Guru sebagai Wakil Tuhan: Ilmu Tak Boleh Dikomersilkan, Pengabdian Demi Kemaslahatan Manusia

Oleh: Benz Jono Hartono*

Dalam tradisi keilmuan mana pun—baik filsafat, agama, maupun ilmu pengetahuan moderen—guru selalu ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari sekadar profesi. Guru bukan hanya penyampai informasi. Dia adalah penuntun, pembimbing, serta jembatan antara manusia dan pengetahuan yang hakikatnya bersumber dari Tuhan. Oleh karena itu, dalam banyak kebudayaan, guru dipandang sebagai wakil Tuhan di muka bumi; bukan dalam makna Teologis yang sakral, tetapi dalam makna moral dan epistemologis: guru adalah perantara yang mengantarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya pengetahuan.

Ilmu Pengetahuan: Manifestasi Hukum Tuhan di Alam Semesta

Ilmu bukanlah milik manusia. Manusia hanya menemukan, bukan menciptakan. Hukum gravitasi sudah ada sebelum Newton, pergerakan Planet sudah teratur jauh sebelum Copernicus, dan struktur atom tidak menunggu Rutherford untuk wujud. Manusia hanya membuka sedikit tirai dari orkestrasi besar ciptaan Tuhan.

Jika ilmu adalah bagian dari fenomena alam semesta yang keberadaannya ditetapkan oleh Tuhan, maka manusia—terutama guru—hanyalah perantara. Dia tidak berhak mengklaim ilmu sebagai miliknya secara absolut. Dia mengajarkan bukan karena ia pemilik ilmu, tetapi karena dia telah diberi amanah untuk menyampaikan apa yang ia pahami agar bermanfaat bagi sesama. Di sinilah letak kemuliaan guru: dia menjadi simpul antara yang Ilahi dan yang manusiawi.

Mengapa Ilmu Tidak Boleh Dikomersialkan Berlebihan

Tidak dapat dipungkiri bahwa guru butuh hidup layak. Kebutuhan dasar manusia tidak hilang hanya karena dia mengajar, namun permasalahan muncul ketika ilmu dijadikan komoditas yang diperdagangkan dengan logika pasar: semakin mahal bayarannya, semakin tinggi derajat pengetahuan yang diberikan.

Dalam paradigma profetik, hal ini adalah penyimpangan. Guru tidak boleh menjadi pedagang ilmu. Ketika ilmu dikomersialkan tanpa batas, maka esensinya sebagai hidayah dan petunjuk untuk umat berubah menjadi barang dagangan. Ilmu kehilangan ruhnya sebagai jalan menuju kebijaksanaan, dan manusia kehilangan kesempatan untuk mencapainya hanya karena tidak punya “modal”. Mengajarkan ilmu adalah ibadah, bukan transaksi ekonomis. Ia boleh diberi imbalan, tetapi tidak boleh digerakkan oleh orientasi keuntungan.

Profesi Guru Sebagai Pengabdian pada Tuhan dan Manusia — pada titik ini, guru menemukan kedudukannya sebagai ahli ibadah yang bekerja di ruang sosial. Dia tidak hanya mengajarkan materi pelajaran, tetapi: membangun akal, membentuk karakter, menyuburkan hati, dan menuntun manusia menuju kemaslahatan.

Guru adalah perpanjangan tangan Tuhan dalam menumbuhkan pengetahuan. Setiap kata yang dia ucapkan, setiap penjelasan yang ia berikan, dan setiap waktu yang dia curahkan untuk mendidik adalah bentuk ketundukan kepada Tuhan atas mandat yang diberikan kepadanya.  Karena itu profesi guru bukan sekadar pekerjaan. Ia adalah pengabdian.

Guru yang memahami posisinya sebagai wakil Tuhan tidak akan mendidik dengan malas, tidak akan mengajarkan dengan niat memanipulasi, dan tidak akan memperlakukan murid sebagai objek komersial. Dia mendidik dengan niat untuk melanjutkan tradisi kenabian: menyampaikan kebenaran, membebaskan kebodohan, dan menumbuhkan maslahat bagi umat manusia.

Kemuliaan Guru adalah Kemuliaan Peradaban

Tidak ada peradaban maju tanpa guru yang ikhlas. Tidak ada umat yang kuat tanpa guru yang menjalankan ilmunya sebagai amanah Tuhan — dan tidak ada generasi yang baik tanpa pendidik yang memandang profesinya sebagai ladang ibadah, bukan ladang bisnis. Karena itu, memuliakan guru berarti memuliakan ilmu. Dan memuliakan ilmu berarti memuliakan Tuhan, sumber segala pengetahuan.

Guru adalah wakil Tuhan — maka ilmu yang dia sampaikan harus menjadi cahaya, bukan barang dagangan; menjadi petunjuk, bukan komoditas. Melalui pengabdian guru, manusia menemukan jalan untuk memahami alam semesta—dan pada akhirnya, memahami Tuhannya. Terima kasih guruku.

*Praktisi Media Massa, Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ), dan Executive Director Hiawatha Institute

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *