Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
Ilmu Kalam paling awal adalah Kalam Mu’tazilah — Teologi Rasional, yang awal munculnya karena peristiwa politik kekuasaan (terjadinya fitnah kubro 1 dan fitnah kubro 2). Konsep Tuhan atau Teologi dalam tradisi sempit, menganut Monoteisme atau Tauhid — mengakui bahwa tuhan Maha Esa, Unik, danBukan Numerik (bilangan) makna itu terangkum dalam kata yang tepat digunakan dalam al-Qur’an yakni; Ahad (QS. Al-Ikhlas/112 ayat 1).
Tuhan yang Ahad adalah transcendent diluar (jauh) dari jangkauan nalar-otak, imajinasi maupun persepsi manusia, dan juga karena Tuhan tidak ada yang setara atau sebanding dengan-Nya (QS. Al-Ikhlas/112 ayat 5), Tuhan tidak bisa di umpamakan atau di misalkan (laisa kamislihi syai’un) (Qs. Asy-Syura/26 ayat 11 ),
Tuhan juga tidak dapat dipersepsi lâ tudrikuhul-abshâru wa huwa yudrikul-abshâr, wa huwal-lathîful-khabîr, “Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat menjangkau segala penglihatan itu. Dialah Yang Maha halus lagi Mahateliti (QS. Al-An’am/6 ayat 103).
Teologi Mu’tazilah: secara rasional karena Tuhan yang Ahad adalah transcendent diluar (jauh) dari jangkauan nalar-otak, imajinasi maupun persepsi manusia, dan Tuhan, tidak ada yang setara atau sebanding dengan-Nya, maka Tuhan tidak bisa disifati yakni tidak memiliki sifat-sifat, properties, maupun karakeristik Tuhan. Posisi ini setara dengan apa yang disebut oleh para filsuf agama moderen sebagai kesederhanaan ilahi, di mana Tuhan tidak memiliki atribut apa pun yang secara numerik berbeda dari Diri-Nya.
Kalam Mu’tazilah menafsirkan (mentakwil) sifat-sifat Allah yang tampaknya bersifat fisik (antropomorfisme) secara alegoris atau metaforis, bukan secara harfiah. Hal ini dilakukan untuk menjaga kemurnian konsep Tauhid (keesaan Allah) dan menolak adanya kemiripan Allah dengan makhluk-Nya (tasybih). Pendekatan ini berakar pada prinsip Tauhid Mu’tazilah, di mana Allah dianggap tunggal, tidak bersekutu, dan tidak bisa dibayangkan secara fisik., kata al-yad (tangan) Allah dalam Al-Qur’an ditakwilkan (ditafsirkan secara alegoris) sebagai al- Contohnya quwwah atau al-qudrah (kekuasaan atau kekuatan Tuhan).
Teologi Asy’ari; Dalam Teologi Asy’ari “Dzat Allah” merujuk pada hakikat, esensi, atau wujud keberadaan Allah yang unik dan tidak dapat dibandingkan dengan makhluk ciptaan-Nya. Secara umum, sifat perbuatan Tuhan merujuk pada atribut abadi dan hakiki dari Dzat Tuhan itu sendiri (seperti Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Hadir), sedangkan tindakan ilahi adalah manifestasi eksternal atau penerapan sifat-sifat tersebut dalam interaksi-Nya dengan ciptaan (seperti penciptaan alam semesta, bimbingan, atau penghakiman). Dari sini kemudian dikenal sifat 20 yang diajarkan di masji-masjid, surau-surau, dan pesantren di Indonesia, meskipun awalnya Asy’ari hanya pengenalkan 7 (tujuh) sifatMa’ani (tergambar dalam lingkaran), dilanjutkan oleh As-Sanusi menambahkan menjadi 20 (dua puluh) sifat dengan tidak ada sifat fi’liyah (tindakan tuhan seperti, istiwa, nuzul, cinta, dan ridha, serta marah).
Teologi Maturidi; Teologi Maturidiyah sering dianggap berada di tengah antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Ini karena Al-Maturidi berusaha memberikan jalan tengah dalam perbedaan-perbedaan teologis, terutama mengenai peran akal. Mereka menegaskan dua jenis sifat ilahi: sifat-sifat dzat Tuhan dan sifat-sifat tindakan ilahi. Sifat-sifat ilahi dzat adalah hakiki seperti kehidupan, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, pengetahuan, ucapan, dan kehendak atau niat Tuhan.
Sifat-sifat tindakan Tuhan meliputi penciptaan, pemberian rezeki, pemberian karunia, pemberian nikmat, pemberian keindahan, kasih sayang, dan pengampunan. Menurut al-Nasafī, semua sifat ilahi – baik dari Dzat Tuhan maupun tindakan-Nya – bersifat kekal dan tidak diciptakan. Dengan kata lain sifat-sifat tindakan Tuhan adalah kekali (baqa) baik sifat ma’ani maupun sifat maknawi bersifat kekal sebagaimana dzat Tuhan.
Dengan bahasa moderen kehendak dan tindakan Tuhan tersistem dengan algorita terstruktur semenjak awal penciptaan hingg akhir zaman kelak yang bersifat kekal abadi. Dari sini kelihatan bahwa Maturidi lebih cenderung menggunakan akal-rasional sebagaimana Mu’tazilah. Maturidi dikenal sebagai penerus fiqh Hanafi, yang mengikuti para sahabat seperrti Ibnu Mas’ud dan Umar bin Khatab dan Ali bin Abi Thalib, Fiqih rasional Ibnu Mas’ud merujuk pada pendekatan hukum Islam yang dikenal dengan aliran ra’yu (penggunaan nalar atau analisis)
Teologi Hanbali: Gerakan scriptural adalah upaya pemurnian sunnah (tradisi) mengikuti tapak langkah kehidupan Nabi dalam mengiplementasikan kitab suci (Gur’an dan Hadits) — yang pada awalnya menolak kalam atau teologi dianggap bi’ah dan haram. Namun, selama berabad-abad, beberapa penerus Hanbali terlibat dengan posisi teologis mazhab-mazhab kalām dan, melalui interaksi (dialektika) tersebut, mengartikulasikan posisi-posisi teologis tertentu yang khas.
Doktrin Hanbalī sebagai “suatu bentuk pengetahuan yang hampa dari konten epistemic (nilai-nilai pengetahuan kognitifseperti keyakinan yang benar, pemahaman dan pengetahuan), dan yang penuturannya langsung diserap oleh pendengarnya dan lebih tepat disebut sebagai tindakan pengabdian daripada tindakan intelek”
Mengenai sifat-sifat Tuhan, Ibnu Taimiyyah (penerus Hanbali) menolak taʾwīl dan tafwīḍ al-maʿnā (menyerahkan makna kepada Tuhan); sebaliknya, dia menjunjung tinggi penegasan amodal (itsbāt bi-lākayf) tentang sifat-sifat antropomorfik Tuhan, termasuk kedua tangan-Nya, mata, wajah, duduk di atas Singgasana, dan turun-Nya.
Lebih sederhanya, sifat-sifat Allah dalam Alqur’an dan hadits dipahami apa adanya yang tertulis tanpa takwil, tafsir maupun interpretasi. Seperti Tuhan memiliki dua mata, memiliki dua tangan dipahami sebagaimana tertulis tanpa perlu adanya tafsir (menyerahkan maknanya kepada Tuhan). Yang sering kita jumpai; Tuhan memiliki dua tangan, akan tetapi bagaimana tangan nya manusia tidak boleh menanyakan bagaimana maksud dan cara penggunaan tangan-Nya (itsbat bila kaysf)
*Pemerhati Keagamaan, Filosof, dan Alumni Fakultas Teknik Pertanian UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri
