Senjata Seorang Perwira Ksatria Sejati : Mulut yang Lebih Mematikan daripada Peluru Tajam

Oleh: Benz Jono Hartono*

Di medan perang, peluru memang menembus tubuh — tetapi di medan kehidupan, kata-kata dapat menembus jiwa. Peluru hanya mampu membungkam satu nyawa, namun ucapan seorang perwira bisa mengguncang barisan, menggugah bangsa, bahkan mengubah arah sejarah. Itulah sebabnya — senjata seorang perwira sejati bukanlah pistol di pinggangnya, melainkan mulut yang berjiwa nurani. Perwira sejati adalah manusia yang sadar bahwa setiap kata adalah peluru moral. Sekali ditembakkan, dia tidak bisa ditarik kembali.

Satu kalimat salah bisa menyalakan bara perpecahan, tetapi satu kalimat benar dapat menyalakan kembali obor keberanian dalam dada para prajuritnya. Maka, berbicara bagi seorang perwira bukan sekadar menggerakkan lidah, tetapi juga menimbang dengan hati.

Mulut seorang ksatria sejati bukanlah alat untuk mengancam, tetapi alat untuk menegakkan kebenaran dengan kebijaksanaan. Dari lisannya harus lahir kata-kata yang menuntun, bukan yang menyesatkan, yang menyatukan, bukan memecah-belah, yang menumbuhkan keyakinan, bukan ketakutan. Dalam diamnya terkandung wibawa, dalam ucapannya bersemayam keberanian yang tidak bising tetapi berkarakter.

Peluru bisa mengakhiri hidup seseorang, namun kata-kata bisa menghidupkan semangat ribuan orang. Peluru mengandalkan mesiu, kata mengandalkan nurani. Peluru berhenti setelah ditembakkan, tetapi kata-kata seorang ksatria sejati terus bergema, menembus ruang dan waktu, menuntun generasi untuk memahami arti kehormatan.

Perwira ksatria sejati bukanlah yang paling keras bersuara, melainkan yang paling jernih jiwanya. Dia tahu kapan harus diam, karena diam pun adalah bagian dari kebijaksanaan. Dan ketika dia bersuara, dunia berhenti mendengar — sebab yang berbicara bukan hanya mulutnya, melainkan jiwanya yang menyala oleh nilai.

Berhati-hatilah dengan mulut seorang perwira. Satu kalimatnya dapat menjadi perintah yang menyelamatkan bangsa, atau fitnah yang menghancurkan kepercayaan. Di situlah kehormatan seorang ksatria: bukan pada logam di tangan, tetapi pada kemampuan menjaga lidah dari kesombongan dan kebohongan.

Peluru tajam membunuh tubuh, tetapi lidah yang jahat dapat membunuh nilai, martabat, dan persaudaraan. Sebaliknya, mulut yang dijaga oleh kebenaran adalah pedang cahaya —menebas gelap kebodohan, menyalakan kembali api moral, dan menuntun bangsa pada kemuliaan yang tidak lekang waktu.

Pedang Lidah dan Peluru Hati

Dalam diri setiap perwira sejati, ada dua senjata yang tidak terlihat oleh mata: pedang lidah dan peluru  hati. Pedang lidah digunakan untuk menebas kebohongan, sementara peluru hati digunakan untuk menembak kezaliman dengan keberanian yang tenang. Ketika keduanya seimbang, lahirlah ksatria yang sejati. yang menang bukan karena menumpahkan darah, melainkan karena menumpahkan kejujuran dan cinta kepada kebenaran.

* Praktisi Media Massa dan Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat

Editor: Jufri  Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *