Oleh: Renville Almatsier*
Sudah satu tahun usia pemerintahan Presiden Prabowo. Berbagai kemajuan disampaikan Presiden, Senin lalu, dalam Sidang Paripurna Kabinet di Istana Negara. Hadir para anggota kabinet lengkap hingga tingkat wakil menteri dan pejabat lembaga negara lainnya yang tampil berbatik necis.
Saya tidak ingin mengupas materi penjelasan Presiden yang inti utamanya adalah keberhasilan ekonomi dan hasil-hasil positif setahun pemerintahannya. Kita tahu beberapa kali telah dilakukan perombakan kabinet. Perombakan yang dilakukan mampu meningkatkan harapan publik terhadap perbaikan kinerja pemerintahan. –namun agaknya masih ada hal yang perlu diperbaiki. Terutama sistem komunikasinya.
Presiden Prabowo pernah mengakui adanya kekurangan di lingkungan dekatnya — perbedaan antara pejabat tinggi negara yang berada di sekitar presiden, baik menteri, staf khusus, maupun juru bicara, mencerminkan tidak adanya koordinasi yang solid dalam menyampaikan pesan-pesan strategis.
Contohnya, pidato Presiden di depan sidang PBB baru-baru ini. Point yang diangkatnya mengenai dukungan pada Palestina dan peran PBB menekankan kerja sama – yang intinya mengangkat isu masalah pangan, lingkungan hidup, iklim, dan hak asasi manusia, disampaikan dengan penuh percaya diri dan menuai tepuk tangan delegasi. Namun bahasannya tentang kaitan ketahanan pangan dengan perdamaian, buat kita di dalam negeri, terasa penuh kontroversi.
Dalam pidatonya itu Presiden menyebut Indonesia telah mencapai swasembada beras selain komitmen reforestasi 12 juta hektar lahan. Sementara kita tahu kenyataan bahwa sawah berkurang dan harga beras dalam negeri terus melambung. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan menurunnya luasnya sawah yang berdampak merosotnya panen dari 53,98 ton menjadi 53,14 ton di tahun yang lalu.
Contoh lain adalah sikap pemerintah yang curiga pada berbagai gerakan protes, mulai dari isu “Indonesia Gelap”, isu kenaikan gaji, dan tunjangan anggota DPR yang kemudian menyulut emosi publik hingga terjadilah “peristiwa Agustus kelabu”. Eskalasi aksi demonstrasi menjalar ke daerah-daerah dan mencapai puncaknya dengan lahirnya “Tuntutan 17+8”. Kemudian soal MBG, yang diawali oleh kejadian di Cipongkor, namun mungkin terlambat diketahui Presiden karena sedang berada di luar negeri. Dalam sidang kabinet, hal itu disebutnya “masih dalam batas error yang manusiawi”.
Dalam sistem pemerintahan moderen, komunikasi kepresidenan bukan hanya soal bagaimana seorang kepala negara menyampaikan pidato di depan publik, tetapi juga bagaimana seluruh jajaran di lingkar kekuasaan mampu menyampaikan narasi yang utuh, jelas, dan konsisten kepada rakyat. Sayangnya, dalam beberapa waktu terakhir ini publik disuguhi tontonan komunikasi yang tercerai-berai dari para pembantu presiden. Alih-alih menegaskan sikap pemerintah, pernyataan mereka justru memunculkan kebingungan, bahkan perseteruan. Konon ada pejabat yang tidak saling bertegur-sapa. Ditambah komen-komen dan potongan liputan yang muncul di media sosial, maka lengkaplah kerancuan informasi yang diterima publik.
Ini menunjukkan dua hal. Pertama lemahnya central command dalam urusan komunikasi istana. Kedua, kurangnya disiplin komunikasi dari pejabat itu sendiri – yang entah karena ingin tampil dominan, berebut panggung, atau sekedar menunjukkan kedekatan dengan pusat kekuasaan. Disiplin komunikasi yang buruk dapat mengikis kredibilitas Presiden dan pemerintahan secara keseluruhan.
Tugas juru bicara atau apapun sebutannya, adalah menyampaikan informasi resmi kepada masyarakat dengan bahasa yang jelas dan mudah dipahami, mengelola pesan publik yaitu membentuk narasi positif tentang kebijakan presiden disamping menjaga citra pemerintah temasuk menangani isu sensitif, menjadi penasihat komuniksi bagi presiden, memantau opini publik dan yang terpenting menjaga keseimbangan antara keterbukaan dan kerahasiaan negara.
Manajemen komunikasi atau concept of communication management, menurut teori yang paling sederhana, is simply as this: it is the management of form, content and context of information in order to bring about specific outcomes (Mark Fletcher 1999).
Kita bisa belajar dari pengalaman negara lain. Tugas juru bicara kantor kepresidenan seperti White House Secretary yang utama adalah menjadi penghubung resmi antara presiden dan publik, terutama melalui media massa. Kita ingat nama-nama James Brady, Larry Speakes, Dee Dee Myers, Jen Psaki dan kini Karine Jean-Pierre. Di negeri kita pada jaman Bung Karno, ada Rochmulyati. Di era Soeharto selain Harmoko, ada Moerdiono. Di era Gus Dur ada Wimar Witoelar, dan di era SBY ada Andi Mallarangeng.
Hasil rapat paripurna Senin kemarin itu, untuk pertama kalinya, dijelaskan oleh Mensekkab Teddy Wijaya dengan agak terbata-bata. Padahal Kantor Komunikasi Kepresidenan sudah berganti nama menjadi Badan Komunikasi Pemerintah (BKP). Apapun namanya, perubahan itu menuju pelaksanaan tugas, fungsi dan kinerja yang lebih baik. Mudah-mudahan.
*Pengamat Sosial dan Mantan Jurnalis Majalah Berita Tempo
Editor: Jufri Alkatiri
