralitas internal, termasuk bagian metafisik atau atribut entitatif, Tuhan akan bergantung pada atribut-atribut tersebut dan tidak lagi menjadi Wujud Wajib dalam Diri-Nya.

Tuhan tidak memiliki genus, spesies, differensia, kuiditas, materi, maupun bentuk. Kesederhanaan mutlak Tuhan mensyaratkan bahwa tidak mungkin ada lebih dari satu Wujud Wajib. Keberadaan dua atau lebih Wujud Wajib mensyaratkan bahwa masing-masing dari mereka memiliki atribut pembeda yang membedakan mereka satu sama lain; ini mensyaratkan bahwa setiap Wujud Wajib bersifat kompleks secara internal dan oleh karena itu saling bergantung. Tuhan melampaui materi, bentuk, ruang, waktu, perubahan, dan definisi; Dia adalah Wujud Wajib yang mutlak, sederhana, immaterial, dan abadi.

Ibnu Sina secara Apopatik meniadakan semua kualitas keberadaan ciptaan dari Tuhan: “Dia hanya dijelaskan dengan cara meniadakan semua kesamaan-Nya dan menegaskan semua hubungan dengan-Nya — karena segala sesuatu berasal dari-Nya, dan Dia tidak memiliki kesamaan apa pun dengan apa yang (berasal) dari-Nya” (Avicenna (Ibn Sina) 2005: 283). (bersambung)

*Pemerhati Keagamaan, Filosof, dan Alumni Fakultas Teknik Pertanian UGM Yogyakarta

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *