Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
b.Sanggahan Ibnu Rusyd terhadap al-Ghazali
Ibnu Rusyd dikenal sebagai filosof yang menentang Al- Ghazali. Hal ini terlihat dalam bukunya berjudul Tahafutut-al-tahafut (Kerancuann dari kerancuan), yang merupakan reaksi terhadap al-Ghazali yang mengkritik filsafat dan menuduh para filsuf (terutama Ibnu Sina dan Al-Farabi) sesat dalam beberapa pandangan mereka. Ibnu Rusyd membela pendapat-pendapat ahli filsafat Yunani dan umat Islam yang telah diserang habis-habisan oleh al-Ghazali, dalam bukunya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf).
Ibnu Rusyd memandang bahwa Al-Ghazali, meskipun berniat baik, akan tetapi telah keliru dalam memahami posisi para filsuf dan menggunakan istilah-istilah yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits untuk mengafirkan mereka. Ibnu Rusyd berusaha mendamaikan antara filsafat (hikmah) dan syariat, berargumen bahwa keduanya dapat berjalan selaras dan bahkan saling menguatkan.
Dalam rangkumannya, al-Ghazali menetapkan 20 (dua puluh) persoalan. 17 (Tujuh belas masalah) di antaranya oleh Al-Ghazali dikategorikan bid’ah. Dan akhir bukunya, ada 3 (tiga) perkara yang disimpulkan Al-Ghazali akan menyebabkan kepada kekufuran. Ketiga hal tersebut yakni, bahwa pendapat para filsuf; (1). alam itu azali atau qadim (eternal in the past), (2). Tuhan tidak mengetahui hal-hal partikular (juz’iyyat), dan (3). terakhir adalah paham filosof yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh di hari akhirat.
Ibnu Rusyd berusaha melakukan klarifikasi atas persepsi Al-Ghazali tersebut. Pembelaan terhadap para filosof dilakukan dengan mengklarifikasi keberadaan filsafat dan merumuskan harmonisasinya dengan agama. Menurut Ibnu Rusyd, syariat merupakan jalan hidup yang benar, maka tentu menyeru mempelajari sesuatu yang benar pula. Tidak terdapat pertentangan antara syariat dan filsafat. Bahkan, agama menyerukan umat manusia untuk berpikir dan berfilsafat.
Karena sejatinya kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebenaran yang lain, bahkan sebaliknya akan semakin saling menguatkan; dan jika ada kesesuaian, itu tidak ada persoalan; Tetapi, jika ada yang berselisih, harus dilakukan takwil (interpretasi) sehingga bisa sesuai dengan pendapat akal. Terdapat beberapa ayat yang menyerukan penggunaan akal untuk memaksimalkan peran akal diantaranya QS Al-Hasyr: 2, QS Al-A’raf: 185, QS Al-An’am: 75, QS Al-Ghasiyah: 17, dan QS Ali-Imran: 191
Menariknya, ketajaman berpikir Ibnu Rusyd dengan menggunakan akal rasional dapat diselaraskan dengan penafsiran agama secara rasional. Meskipun menggunakan interpretasi rasional, hasilnya tetap sejalan dengan sumber agama, yaitu Alquran dan Sunnah. Bahkan, Ibnu Rusyd dengan lugas berkesimpulan dalam kajiannya menegaskan bahwa para filosoflah yang mampu menguak rahasia Alquran dan mentakwilkannya.
Sanggahan Pertama, Alam Semesta kekal (qadim) atau abadi dalam arti semesta tidak berawal. Filosof-Filosof mengatakan (yang juga diyakini Ibn Rusyd) bahwa alam itu qadim. Qadim-nya Tuhan atas alam sama dengan qadim–nya illat atas ma’lul-nya (sebab-akibat), yaitu, kausalitas dari segi dzat dan tingkatan, bukan dari segi zaman atau masa.
Menurut pendapat Al-Ghazali, jika alam “kekal dalam arti tidak bermula” tidak dapat diterima kalangan ahli kalam Islam, karena menurut konsep ilmu kalam (Asy’ari), Tuhan adalah Maha Pencipta. Yang dimaksud Maha Pencipta alam semesta adalah sesuatu yang baharu (diciptakan) dan diciptakan oleh Allah SWT dari ketiadaan (nihil), atau yang dikenal dengan konsep creatio ex nihilio. Jika alam dikatakan tidak bermula (qadim), menurut Al-Ghazali, maka, berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini yang memunculkan bentuk kekafiran dalam Tahafut al Falsifah karya Imam Ghazali.
Ibn Rusyd, begitu juga para filosof lainnya, berpendapat bahwa creatio ex nihilio tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada (al-‘adam), atau kekosongan, tidak mungkin berubah menjadi ada (alwujud). Yang mungkin terjadi adalah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain. Pendapat ini didukung oleh beberapa ayat Alquran yang mengandung pengertian bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada, bukan dari tiada.
Dalam hal ini Ibnu Rusyd merujuk pada al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 47-48: “Karena itu janganlah sekali kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada rasulrasul-Nya; sesungguhnya Allah Maha Perkasa, lagi mempunyai pembalasan. (Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.”
Ayat ini, menurut Ibn Rusyd, mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang di atasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, dan adanya masa (waktu) sebelum masa diciptakannya langit dan bumi. Tegasnya, sebelum langit dan bumi diciptakan, telah ada air, tahta, dan masa (waktu). (bersambung)
*Pemerhati Keagamaan, Filosof, dan Alumni Fakultas Teknik Pertanian UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri
