Oleh: Kurniawan Zulkarnain*
Dalam dua minggu terakhir, tampaknya tengah terjadi euforia sebagaian publik di tanah air atas pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati kepada Purbaya Yudhi Sadewa. Pergantian ini, langsung atau tidak langsung merupakan jawaban terhadap Gerakan Rakyat di Penghujung bulan Agustus yang diformulasikan dalam format 17 + 8. Dimana 17 tuntutan diminta untuk dirampungkan dalam 1 minggu dengan tenggak waktu tanggal 5 September 2025 dan 8 tuntuntan dengan tenggak waktu tanggal 31 Agutus 2026.
Terdapat 3 dari 17 tuntutan yang tekait sektor ekonomi : Pertama memastikan upah layak untuk seluruh angkatan kerja (termasuk guru, buruh, tenaga kesehatan, mitra ojol) di seluruh Indonesia. Kedua, mengambil langkah darurat untuk mencegah PHK massal dan lindungi buruh kontrak. Ketiga,membuka dialog dengan serikat buruh untuk solusi upah minimum dan outsourcing. Selain itu, terdapat satu dari 8 tuntutan terkait ekonomi yaitu meninjau ulang kebijakan sektor ekonomi dan ketenagakerjaan: termasuk evaluasi terhadap Undan-Undang (UU) Cipta Kerja yang dinilai memberatkan rakyat.
Pertanyaannya adalah apakah pergantian dari Sri Mulyani kepada Purbaya merupakan sinyal reformasi menyeluruh terhadap situasi ekonomi kita? atau merupakan langkah kejut (shock therapy) untuk menenangkan situasi. Sri Mulyani — seorang ekonom jebolan Fakultas Ekonomi UI pembawaan kalem, sementara Purbaya Yudhi Sadewa, alumni ITB Bandung cenderung terbuka dan sedikit ngoboy—sebuah perilaku yang diakuinya sendiri. Gerakan awal Purbaya menggelontorkan Rp.200 trilyun kepada sistem perbankan kita, agar ekonomi begerak merupakan indikasi gerak cepatnya. Gebrakannya telah membangun narasi diskusi ditengah masyarakat.
Siapakah sosok Purbaya Yudhi Sadewa itu? Purbaya dilahirkan di Bogor pada tanggal 7 Juli 1964, menempuh pendidikan SMA di Regina Pacis Bogor, kemudian melanjutkan pendidikan sarjana di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada bidang Teknik Elektro—bidang yang mengasah kemampuan analitis dan berpikir sistematis. Namun, kecintaannya pada bidang ekonomi mengarahkannya ke Purdue University-Amerika Serikat, tempat Purbaya memperoleh gelar Master of Science (MSc) dan Doctor of Philosophy (PhD) dalam bidang Ekonomi.
Kombinasi Ke-ilmuan yang dimiliki Purbaya membawanya melanglang pada pelbagai profesi disekitar masalah ekonomi. Purbaya sempat menjadi Direktur Utama Danareksa Securities (2006–2008), yang mengasahnya langsung di dunia pasar modal. Selanjutnya, dipercaya menjadi anggota Dewan Komisioner LPS, sebelum akhirnya menjabat sebagai Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sejak 2020 hingga 2025. Purbaya, penjaga gawang stabilitas sistem perbankan, terutama di masa pandemi COVID-19 ketika risiko likuiditas meningkat. Kini, dia mendapat amanah menjadi Menteri Keuangan Indonesia sejak 8 September 2025, menggantikan Sri Mulyani.
Pekerjaan Rumah di Depan Mata
Purbaya hadir ditengah-tengah ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi triwulan I tahun 2025 mencapai 4,87 persen Year of Years (YOY), lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya (sekitar 5,11 persen). Lembaga Rating Kredit menilai bahwa target pertumbuhan 5,2 persen untuk 2025 akan sulit tercapai karena berbagai tekanan eksternal dan internal (Reuters). Pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat: tidak sebesar di periode sebelumnya dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan sub-indikator lapangan kerja menunjukkan persepsi yang negatif di kalangan masyarakat (Kompasiana). Pergantian Menkeu yang dipandang mendadak memperlemah kepercayaan terhadap disiplin fiskal. Stimulus ekonomi dan bantuan sosial digenjot sebagai respons, tetapi ini juga menambah beban anggaran dan potensi defisit. Ada periode deflasi di Indonesia untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua dekade, terutama karena diskon listrik dan regulasi harga barang reguler. Namun inti inflasi (core inflation) tetap naik sedikit. Harga bahan pokok (sembako) tetap menjadi keluhan besar masyarakat. Rupiah sempat melemah yang mendorong investor jadi lebih berhati-hati karena risiko politik dan ketidakpastian kebijakan. (Reuters dan IDN Times).
Menurut pengamat ekonomi penyebab yang memperburuk ekonomi kita adalah tekanan ekonomi global: Inflasi dunia, suku bunga tinggi di negara maju, konflik geopolitik, dan ketidakjelasan rantai pasokan mempengaruhi ekspor dan juga impor Indonesia. Disamping itu, adanya kebijakan fiskal dan moneter yang harus seimbang antara mendorong pertumbuhan dan menjaga stabilitas.
Stimulus dibutuhkan, namun jika tidak hati-hati dapat meningkatkan defisit, risiko utang, atau beban subsidi yang besar. Keterbatasan daya beli masyarakat: upah riil yang tidak naik, inflasi pada barang kebutuhan pokok, serta ketidakpastian lapangan kerja membuat banyak yang tercecer. (Reuters dan Kompas).
Selanjutnya, para ahli juga memberikan warning, bila situasi ekonomi yang tidak baik-baik saja ini dibiarkan, tidak mustahil akan terjadi penurunan konsumsi dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi lebih lanjut. Ketidak stabilan sosial jika ketimpangan dan pengangguran meningkat. Daya tarik investasi dapat menurun, bila risiko politik, fiscal, dan nilai tukar dianggap tinggi. Risiko inflasi tinggi untuk kelompok miskin, terutama jika harga bahan pokok terus naik. Potensi defisit anggaran dan beban utang jika stimulus dan subsidi tidak dikelola dengan efisien dan hati-hati.
Langkah Purbaya dan Sinyal Pemulihan Awal
Bak seorang koboy, Cowboy Style meminjam istilah The Straigt Time Singapura, Purbaya melakukan gerak cepat pada tanggal 9 September 2025, menyatakan optimismenya bahwa Indonesia mampu mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen dalam 2-3 tahun ke depan. Salah satu strateginya adalah memperbaiki pengelolaan keuangan negara agar lebih efisien. Tanggal 10 September 2025, Purbaya menyatakan bahwa pemerintah akan memaksa perbankan menyalurkan kredit ke masyarakat untuk mendorong perekonomian. Dengan cara, pemerintah menempatkan dana di perbankan agar likuiditas cukup cair dan dapat disalurkan melalui kredit (Media Indonesia). Dengan demikian, sistem
keuangannya tidak mengering.
Purbaya memenuhi janjinya, pada tanggal 15 September 2025, Pemerintah menyalurkan dana likuiditas Rp 200 triliun ke bank-bank Himbara untuk memperkuat likuiditas dan mendorong agar bank lebih aktif menyalurkan kredit. Purbaya juga menyebutkan bahwa para Direktur Bank tersebut “pusing” karena besarnya dana ini, namun optimis bahwa dengan likuiditas besar, bunga pinjaman akan turun. (IDN Financials). Purbaya meminta agar Bank memutar otak dan menggunakan dana tersebut agar berfungsi sebagai motor ekonomi.
Untuk mengawal penyerapan kualitas anggaran–sebagai otoritas fiskal–pada tanggal tanggal 11 September 2025, Purbaya membentuk Tim Asistesi Internal yang berfungsi mendampingi pelaksanaan anggaran agar penyerapan dapat berjalan efektif dan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi. Juga dengan koordinasi dengan Komisi XI DPR terkait transfer ke daerah agar kondisi ekonomi daerah tetap terkendali (Media Indonesia). Bahkan, Purbaya menyatakan akan menarik dana di K/L yang penyerapan tidak memenuhi target,sebuah langkah yang patut diacungi jempol.
Menurut pengamat perbankan, terdapat pertanyaan terkait dengan penempatan Rp.200 T pada Perbankan Nasional (baca : Himbara) : Pertama, berapa lama Rp.200 T bisa disalurkan dalam bentuk kredit? mengingat penyaluran kredit tidak bisa instans dan memerlukan kehat-hatian. Kedua, Bagaimana daya serap pasar pada saat sektor riil yang belum spenuhnya bergairah dan, Ketiga, apakah dana tersebut benar-benar bisa lama mengendap di bank BUMN? pada saat pemerintah tetap membutukan untuk belanja negara. Untuk tiga hal ini, tentu Pemerintah telah mengantisasipasinya antara lain dengan meluncurkan paket Ekonomi 8-4-5 ( CNBC Indonesia.Com,15 September 2025). Paket ini pada intinya untuk membangkitkan sektor riil sebagai sinyal pemulihan ekonomi.
Agenda Krusial Ekonomi Kita
Masalah besar yang tengah menunggu sentuhan Purbaya– tentunya dengan back-up penuh Presiden Prabowo. Masalah besar tersebut merupakan agenda krusial yang dihadapi terkait dengan masalah struktural yang menghambat laju perekonomian Indonesia. Menurut Bloomberg Technoz—sebuah platform media berita ekonomi,bisnis dan teknologi di Indonesia. Menurut platform ini, Indonesia tengah mengalami penurunan tax ratio sekitar 10,08 persen di 2024 menjadi diperkirakan ~9,5 persen di 2025. Rendahnya tax ratio tentu saja akan mempengaruhi penerimaan negara. Sebagai perbandingan pada tahun 2023, tax ratio Singapura sebesar 13,9 persen dan Korea Selatan sebesar 15,7 persen (Helgi Library—Platform Data Statistik).
Masalah struktural lainnya yang dihadapi ekonomi kita adalah melamahnya sektor manufaktur sebagai basis produksi. Bahkan beberapa laporan menyebut bahwa kontribusi manufaktur ke PDB mengalami trend penurunan dari angka 20 persen ke bawah dalam beberapa tahun terakhir. Data BPS menunjukkan share pekerja informal di Indonesia terus meningkat, sementara pekerja formal cenderung stagnan bahkan menurun. Data BPS menunjukkan adanya indikasi pemutusan huhugan kerja (PHK). Selanjutnya, terdapat penurunan kecil dalam porsi industri luas terhadap PDB dari 46 persen pada tahun 2019 ke 40,22 persen pada tahun 2023 ( The Global Ekonomi.Com).
Masalah yang menggantung lainnya yang perlu segera mendapat perhatian ekstra adalah masalah infrastruktur yang tidak merata terutama di wilayah Indonesia Timur masih tertinggal dalam hal konektivitas, energi dan logistik. Ketimpangan ini menjadi hambatan dalam pengembangan ekonomi lokal. Tentu saja, masalah regulasi dan birokrasi yang tidak efisien harus segera dibenahi. Perizinan usaha,perpajakan dan regulasi lainnya masih dipandang rumit dan tidak ramah investor. Bila,masalah ini tidak segera dibenahi akan memperberat upaya pemulihan ekonomi dalam jangka panjang.
Gebrakan Purbaya merupakan sinyal awal pemulihan ekonomi dan bila diikuti dengan langkah-langkah lanjutan akan mengakselarasi pemulihan ekononi lebih luas lagi. Ekonomi yang sudah lama tercekik. Langkah ini harus pula disertai dengan langkah konsisten dan berkesinambungan dari Tim Ekonomi Prabowo untuk meletakkan kerangka fondasi ekonomi yang berdaya tahan dan berkelanjutan,ditengah geo-politik global yang tengah berubah—berbekal optimisme mengayuh ditengah perubahan. Wallahu ‘Alam Bi Sowab.
*Konsultan Pemberdayaan Masyarakat dan Dewan Pembina Yayasan Mahasiswa Islam Insan Cita (YAPMIC) Ciputat
Editor: Jufri Alkatiri