Muhammadiyah dan NU, Garda Depan Bangsa

Oleh:  Kurniawan Zulkarnain*

Awal abad ke dua puluh, langit Nusantara masih muram oleh bayang Kolonialisme. Di tengah keheningan perlawanan yang mulai bersemi, dua cahaya muncul dari dua penjuru tanah Jawa. Dari Kauman, Yogyakarta, seorang guru bernama KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912, membangunkan umat dari tidur panjang ketertinggalan dengan pendidikan, ilmu, dan amal nyata.

Empat belas tahun kemudian, pada tahun 1926, dari pesantren Tebuireng, Jombang, KH Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama — sebuah gerakan yang meneguhkan akar Islam tradisional sambil menjaga harmoni dengan kearifan lokal.Menjadi acuan masyarakat pedesasaan,mengawal jejak langkah anak desa di surau dan para santri Pondok Pesantren.

Keduanya tumbuh dalam rahim yang sama: cinta kepada Allah, kasih kepada sesama, dan pengabdian pada tanah air. Mereka tidak lahir untuk bersaing, melainkan untuk saling melengkapi. Yang satu menyalakan obor rasionalitas dan kemajuan, yang satu menanamkan akar keikhlasan dan kebijaksanaan. Bersama, mereka menjadi dua tangan Ibu Pertiwi yang memeluk janin bangsa yang kelak bernama Indonesia.

Tahun-tahun menjelang kemerdekaan adalah masa perjuangan sunyi, ketika pendidikan dan pesantren menjadi benteng moral rakyat. Di sekolah-sekolah Muhammadiyah dan di langgar-langgar NU, lahir kesadaran bahwa mencintai agama tidak bisa dipisahkan dari mencintai negeri. Ketika bangsa ini masih mencari bentuknya, kedua ormas itu telah menulis bab awal nasionalisme Indonesia—tanpa pamflet politik, tanpa teriak revolusi, tetapi dengan kapur di tangan dan doa di bibir.

1945–1965: Dari Proklamasi ke Pengabdian

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan  pada 17 Agustus 1945, Muhammadiyah dan NU tidak berhenti di ambang doa. Mereka segera turun ke bumi, membangun sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan untuk rakyat yang baru saja merdeka.

NU bahkan mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, sebuah seruan monumental yang menegaskan bahwa mempertahankan kemerdekaan adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Sementara Muhammadiyah bergerak cepat menyebarkan pendidikan moderen agar bangsa yang baru lahir ini tidak hanya merdeka secara politik, tetapi juga berdaulat dalam ilmu.

Di masa ini, dua ormas Islam ini menjadi tulang punggung sosial bangsa. Dari dusun hingga kota, mereka mengobati luka-luka pasca penjajahan, menyalakan harapan melalui pendidikan, dan memelihara semangat kebangsaan dengan amal nyata.

1966–1998: Era Orde Baru dan Ketahanan Iman

Ketika Orde Baru lahir pada 1966, stabilitas menjadi mantra kekuasaan, namun di balik wajah tenangnya, ruang kebebasan menyempit. Di tengah tekanan itu, Muhammadiyah dan NU memilih strategi yang berbeda tetapi seirama: bukan berteriak, tetapi bekerja.

Amal usaha mereka tumbuh subur. Sekolah-sekolah Muhammadiyah menjamur di pelosok negeri. Pesantren NU menampung anak-anak yang tersisih dari arus pembangunan. Rumah sakit, universitas, dan lembaga sosial berdiri sebagai penopang di tengah masyarakat yang kehilangan arah.

Kiai NU dan guru Muhammadiyah menjadi penjaga nalar dan moral di tengah euforia pembangunan. Mereka sadar, kekuasaan bisa berganti, tetapi nilai tidak boleh pudar. Dalam diam, mereka menjadi penyeimbang kekuasaan yang sering lupa daratan.

1998–2010: Reformasi dan Ujian Kebebasan

Reformasi tahun 1998 membuka pintu lebar bagi demokrasi, tetapi juga membiarkan angin liar berhembus. Gelombang kebebasan membawa euforia, namun juga ekstremisme dan politik identitas. Di masa inilah Muhammadiyah dan NU kembali ke perannya sebagai “penjaga gawang” Republik. Mereka menegakkan Islam yang damai dan rasional, menjaga agar kebebasan tak berubah menjadi kebablasan.

“Umat Islam tidak akan kuat dan maju jika tidak memupuk serta memperkuat ikatan ukhuwah,” ujar Prof. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah. “Jika Muhammadiyah, NU, maupun ormas kebangsaan lainnya lemah, maka bangsa Indonesia pun akan ikut melemah.”

Secara terpisah KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), Ketua Umum PBNU, menegaskan, “Moderasi bukan menolak gaya beragama, namun bagaimana membangkitkan kesadaran untuk membangun peradaban baru yang adil dan harmonis, yang didasarkan pada penghormatan hak dan derajat antarsesama manusia.”

2010–Kini: Islam Moderat dan Tantangan Global

Memasuki abad ke-21, peran dua ormas besar ini tidak surut. Di tengah kemajuan digital, disrupsi informasi, dan krisis kepercayaan publik, Muhammadiyah dan NU tetap menjadi jangkar moral bangsa. Di bawah kepemimpinan baru yang visioner, keduanya memperkuat Islam moderat di kancah global. Muhammadiyah mendorong pendidikan berbasis kemanusiaan universal, sedangkan NU mengusung Islam Nusantara sebagai model keberislaman yang damai dan inklusif.

Dalam isu kebangsaan, keduanya berdiri di garda depan melawan korupsi, intoleransi, dan ketimpangan sosial. Mereka tetap konsisten menggarap akar: membangun manusia. Dari sekolah dasar hingga universitas, dari pesantren hingga rumah sakit, dari panti asuhan hingga lembaga riset, mereka terus menyalakan lilin di tengah gelapnya zaman.

Kini, lebih dari seratus tahun sejak kelahirannya, NU dan Muhammadiyah adalah dua sayap Garuda yang menjaga keseimbangan langit Indonesia. Yang satu mengajarkan disiplin dan rasionalitas, yang satu menanamkan kasih dan kebijaksanaan. Bersama, mereka melengkapi makna menjadi bangsa: beriman tanpa fanatik, berilmu tanpa congkak, bernegara tanpa menindas. Jika Ibu Pertiwi bisa berbicara, dia mungkin akan berbisik, “Anakku masih belajar berdiri, tetapi aku tenang, karena ada NU dan Muhammadiyah yang menjaganya.”

Dua ormas ini tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga makna menjadi manusia dan warga negara. Mereka menyalakan pelita di malam yang panjang, mengobati luka-luka bangsa dengan amal dan kasih. Dan ketika banyak yang berebut nama di lembar sejarah, mereka tetap bekerja dalam diam, sebab bagi mereka, pahala bukan untuk disorot kamera, tetapi untuk dicatat di langit. Wallahu ‘Alam Bi Shawab.

*Konsultan Pemberdayaan Masyarakat dan Pencinta Ilmu Pengetahuan

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *