Renungan Dino Jemuwah : Ilmu Kalam (bag-14)

Oleh: Anwar Rosyid Soediro*

Debat Ibnu Rusyd VS al-Ghazali

Dalam khasanah pemikiran Islam, terdapat perdebatan (jidal) yang baik, antara sesama guru dan murid, antar mazhab dengan mazhab, antar aliran keilmuan dan lainnya. Tidak jarang hasil dari perdebatan ini memunculkan aliran dan mazhab baru — misalnya perdebatan antara Hasan al-Basri dan Washil bin Atha; Perdebatan ini memunculkan aliran Muktazilah.

Kemudian perdebatan antar-pengikut imam Ali sehingga membagi pengikutnya dalam dua golongan, Khawarij dan Syiah serta Sunnah — juga perdebatan antara kaum Mu’tazilah dengan Imam Abu Hasan al-Asy’ari yang melahirkan kelompok Asy’ariyah dan lain sebagainya.

Debat al Ghazali dan Ibnu Rusyd menggunakan jidal ilmiah (istilah sekarang Muzakarah)  menjadi sesuatu hal yang penting, paling tidak dengan dua alasan;  Pertama, karena banyaknya perdebatan di dunia Islam saat ini tentang isu-isu yang bersifat cabang tidak menggunakan jidal ilmiah sehingga cenderung debat kusir. Kedua, dibutuhkan model dan gaya jidal yang bersifat ilmiah sebagai pengembangan metode pendidikan ummat yang baik. Berdasarkan urgensitas tersebut, dan diharap dialektika ini dapat mendeskripsikan konstruksi dan model jidal ilmiah dalam muzakarah al Ghazali dan Ibnu Rusyd.

Komentar sebagian para sarjana muslim moderen mengkritik al-Ghazali karena menganggap al-Ghazali menjadi orang yang bertanggung jawab atas kemunduran tradisi rasional dalam Islam seperti Kuru, Ahmad Dallal dan lain sebagainya (Abdul Rahman et al., 2023).

Kembali pada argumen Al-Ghazali yang membantah bahwa perkataan “Tuhan lebih dahulu adanya dari pada alam dan masa” adalah bahwa Tuhan sudah ada sendirian, sedangkan alam belum ada, kemudian Tuhan ada bersama-sama dengan alam.

Dalam keadaan pertama kita membayangkan adanya zat yang sendirian, yaitu zat Tuhan, dan dalam keadaan kedua kita membayangkan dua zat, yaitu; zat Tuhan dan zat alam.  Dalam hal ini tidak perlu ada zat (wujud) yang ketiga, yaitu masa (waktu), apalagi yang dimaksud dengan masa adalah gerakan benda (alam), yang berarti bahwa sebelum ada benda (alam) sudah barang tentu belum adanya masa.

Menanggapi kritikan al-Ghazali, Ibn Rusyd dalam Faṣl al-Maqāl-nya berkata: perselisihan yang terjadi antara kaum Teolog (Mutakallimin) yang diwakilli kelompok Asy’arīyah dengan para filosof klasik mengenai persoalan apakah alam semesta ini qadīm (ada tanpa permulaan) ataukah hadīts (ada setelah tiada), lebih condong kepada bagaimana meode penamaan (tasmīyah) belaka, terutama bagi beberapa filosof klasik.  Karena sesungguhnya, mereka sendiri pada dasarnya telah sepakat tentang adanya tiga macam wujud: dua sisi wujud dan satu yang menengahi keduanya. Mereka sepakat dalam memberikan sebutan nama kepada dua sisi wujud itu, tetapi mereka berselisih mengenai wujud pertengahan.

Sisi wujud yang pertama adalah: wujud yang tercipta dari sesuatu di luar dirinya sendiri (wujud benda material), akan tetapi wujud benda-benda ini berasal dari sesuatu yang berbeda, yakni; karena adanya penyebab gerak (sabab fā’il), tercipta dari bahan (materi) tertentu, dan bahwa wujud ini keberadaannya didahului oleh zaman.

Inilah kondisi benda-benda wujud yang tertangkap indera, seperti air, udara, bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lain sebagainya. Tingkat wujud semacam ini telah disepakati oleh semua pihak, baik pengikut Asy’ari maupun para filosof klasik lainnya, untuk menyebutnya sebagai muḥdatsah (tercipta baru). Sisi wujud kedua yang berseberangan dengan sisi wujud pertama adalah: wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak disebabkan oleh sesuatu apapun juga, dan tidak didahului oleh zaman. Sisi wujud ini juga disepakati oleh semua pihak, dari pihak Asy’ariyah dan pihak para filosof klasik, untuk menamakannya sebagi yang qadīm (ada tanpa permulaan).  Keberadaan wujud ini telah dibuktikan secara burhān, wujud itu adalah Allah swt., penggerak segala sesuatu yang ada, pencipta dan penjaganya.

Adapun sisi wujud ketiga yang ada di antara dua sisi wujud pertama dan kedua yaitu: wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak didahului oleh zaman, akan tetapi keberadaannya disebabkan oleh suatu penggerak (perantara). Sisi wujud ini adalah alam semesta dengan segala perangkatnya.

Mereka pada dasarnya semua setuju adanya tiga sifat wujud ini pada alam semesta; Para ahli Kalam  dan Filosof mengakui bahwa zaman tidak mendahului alam semesta, atau memang kesimpulan ini adalah sesuatu yang tidak mungkin mereka tolak lagi, karena menurut mereka zaman adalah sesuatu yang menyertai gerak dan benda. Mereka juga menyetujui pendapat para Filosof klasik bahwa masa yang akan datang tidak ada batasnya, demikian pula halnya dengan wujud yang akan datang. Hanya saja mereka berselisih tentang masa lampau dan wujud yang telah lalu.

Sisi wujud ketiga  ini, tampak sekali dia memiliki segi-segi persamaan dengan wujud yang muḥdats dan wujud qadīm. Kalangan yang melihat wujud ketiga ini lebih mirip ke arah wujud qadim dibanding wujud muḥdats, akan menamakannya sebagai wujud qadīm, sedangkan kalangan yang lebih melihat dominannya sifat muhdats pada wujud ini, akan menamakannya sebagai wujud muḥdats.

Padahal, wujud ketiga ini tidaklah wujud muḥdats atau wujud qadīm secara hakiki, karena suatu wujud muḥdats yang hakiki pasti akan mengalami kehancuran, sedangkan wujud qadim memang hakiki keberadaannya dan tidak disebabkan oleh sesuatu.

Di antara para filosof itu ada yang menamakannya sebagai wujud muḥdats azalī, yaitu Plato dan pengikutnya, karena bagi mereka masa lalu adalah terbatas sifatnya (asumsi tidak ada waktu minus). Jadi, sebenarnya pandangan beberapa madzhab mengenai eksistensi alam semesta tidaklah terlalu berjauhan sehingga harus mengkafirkan yang lain.

Mereka memandang istilah qadīm dan huduts dalam masalah alam semesta dengan segala isinya adalah dua hal yang saling bertentangan — tetapi dari penjelasan yang telah diuraikan di atas, masalahnya menjadi gamblang bahwa kenyataannya tidaklah demikian.

Pada Hakikatnya, jika merujuk pada al-Qur’an semua pendapat mengenai alam semesta di atas tidaklah sesuai dengan makna lahiriah syariat. Sebab, jika makna lahiriah ayat Alqur’an itu diteliti dengan seksama, maka dari ayat-ayat yang memberitakan tentang proses penciptaan alam semesta akan nampak jelas bahwa bentuk alam semesta itu memang benar-benar tercipta dari ketiadaan (muḥdats bi al-haqiqah), akan tetapi bukan wujud alam semesta itu sendiri (bukan bentuk dan materi-nya) dan masa/waktu yang terus berkelanjutan/berjalan pada kedua sisi itu (qadīm dan ḥuduts) tanpa pernah terputus. Dalam hal ini Allah berfirman: “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah Arasy-Nya di atas air.” [QS: Hud:7].

Secara lahiriah memberikan arti memang terdapat suatu wujud tertentu (wujud perantara) sebelum adanya wujud semesta, yaitu singgasana (‘arsh), air dan asap (dhukhon), dan terdapat masa tertentu sebelum adanya masa ini, yaitu masa (waktu) yang terkait dengan bentuk wujud perantara, berupa hitungan gerak laju falak. Dan dalam firman Allah yang lain: “Yaitu, pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit….” [QS: Ibrāhīm: 48].

Secara lahiriah ayat ini menunjukkan makna adanya suatu wujud kedua selain wujud semesta. Demikian pula ayat lain lagi menjelaskan: “Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap” [QS: Fushilat: 11].

Secara lahiriah ayat-ayat di atas, menunjukkan makna langit diciptakan dari suatu yang lain. Dan demikianlah pendapat para Teolog (ahli Kalam/al-Ghazali) mengenai alam semesta pun tidak bersesuaian dengan makna lahiriah syariat, tetapi mereka melakukan takwil terhadpnya.

Peringatan penting Ibnu Rusyd, dalam syariat sendiri tidak ada keterangan sama sekali bahwa Tuhan ada bersama dengan ketiadaan murni (al-‘adam al-mahdl), dan memang tidak ada nash apa pun mengenai kekosongan atau ketiadaan (nihil).  Jadi, bagaimana bisa dibayangkan bahwa dalam proses kerja para ahli Kalam (al-Ghazali, al-Asy’ari) mencari takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an dapat menghasilkan ijma’ creatio ex nihilio? (bersambung)

*Pemerhati Keagamaan, Filosof, dan Alumni Fakultas Teknik Pertanian UGM Yogyakarta

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *