Oleh: Jufri Alkatiri*
MUSIM PACEKLIK Doktor dan Magister Filsafat kali ini sungguh memprihatinkan dan telah terjadi pada Wisuda Program Pasca-sarjana Periode I Tahun Akademik 2025-2026 Universitas Gajah Mada, Selasa. Dari 2.300 Dokter dan Magister berbagai dispilin ilmu antara lain Ekonomi, Hukum, Hubungan Internasional, Sosialogi, dan Ilmu Komunikasi yang dinyatakan lulus dan layak di wisuda — hanya 11 mahasiswa dan mahasiswi Program S2 dan S3 yang meraih gelar Magister dan Doktor Filsafat. Sebuah ironi di dunia ilmu pengetahuan.
Makin terbatasnya, mahasiswa Magister dan Doktor Ilmu Filsafat, semakin mendekati kebenaran hasil riset ilmiah yang menyatakan daya kritis dan radikal, rasional, deskriptif, analisis, sistematis, universal, serta ketajaman berfikir para alumni Magister dan Doktor dari berbagai disiplin ilmu dimasa mendatang.
Sebagai catatan ringan saja, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM misalnya– untuk periode kelulusan Program Pasca-sarjana Periode I tahun akademik 2025-2026 ini tercatat sebanyak 160 wisadawan dan wisudawati, 9 diantara bergelar Doktor. Sangat spektakuler dibandingkan dengan Fakultas Filsafat.
Salah seorang orang tua mahasiswa yang ikut menyaksikan putrinya diwisuda mengaku, sangat mengkhawatirkan dan menyayangkan, minimnya lulusan Magister dan Filsafat di UGM. “Saya khawatir, para alumni jebolan UGM semakin lemah dan kurang kritis untuk berfikir deskriptif dan mendalam ketika mereka berkarya di pasar kerja atau berkarya di masyarakat,” katanya.
Diakui, memang — di banyak kampus akkhir-akhir ini, filsafat terasa seperti barang antik di museum akademik. Memang di satu sisi Filsafat dihormati, tetapi di sisi lain dijauhi, bahkan jarang disentuh. Mahasiswa lebih sibuk mempersiapkan diri menghadapi dunia kerja daripada berhenti sejenak untuk bertanya: apa makna dari semua ini? Diskusi tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan kini kalah populer dibandingkan seminar motivasi dan pelatihan personal branding.
Gejala dan fenomena ini menunjukkan satu hal — kita sedang mengalami krisis berpikir kritis dan radikal dalam mencermati sesuatu permasalahan. Filsafat- yang seharusnya menjadi fondasi berpikir reflektif, berangsur-angsur dianggap tidak relevan lagi. “Untuk apa belajar Filsafat? tanya sebagian mahasiswa. Filsafat tidak bisa dipakai cari kerja.
Setuju atau atau tidak — orientasi praktis ini tidak muncul begitu saja. Dunia pendidikan tinggi kini dibentuk oleh tekanan pasar dan logika efisiensi. Universitas maupun Sekolah Tinggi didorong untuk mencetak lulusan siap kerja, bukan pemikir. Mahasiswa pun menyesuaikan diri — yang penting cepat lulus, cepat diterima, cepat sukses. Ketika pendidikan hanya diukur lewat angka dan sertifikat, yang hilang adalah kemampuan berpikir mendalam atau kritis dan radikal. Mahasiswa menjadi pandai secara teknis, tetapi miskin refleksi. Filsafat sejatinya bukan sekadar teori abstrak, melainkan keberanian berpikir. Ilmu Filsafat mengajarkan manusia untuk tidak menerima apa pun secara mentah-bahkan hal yang dianggap normal. Ketika filsafat tersingkir dari ruang akademik, kampus kehilangan jiwanya sebagai rumah pencarian kebenaran secara radikal.
Saat ini, sependapat atau tidak — banyak universitas lebih bangga dengan peringkat akreditasi atau capaian publikasi internasional daripada ruang diskusi yang hidup. Mahasiswa digerakkan untuk produktif, tetapi jarang diajak berpikir kritis tentang realitas sosial. Akibatnya, kampus berubah menjadi pabrik kompetensi, bukan laboratorium pemikiran. Kita sering menyebut Generasi Genzi sebagai generasi yang kritis — namun, yang kerap muncul adalah generasi yang cepat menyimpulkan tanpa berpikir utuh. Media sosial memberi ruang bagi ekspresi, tetapi juga menumpulkan refleksi. Filsafat, yang menuntun manusia untuk berpikir sebelum bereaksi, kini tergantikan oleh budaya instan scroll, like, share, dan move on.
Mengutip pendapat Jean-Jaeques Rousseau – orang yang hanya tahu sedikit biasanya adalah orang yang pandai bicara, sedangkan orang yang yang tahu banyak tidak banyak bicara. Kekuatiran Jean karena mahasiswa tidak memperoleh ilmu filsafat, kalua ada, mahasiswa kurang serius. Krisis kritis di dunia mahasiswa sejatinya adalah krisis makna pendidikan.
Ketika orientasi belajar diarahkan semata untuk memenuhi kebutuhan industri, pendidikan kehilangan misinya membentuk manusia yang utuh. Padahal, tujuan universitas bukan sekadar mencetak pekerja kompeten, tetapi manusia yang berpikir kritis, memiliki daya analisis tajam, radikal. Filsafat berperan penting di sini –karena Filsafat mengajarkan logika, etika, dan kebebasan berpikir.
Tanpa filsafat, pendidikan hanya melahirkan kecerdasan tanpa kesadaran. Filsuf Theodor Adorno pernah memperingatkan, pendidikan yang gagal menumbuhkan kemampuan berpikir kritis justru membuka jalan bagi kekerasan dan ketidakadilan. Sebab tanpa kesadaran kritis, manusia mudah menjadi alat sistem, bukan penggerak perubahan. Menurut Ki Hajar Dewantara tokoh pendidikan jadikan setiap tempat sebagai sekolah, jadikan setiap orang sebagai guru. Itulah salah satu pegangan bagi mahasiswa jika belajar ilmu filsafat.
Di sisi lain, sejumlah kecerdasan emosional akan dimiliki jika seseorang mahasiswa belajar Filsafat antara lain, mampu berfikir logis, verbal, penguasaan ilmu-ilmu sosial yang mumpuni, daya ingat lumayan kuat, beradaptasi yang baik, daya ingat yang bagus, adaptasi yang baik, kesadaran diri, mampu mengatasi problem solving, memiliki motivasi yang baik, berempati, dan terbuka. Silahkan amati jika tidak percaya. (*/berbagai sumber)
*Jurnalis Senior, Asesor Uji Kompetensi Wartawan (UKW), dan Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan PWI Pusat
