Bayangan Kembalinya Sang Jenderal Besar : “Orde Baru Kedua, Operasi Senyap Menata Kekacauan”

Oleh: Benz Jono Hartono*

Skenario Imajiner:  Seandainya Soeharto masih hidup dan masih berkuasa hari ini. Langkah Pertama: “Mboten Usah Ribut, Sing Menang Menang”. Begitu mendarat di Halim, Soeharto tidak akan menggelar konferensi pers. Tidak ada deklarasi. Tidak ada pidato panjang. Dia hanya mengangkat tangan, tersenyum kecil, dan berkata pelan: “Mboten usah ribut.” Dan ajaibnya—tradisi psikologi kekuasaan Jawa masih bekerja—para politisi langsung diam seperti murid SD ketahuan nyontek. Dalam kerumunan itu, elite partai yang selama ini ribut soal koalisi, oposisi, rekonsiliasi, dan tender jabatan, mendadak saling tatap: “Lha piye iki, Bapak wes teko…” Soeharto tidak menengking, tidak memerintah keras, tetapi seluruh ruang politik langsung bergerak mengikuti gravitasinya.

Langkah Kedua: “Evaluasi diam-diam”—teknik favoritnya. Jika Indonesia hari ini dipenuhi drama politik: saling jegal antar-elite, polarisasi yang hidup lagi, koalisi oportunis, buzzerwar sekelas perang termal, maka Soeharto langsung mengaktifkan jurus lama: mengamati dalam diam. Seperti tahun-tahun awal Orde Baru, dia akan duduk, mendengar laporan, dan tidak segera bertindak. Dia biarkan para pemain politik membuka topengnya sendiri. Dalam imajinasi ini, Istana menjadi ruang intelijen raksasa. Semua kasak-kusuk politik, semua pertemuan gelap, semua pergerakan “geng dalam geng” dicatat. Semua sabar menunggu momentum. Di masanya, kehancuran karier politik seseorang bukan terjadi karena dia dijegal, tetapi karena dia dibiarkan menusuk dirinya sendiri. Dan hari ini?  Waduh… banyak sekali pejabat yang akan “jatuh karena keriuhan mulutnya sendiri”.

Langkah Ketiga: “Penyederhanaan Politik 2.0”— aturan main dirapikan lagi — Soeharto hari ini melihat 18 partai politik? Dia hanya tersenyum. “Kakehan…” Dalam imajinasi ini, beliau akan memfasilitasi rekonsolidasi sistem kepartaian. Tidak dengan larangan frontal, tetapi dengan insentif kekuasaan yang menggoda dan hukuman administratif yang halus. Hasilnya? Partai kecil menyatu. Partai oportunis mati perlahan. Tersisa 2–3 blok politik: blok nasionalis-teknokratis, blok Islam moderat, blok pembangunan. Soeharto bukan anti demokrasi, tetapi tidak menyukai keributan tanpa hasil.

Langkah Keempat: Meredam kekacauan politik: “Operasi senyap tanpa TikTok”. Era kini penuh drama digital: buzzer politik, influencer bayaran, TikTok  Propaganda. Soeharto melihat ini tidak sebagai ancaman, tetapi sebagai alat. Dalam imajinasi ini, dia segera mengendalikan alur informasi dengan cara: membentuk Cyber-Orba. Bukan untuk membungkam rakyat, tetapi untuk menghentikan politisi yang hobi membohongi publik. Menghilangkan noise yang tidak produktif, komentator politik yang 24 jam ribut tetapi tidak paham ekonomi tiba-tiba hilang dari layar TV. Bukan ditangkap, hanya “tidak lagi diundang.” memperkuat ruang publik rasional. Dia akan menghidupkan kembali tradisi “kepemimpinan senyap” di mana stabilitas sosial lebih penting daripada perang lisan. (bersambung)

*Praktisi Media Massa, Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat, dan Executive Director Hiawatha Institute di Jakarta

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *