Keppres “Istimewa” untuk Guru SMA Negeri 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan

Oleh: Marah  Sakti Siregar*

PRESIDEN Prabowo baru saja memberikan hadiah istimewa untuk dua guru SMA Negeri 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Hadiah itu diberikan dengan cara yang istimewa pula. Itulah Keputusan Presiden (Keppres) tentang rehabilitasi hukum yang ditanda tanganinya pada Kamis dinihari, 13 November 2025, sekitar pukul 02. 36 WIB di ruang VIP Lapangan Udara (Lanud) Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Hanya beberapa puluh menit setelah pesawat kepresidenan yang membawanya pulang dari kunjungan bilateral ke Australia–untuk bertemu dengan PM Australia Anthony Albanese–mendarat di Lanud Halim.

Tidak banyak menteri atau pejabat tinggi lain hadir di acara penanda tanganan Keppres yang tidak biasa itu. Cuma ada Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Mensesneg Prasetyo Hadi, Sekretaris Kabinet Teddy Indra Jaja, Kepala Badan Komunikasi Pemerintah Angga Raka Prabowo dan sejumlah tamu yang mengawal kedua guru SMA Negeri 1 (SMANSA) dari Luwu Utara.

Prosesnya pun cepat. Hanya beberapa menit setelah meneken Keppres Rehabilitasi Hukum, Prabowo kemudian bangkit bergerak menyalami semua yang hadir terutama rombongan tetamu dari Luwu Utara. “Kami semua terkejut. Tidak menyangka prosesnya begitu cepat. Ini benar-benar anugerah dari Allah SWT untuk orang yang selama ini teraniaya, ” kata Drs Rasnal Nurdin, M.Pd, mantan kepala sekolah SMANSA Luwu Utara.

“Kami sangat terharu dan amat berterima kasih pada Bapak Presiden dan semua stafnya terutama Komandan Dasco, Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad — yang sudah memfasilitasi dan menerima kami dengan sangat baik. Dan akhirnya kami menerima putusan rehabilitasi hukum, yang sebelumnya tidak pernah kami bayangkan, ” tambah Rasnal, dengan suara tercekat menahan haru.

Bersama Abdul Muis, Guru Sosiologi SMANSA, Rasnal mengalami nasib malang: dikriminalisasi, mendekam di bui dan kemudian dipecat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Pemicu kemalangan tersebut adalah Keputusan Kasasi Mahkamah Agung (MA) – Nomor 4265 K/Pid.Sus/2023 tertanggal 26 September 2023. Isinya membatalkan vonis bebas yang sebelumnya sudah dijatuhkan — baik pengadilan tingkat pertama Tipikor Luwu Utara mau pun pengadilan tingkat banding di Pengadilan Tinggi Tipikor Luwu Utara  kepada Rasnal dan Abdul Muis.

Kasasi MA menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 1 tahun, dikurangi selama terdakwa ditahan — tetapi dengan perintah, kedua terdakwa tetap ditahan dan kemudian didenda masing-masing sebesar Rp 50 juta. Dengan catatan, jika denda tidak dibayar maka hukuman keduanya ditambahi dua bulan kurungan lagi.

Putusan kasasi yang tajam memenjarakan itu, secara telak memukul dan menjatuhkan moral dan harkat kedua guru SMA, keluarga mereka,  serta  semua guru yang tergabung dalam PGRI Luwu Utara,  Apalagi setelah Kasasi itu, Jaksa langsung mengeksekusi putusan MA. Rasnal dikirim ke bui dan menjalani 8 bulan kurungan plus kemudian menjalani tahanan kota. Dia baru bebas 29 Agustus 2024.

Sedangkan Abdul Muis menjalani sekitar 7 bulan dalam kurungan (penjara). Kesedihan dan kemalangan kedua guru terpidana itulah yang mengundang reaksi protes keras para netizen di media sosial. Lebih-lebih setelah Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman mengeluarkan SK Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap kedua guru mulai 14 Oktober 2025.

Akibatnya fatal — kedua guru yang sudah mengabdikan diri nereka selama kurang lebih 30 tahun di dunia Pendidikan – dan tidak lama lagi bakal menjalani pensiun itu — kehilangan status ASN, gaji, dan tunjangan yang menjadi hak mereka. Dan yang paling menyesakkan: marwah mereka sebagai guru selama puluhan tahun langsung berubah total menjadi terpidana koruptor dan pelaku pungli. Itulah kejamnya kriminalisasi.

Lalu, apa sebenarnya dosa atau kesalahan kedua guru SMA itu?  Putusan kasasi majelis hakim MA sama sekali mengabaikan putusan bebas majelis hakim di PN dan PT Tipikor Luwu Utara. Mereka mengikuti nyaris sepenuhnya tuntutan Jaksa yang menilai Rasman dan Muis terbukti melakukan pungutan liar dan pemotongan dana BOS serta melanggar aturan Permendikbud terkait dana Komite Sekolah (KS).

Padahal, yang dilakukan Rasmal dan Abdul Muis adalah mereka berinisiatif bersama KS SMANSA Luwu Utara menghimpun dana iuran besarnya Rp 20.000/orang dari para orang tua murid. Dana itu–jumlah terhimpun sekitar Rp 16 juta per bulan — kemudian digunakan untuk membayar gaji 10 guru honorer SMANSA, yang sudah hampir setahun tidak menerima honor.

Rasnal bercerita. Awal Januari 2018 hanya beberapa hari setelah diangkat sebagai Kepala Sekolah  SMANSA, dia menerima kenyataan pahit yang menyedihkan hatinya. Sang Kepala Sekolah baru itu  didatangi dan menerima keluhan dari 10 guru honorer yang selama 10 bulan berturut-turut (sejak 2017) belum menerima gaji.

Penyebabnya, guru-guru tersebut belum terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik), sehingga dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tidak bisa dialokasikan untuk honor mereka. Rasnal kemudian membahas ihwal itu dengan Abdul Muis, guru, yang kebetulan juga jadi bendahara di KS SMANSA. Lalu untuk mencari solusi mereka kemudian mengadakan rapat resmi dengan pengurus KS yang beranggotakan para orang tua siswa (wali murid). Rapat itu menyepakati, perlunya dihimpun sumbangan sukarela dari para wali murid. Awalnya, usulan Rp17.300 per orang tua murid, tetapi sejumlah orang tua siswa mengusulkan jumlahnya dibulatkan saja menjadi Rp 20.000. Agar lebih mudah dan tidak ribet hitung-hitungannya.

Prinsipnya: sumbangan bersifat sukarela, tanpa paksaan. Siswa miskin dibebaskan, dan untuk keluarga yang memiliki lebih dari satu anak di sekolah, cukup bayar satu kali saja. Dana digunakan untuk gaji honorer dan kegiatan sekolah lainnya.

Prinsip humanis dan gotong royong itu secara bulat disetujui oleh semua peserta rapat.  Mantan anggota KS SMANSA Supri Balantja, misalnya, membenarkan bahwa memang para wali murid justru yang berinisiatif menambah besarnya iuran. Program ini pun berjalan lancar selama tiga tahun (2018-2020)– tidak ada keluhan dari para wali murid, namun, belakangan, laporan sebuah LSM di Luwu Utara menggiring inisiatif bagus–dan aksi gotong royong membantu guru honorer itu– akhirnya bergerak ke ranah hukum.

Sosok pelapor itu adalah Faisal Tanjung — aktivis LSM di Luwu Utara. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Badan Advokasi Investigasi Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (BAIN HAM RI) Cabang Luwu Utara. LSM ini fokus pada advokasi HAM, pengawasan pemerintahan, dan pemberantasan pungli.

Faisal dikenal sebagai aktivis muda yang sering mengadvokasi isu demokrasi dan pemilu, termasuk pernah melaporkan Komisioner KPU Luwu Utara pada 2020 atas dugaan ketidak-profesionalan dalam pembentukan badan ad hoc Pemilu. Faisal mengatakan kepada wartawan bahwa dia mempersoalkan iuran sukarela Rp 20.000 di SMANSA karena dia menerima aduan dari seorang siswa SMA, berinisial F yang keberatan dengan tagihan Rp20.000 per bulan.

Dia menilai yang terjadi di SMANSA adalah pungli karena bersifat “wajib” dan melanggar aturan Permendikbud tentang dana komite. Faisal juga mengaku sebenarnya sempat menghubungi untuk klarifikasi, Rasnal dan juga Abdul Muis.  ” Ya. Benar. Dia pernah datang pada saya. Nanya-nanya, gaya bicaranya lantang dan kurang sopan. Ujungnya, meminta laporan keuangan tertulis Komite Sekolah,” cerita Abdul Muis. “Saya ingatkan dia, hei anak muda, polisi atau aparat hukum saja, kalau perlu dan meminta sesuatu, secara baik-baik dan sopan. Bukan seperti saudara ini.”

Permintaan Faisal itu tidak dipenuhi dan diabaikan oleh Rasnal dan Muis. Faisal lalu melapor ke Polres Luwu Utara. Bahwa ada dugaan tindak pidana korupsi di SMANSA. Entah kenapa, kemudian ada  audit dari Inspektorat Pendidikan Kabupaten Luwu Utara atas pengutipan iuran tersebut. Inti isi audit itu menyimpulkan bahwa kegiatan pengumpulan iuran itu tidak sesuai dengan aturan Permendikbud terkait dana KS.

Merujuk audit itulah Polres Lutra kemudian menetapkan Rasnal dan Abdul Muis sebagai tersangka. Mereka dituduh menyebabkan kerugian negara karena mengutip dana dari wali murid secara tidak sah.   Awalnya, nasib baik masih  berpihak pada Rasnal dan Abdul Muis. Di persidangan Pengadilan Negeri Luwu Utara (tingkat pertama tahun 2021) Majelis Hakim akhirnya memvonis bebas mereka. Hakim menyatakan tidak terbukti adanya unsur pidana, karena dana dari kesepakatan sukarela dan niat baik. Pengadilan Tinggi Tipikor Luwu Utara — juga begitu. Akhirnya membebaskan kedua guru dengan alasan serupa.

Kasasi yang Memenjarakan Guru

Kontroversi putusan Kasasi Hakim MA itu, apa boleh, jadi bahan cercaan dan kritik tajam di media sosial dan media arus utama. Umumnya kecaman dan kritik itu bermuara pada simpulan: Putusan Kasasi itu menjadi bukti jelas bahwa hukum di negeri ini memang tajam ke bawah (koruptor kelas teri) dan tumpul atau amat lunak ke atas (koruptor kelas kakap).

Fakta yang terpapar di kasus dua guru SMA Luwu Utara, sangat jelas mendukung simpulan itu.  Putusan kasasi MA mengikuti nyaris semua tuntutan Jaksa. Menilai bahwa Rasman dan Muis terbukti melakukan pungutan liar dan pemotongan dana BOS yang melanggar aturan Permendikbud terkait dana KS.

Padahal, seperti telah diceritakan Rasmal, mereka sebenarnya hanya mau menolong para guru honorer yang sudah lama mengabdi di SMANSA, tapi tidak dibayar. Sikap peduli dan mau berinisiatif menolong  sesama guru yang tidak menerima hak mereka, karena adanya aturan atau sistem yang lemah, menarik PGRI Lutra untuk masuk, turun tangan membantu Rasmal dan Abdul Muis.  “Saya sempat meminta mereka bersumpah tidak melakukan pungli dan korupsi. Baru setelah yakin, mereka bersih, kami sama-sama bergerak menuntut keadilan, “kata Ismaruddin, Ketua PGRI Kabupaten Luwu Utara.  

Dia kemudian melakukan pelbagai langkah. Selain mengajukan Grasi kepada Presiden Prabowo, PGRI Luwu Utara juga meminta bantuan para wakil rakyat yang ada di DPRD Luwu Utara dan Sulsel. ” Yang antusias mendukung adalah dari Fraksi Gerindra,” ujar Ismaruddin.

Ketua Komisi E DPRD Sulsel, Andi Tenri Inda–berasal dari Fraksi Gerindra — secara cepat, Selasa, 11 November lalu, mengundang PGRI Luwu Utara dan kedua guru korban kriminalisasi hukum itu, untuk hadir pada Rapat Dengar  Pendapat (RDP) di Gedung DPRD Sulsel di Makassar.

Di forum itu, kedua korban, para kolega mereka sesama guru dan PGRI Luwu Utara membeberkan semua derita dan ketidakadilan yang mereka alami pasca keluarnya putusan kasasi MA.  Reaksi simpati dan mendukung pun langsung bermunculan dari para anggota DPRD Sulsel. “Usai RDP, Bu Andi Tenri Inda dan Pak Marjono dari Fraksi Gerindra mengajak kami segera ke Jakarta untuk mengadukan semua kepada Presiden Prabowo, ” cerita Ismaruddin.

Dia diminta menyiapkan copy KTP para personalia agar bisa beli  tiket pesawat ke Jakarta. Malam itu juga rombongan yang terdiri tujuh orang– selain Ismaruddin, ikut kedua guru SMA, Kepala Sekolah SMANSA yang baru H. Syafaruddin, mantan Ketua KS SMANSA Supri Blantja dan dua anggota Fraksi Gerindra Andi Tenri Inda serta Marjono — terbang ke Jakarta.

Di Jakarta malam itu juga sekitar pukul 23.00 WIB mereka diterima Ketua Harian Gerindra Sufmi Dasco Ahmad yang langsung menginapkan mereka di Hotel Mulia, Senayan. Dalam kesempatan bertatap muka, Dasco meyakinkan para tetamu dari Luwu Utara bahwa ihwal nasib kedua guru SMANSA Luwu Utara sudah diketahui Presiden Prabowo. Beliau, katanya, amat prihatin dan siap menyelesaikan penderitaan yang dialami kedua guru.  ” Besok malam, kita bertemu Bapak Presiden, begitu beliau tiba dari perjalanan ke Australia, ” ujar Dasco.

Gelombang protes dan dukungan kuat para netizen di medsos dan juga para guru di mana-mana, jelas menjadi pertimbangan kuat bagi Pasukan Gerindra, yang dikomandoi Ketua Harian Sufmi Dasco Ahmad di Jakarta dan Sulsel, dan tentu saja dengan supervisi Sang Ketua Umum yang sedang berada di luar negeri, untuk segera bertindak cepat.

“Kami amat terkesan dan terharu. Menyaksikan bagaimana di larut malam dan tampak lelah karena baru tiba dari perjalanan jauh, Bapak Presiden meneken dan kemudian mengeluarkan keputusan rehabilitasi hukum yang amat melegakan hati kami dan semua guru,” ujar Ismaruddin.

Apa pesan Presiden? “Mungkin masih lelah, beliau tidak banyak memberi pesan. Cuma kami melihat wajahnya berseri-seri. Dan sambil menyalami kami, beliau minta kami bersabar. Namun, sempat juga beliau mengatakan bahwa dia menghormati dan mencintai guru,” sambung Rasnal.

Abdul Muis menambahkan bahwa apa yang dia saksikan dan terima di Lanud Halim, Jakarta merupakan hal yang terindah dalam hidupnya, bsrsama isteri dan dua anak mereka. “Akhirnya bisa pensiun dengan terhormat beberapa bulan lagi,” katanya, sendu.

 Rehabilitasi Cepat dan Humanis

Gerak cepat rehabilitasi hukum untuk memulihkan sepenuhnya harkat, martabat, nama baik, serta hak kepegawaian Rasnal dan Abdul Muis sebagai ASN, mesti diakui mendapat pujian luas. Sekjen PGRI Pusat, Dudung Abdul Qodir, memujinya sebagai bukti “keberpihakan negara kepada guru dan guru honorer.”

Dia berharap selanjutnya langkah cepat-humanis dan keberpihakan yang diperlihatkan Presiden Prabowo pada nasib rakyat itu menjadi preseden dan standar baku bagi para pejabat negara dan pejabat pemerintah lainya. Apa pun, dikaitkan dengan langkah penegakkan hukum dan upaya pemberantasan korupsi, kasus guru Rasnal dan Abdul Muis memang memantulkan realitas masih adanya ketimpangan sikap dan perbedaan pandangan antar para penyelenggara negara.

Di Mahkamah Agung sendiri– sebagai pemegang supremasi hukum tertinggi di Indonesia–visi dan sikap para Hakim Agung dalam upaya pemberantasan korupsi, belum ajek (kokoh). Para Hakim Agung MA masih sering mengelarkan putusan kontroversial yang membingungkan rakyat/publik.

Putusan kasasi yang akhirnya memenjarakan dua guru SMANSA Lutra agaknya pantas menjadi bahan evaluasi ketua MA dan jajaran pimpinan MA lainnya. Sebab, putusan itu amat terasa. Mencuatkan sikap pilih kasih, tajam ke bawah (koruptor kelas teri ) dan tumpul ke atas (koruptor kelas kakap) yang diperlihatkah para Hakim Agung yang memutuskan perkara kasasi atau PK.

Tiga hakim agung MA yang memutus kasasi Rasnal dan A. Muis: Hakim Agung MA Eddy Army,  Hakim Agung Ansori, dan Hakim Agung Prim Haryadi, secara tidak langsung, telah mencuatkan ketimpangan sikap MA dalam memutuskan permohanan kasasi atau permohonan Peninjauan Kembali  (PK) perkara korupsi. Hakim Agung di MA lebih sering  meringankan kasasi atau PK perkara korupsi besar (kelas kakap) ketimbang perkara korulsi kecil (kelas teri). Salah satu contohnya. Situs resmi MA, pada Rabu, 2 Juli 2025 menyiarkan informasi bahwa Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan mantan Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP.

Vonis Setya Novanto disunat dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun penjara. “Kabul. Terbukti Pasal 3 juncto Pasal 18 UU PTPK juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara selama 12 tahun dan 6 bulan,” demikian tertulis dalam putusan nomor 32 PK/Pid.Sus/2020.

Merujuk data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2020, setidaknya ada 14 terpidana korupsi yang mendapatkan pemotongan hukuman oleh MA pada tingkat peninjauan kembali. Salah satunya adalah Anas Urbaningrum, mantan anggota Dewan DPR, terpidana kasus korupsi proyek Hambalang yang menyebabkan kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah. Anas mendapatkan potongan hukuman dari 14 tahun penjara, yang ditetapkan pada tingkat kasasi, menjadi delapan tahun penjara pada tingkat peninjauan kembali oleh MA.

Rekam jejak para Hakim Agung di MA dalam memutuskan kasasi dan PK kasus korupsi sering lebih berpihak atau meringankan perkara korupsi kelas kakap.Kesan ini harus diakui kian menurunkan kepercayaan masyarakat pada lembaga supremasi hukum tertinggi itu.

Keputusan Presiden Prabowo yang secara cepat mengeluarkan Keppres yang merehabilitasi hukum dua guru SMA yang telah dipenjarakan oleh putusan kasasi hakim MA, betapa pun, telah memperlihatkan perbedaan sikap yang kontras antara dua penyelenggara negara dalam menghadapi kasus korupsi. Para Hakim MA sering bersikap lebih lunak? Ketua MA Prof, Dr, H. Sunarto, SH, MA, dan juga jajaran petinggi MA lainnya belum merespon dugaan negatif itu.

Juru bicara MA Prof Dr Yanto, SH, MH, yang biasa tampil menyampaikan informasi atau pernyataan mewakili institusi MA, ketika ditanya melalui HP hanya merespon singkat. ” Maaf, Mas. Saya sedang Umroh.” jawabnya.  Adakah Hakim Agung lain di MA yang bisa mewakili Prof Yanto?  Sang Juru bicara tidak lagi menjawab.

*Direktur Sekolah Jurnalistik PWI Pusat dan Alumni Sekolah Tinggi Publisistik (STP Jakarta)

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *