Perkuat Daya Saing dan Ketahanan Industri, OJK Dorong Konsolidasi BPR di Jatim

Pijarberita.com, Madiun- Kepala Direktur  Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan 1 Kantor Perwakilan OJK Jawa Timur, Nasirwan, mengatakan,  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) fokus memperkuat daya saing Bank Perkreditan Rakyat (BPR) agar mampu memenuhi tuntutan masyarakat sebagai pengguna jasa keuangan. Upaya ini merupakan bagian dari road map pengembangan BPR yang menjadi prioritas OJK pada tahun 2025 dan 2026.

Salah satu fokus utama dalam pengembangan BPR adalah pelaksanaan program konsolidasi. “Konsolidasi ini memiliki dua dimensi penting. Pertama, terkait dengan pemenuhan modal inti minimum dan kedua . Berdasarkan Peraturan OJK (POJK), setiap BPR, baik konvensional maupun syariah, wajib memiliki modal inti minimum sebesar Rp6 miliar,” kata  Nasirwan di Madiun, Jumat.

Hingga awal tahun, jumlah BPR di Jawa Timur tercatat sebanyak 265 unit, setelah sebelumnya terdapat 267 BPR, namun dua di antaranya telah dicabut izin usahanya. Dari total 265 BPR yang masih beroperasi, sebanyak 30 di antaranya belum memenuhi ketentuan modal inti minimum.

Dari 30 BPR tersebut, 21 diantaranya  sudah memiliki rencana untuk memenuhi ketentuan modal inti. Beberapa di antaranya tengah melakukan penyetoran modal tambahan atau menjalankan proses merger dengan BPR lain agar total modal intinya dapat mencapai ketentuan Rp6 miliar. OJK menargetkan seluruh proses tersebut dapat selesai hingga akhir Desember 2025.

Meski demikian, masih terdapat sembilan BPR yang dinilai pesimis dapat memenuhi modal inti hingga batas waktu yang ditentukan. Permasalahan utama berasal dari keterbatasan likuiditas pemilik, di mana sebagian tidak memiliki dana cukup untuk menambah modal. Kekurangan modal ini bervariasi, mulai dari Rp100 juta hingga Rp1 miliar.

“OJK telah memberikan dua opsi kebijakan bagi para pemilik BPR yang kekurangan modal. Pertama, melakukan merger dengan BPR lain yang memiliki kondisi serupa. Namun, langkah ini tidak mudah, sebab penggabungan kepemilikan BPR kerap kali terkendala perbedaan visi dan arah bisnis antar pemegang saham. Kedua, mencari investor baru yang dapat menjadi mitra strategis dan menambah kekurangan modal,” tambahnya.

Proses masuknya investor baru juga membutuhkan waktu, karena harus melalui tahapan perizinan dan evaluasi kepemilikan saham sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sementara itu, terhadap sembilan BPR yang belum memiliki kepastian, OJK terus melakukan negosiasi dan identifikasi masalah untuk mencari solusi terbaik agar tetap dapat memenuhi ketentuan modal inti.

Terkait potensi pelibatan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), OJK menegaskan bahwa langkah tersebut hanya dilakukan untuk bank yang bermasalah secara kesehatan dan likuiditas. Dalam kasus sembilan BPR tadi, meski modalnya belum mencukupi, kondisi kesehatannya masih tergolong baik. Karena itu, tidak ada rencana penyerahan ke LPS. Fokus utama tetap pada penegakan kewajiban pemenuhan modal inti melalui penggabungan atau masuknya pemegang saham baru.

“Apabila pemilik BPR tidak menunjukkan komitmen terhadap perintah OJK, maka akan diterapkan mekanisme PKPU ulang atau proses pembatasan kepemilikan. Dengan demikian, pemilik tersebut bisa kehilangan haknya sebagai pemegang saham pengendali dan bahkan dikeluarkan dari industri perbankan, serta tidak dapat kembali menjadi pemilik BPR di kemudian hari,” ungkap Nasirwan.

Selain isu pemenuhan modal inti, OJK juga menyoroti kebijakan single presence policy atau kewajiban konsolidasi bagi satu pemegang saham pengendali (PSP) yang memiliki lebih dari satu BPR. Berdasarkan ketentuan, satu PSP hanya diperbolehkan memiliki satu BPR di satu pulau besar, seperti Jawa, Kalimantan, atau Sulawesi. Bila memiliki lebih dari satu BPR di pulau yang sama, wajib dilakukan penggabungan.

Kebijakan ini ditujukan untuk menciptakan skala ekonomi yang lebih efisien. Banyak BPR di Jawa Timur memiliki aset yang relatif kecil meski modalnya memenuhi ketentuan. Akibatnya, efisiensi usaha rendah karena biaya operasional, termasuk gaji direksi dan komisaris, menjadi besar. Melalui penggabungan, BPR dapat memperkuat struktur permodalan sekaligus menekan biaya operasional.

‎‎Saat ini, di Jawa Timur terdapat sekitar 77 unit BPR. Beberapa di antaranya dimiliki oleh keluarga atau kelompok usaha yang sama, seperti satu keluarga di Malang yang diketahui memiliki hingga 19 BPR. OJK menegaskan bahwa kelompok-kelompok seperti ini wajib menjalankan konsolidasi sesuai ketentuan single presence policy.

Konsolidasi BPR di Jawa Timur dibagi menjadi tiga tipe. Tipe pertama berlaku bagi BPR yang berada dalam satu wilayah kerja OJK, seperti OJK Surabaya yang meliputi Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, dan Bojonegoro. Tipe kedua mencakup penggabungan antar-BPR dalam satu provinsi, seperti antara BPR di bawah OJK Malang dan OJK Kediri. Sedangkan tipe ketiga mencakup konsolidasi lintas wilayah dan pulau, yang prosesnya akan dikoordinasikan di tingkat pusat

Melalui kebijakan ini, dari 77 BPR diproyeksikan akan terjadi penyederhanaan struktur menjadi hanya 28 BPR setelah proses merger rampung. Langkah ini diyakini dapat memperkuat struktur perbankan daerah dan meningkatkan daya saing di tingkat nasional.

“OJK menargetkan seluruh proses konsolidasi dapat selesai paling lambat pada April 2026. Setelah penggabungan selesai, BPR yang terbentuk diharapkan memiliki modal lebih kuat, manajemen lebih efisien, serta kapasitas layanan yang lebih baik kepada masyarakat dan pelaku UMKM di daerah, ” kata Nasirwan.

Dengan konsolidasi dan penguatan permodalan ini, OJK optimistis BPR di Jawa Timur akan menjadi lebih sehat, kompetitif, dan berperan signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Upaya ini juga menjadi langkah strategis untuk memastikan stabilitas sektor keuangan nasional di tengah dinamika ekonomi yang terus berkembang. (nisa)

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *