Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
2. Kalam Asy’ari
Abu Hasan al-Asy`ari, pada mulanya salah satu tokoh yang mengkaji dan membela ajaran Mu’tazilah pada masanya, sebelum kemudian menjadi pelopor kritik dan pengembangan pemahaman Teologis al-Asy`ari atau yang juga dikenal sebagai ideologi Islam Moderat. Imam al-Asy`ari kemudian merumuskan (reformulasi) akidah moderat dengan pendekatan pemikiran baru, yang berupaya menyeimbangkan akal dan teks dalam memahami teks-teks agama.
Terkait hal ini, beliau mengatakan: “Berpegang teguh pada teks secara harfiah tanpa memberi ruang bagi akal untuk memperkuat esensi yang terkandung di dalamnya adalah tindakan yang naif, karena hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak cukup bijak”. Demikian pula, “mengikuti akal yang tidak terikat oleh teks, terutama dalam masalah keimanan, adalah tindakan yang salah, bahkan lebih buruk dan lebih berbahaya”.
Oleh karena itu dalam ajaran-ajarannya, al-Asy`ariyah memiliki genealogi dengan pemikiran Mu’tazilah — yaitu dengan menggunakan akal dan penalaran. Dia adalah seorang Mu’tazilah sebelum akhirnya meninggalkan dirinya karena dia lantang menentang kelompok-kelompok yang mengatakan bahwa kajian segmentasi akal dalam wacana keagamaan atau isu-isu yang tidak dibahas Nabi adalah kesalahpahaman.
Al-Asy`ari bertransformasi menjadi pemahaman moderat dengan mengaitkan berbagai pendapat filsafat dan kemudian menggabungkan pandangan para ahli hukum tentang masalah-masalah nash yang ada, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah. Namun, dia konsisten dalam kritiknya terhadap kelompok-kelompok yang terlalu mengagungkan penggunaan akal, yaitu sekte rasionalis ekstrem Mu’tazilah (Samat dkk., 2010).
Mengenai cara mengenal Tuhan, pemahaman Al-Asy’ari berpendapat bahwa. argumennya adalah bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, dan memiliki kuasa untuk memiliki segala bentuk pengetahuan dan kekuasaan. Sifat-Nya, yaitu sifat hidup, mahakuasa, pendengaran, dan penglihatan. — namun, pendengaran Tuhan tidak dapat disamakan dengan pendengaran makhluk dan ucapan Tuhan tidak seperti ucapan makhluk-Nya. Sifat-sifat ini adalah sifat-sifat yang sesuai dengan hakikat Tuhan sendiri dan tidak pernah menyerupai sifat-sifat makhluk.
Meskipun Tuhan memiliki sifat-sifat kekal yang tidak diciptakan yang eksis dalam Dzat-Nya, Dia juga melakukan berbagai tindakan ilahi. Tindakan-tindakan Tuhan bermula secara temporal (muḥdath): “Atribut-atribut ini, seperti penciptaan, rezeki, keadilan, keberkahan, dan karunia, karena semuanya merupakan tindakan dari Tuhan Yang Maha Esa, bermula dari waktu (maha awal) dan termasuk di antara sifat-sifat tindakan” (al-Bāqillānī 1957: 210).
Asy’ariyah awalnya hanya menetapkan tujuh sifat Ma‘ani saja bagi Allah yang ditetapkan menurut akal aqliyah yaitu; hayah, ilmu, qudrah, iradah, sam‘u, bashir, dan Kalam. Kemudian ditambahkan oleh As-Sanusi menjadi dua puluh sifat, dan tidak menetapkan satu pun sifat fi‘liyah (seperti istiwa, nuzul, cinta, ridha, marah, dst).
Para Teolog Asy’ari menafsirkan dan menjelaskan makna berbagai nama ilahi dengan merujuk pada prinsip-prinsip teologis ini. Beberapa nama ilahi merujuk pada sifat-sifat Entitatif Tuhan yang tidak diciptakan; nama-nama ilahi lainnya merupakan negasi dari ketidaksempurnaan Tuhan atau menggambarkan tindakan-tindakan Tuhan yang diciptakan (Ibn al-Fūrak 1987: 44 dst.). Mengenai rujukan-rujukan kitab suci tentang wajah, mata, tangan, turun (nuzūl), dan duduk (istiwāʾ) Tuhan, pemahaman Asy’ari telah berkembang selama berabad-abad.
Ulama-ulama awal seperti al-Bāqillānī (w. 404/1013) menolak tafsir Muʿtazilī yang memahami istilah-istilah tersebut sebagai rujukan alegoris terhadap esensi, ilmu, kekuasaan, dan karunia Tuhan. Sebaliknya, al-Bāqillānī menegaskan wajah Tuhan, kedua mata-Nya, dan kedua tangan-Nya sebagai atribut abadi dari Esensi Tuhan dan menolak menafsirkannya secara simbolis; dia juga menafsirkan duduk (istiwāʾ) Tuhan sebagai tindakan ilahi yang bersifat temporal yang tidak dapat ditafsirkan secara alegoris dan yang modalitasnya tidak diketahui (al-Bāqillānī 1957: 259–262).
Namun, al-Juwaynī (w. 478/1085), “imam dua tempat suci” (al-ḥaramayn) yang tersohor, menggunakan interpretasi alegoris (taʾwīl) untuk deskripsi wajah, tangan, mata, lambung, dan turunnya Tuhan. Dalam pandangannya, wajah Tuhan hanya merujuk pada keberadaan-Nya; tangan Tuhan merujuk pada kekuasaan-Nya; mata Tuhan merujuk pada perlindungan-Nya; Sisi Tuhan (janb) merujuk pada perintah dan tindakan-Nya; dan turunnya Tuhan (nuzūl) merujuk pada turunnya para Malaikat-Nya atas perintah-Nya atau turunnya berkah-berkah-Nya (al-Juwaynī 2000: 84–90).
Kaum Asy’ari menganut pandangan dunia Okasionalis (tdk ada logika kausalitas/science semua karena Tuhan), bahwa Tuhan adalah agent libertarian dan pencipta segala tindakan, termasuk tindakan yang dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu, manusia hanya memperoleh (kasb) atau melakukan tindakan; Hanya Tuhan yang menciptakan segala tindakan dalam substrat makhluk. Al-Qushayrī menulis: “Penentuan peristiwa, baik maupun buruk, adalah milik Tuhan: Dia menciptakan tindakan manusia yang disengaja dan individu manusia melakukan tindakan-Nya” (Frank 2001: 211). (bersambung)
*Pemerhati Keagamaan, Filosof, dan Alumni Fakultas Teknik Pertanian UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri
