Penguatan Kolaborasi Pers dan Lembaga Negara: Jurnalis Diminta Tetap Menjaga Independensi dan Peran Literasi Publik

Oleh: Zarkasi Tamlihan*

Wawancara yang dilakukan penulis dengan wartawan senior dan penguji kompetensi Jufri Alkatiri, Senin, 24 November 2026 — melalui keterangan tertulis di Jakarta menegaskan bahwa dinamika hubungan antara Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan lembaga negara merupakan bagian dari kebutuhan ekosistem informasi yang semakin kompleks di era digital. Dorongan Menko Polhukam agar pers berperan lebih besar dalam meningkatkan literasi publik, menurutnya, relevan dengan tantangan media saat ini: derasnya arus informasi yang tidak terverifikasi dan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan sumber berita yang kredibel.

Jufri Alkatiri menilai langkah PWI Pusat menjalin hubungan strategis dengan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif merupakan strategi kelembagaan yang bersifat adaptif, bukan indikasi adanya kompromi terhadap independensi. Ia menyampaikan bahwa ruang kolaborasi tersebut dapat menjadi saluran penting dalam memastikan proses verifikasi berjalan lebih akurat dan efisien.

 “Dalam perspektif profesionalisme pers, kerja sama dengan lembaga negara diperbolehkan sepanjang tetap berada dalam koridor etika dan tidak mengganggu independensi lembaga pers. Misi utama pers adalah mencerdaskan kehidupan masyarakat melalui pemberitaan yang akurat, jujur, dan bebas dari tekanan. Oleh karena itu, pers harus tetap menjaga sikap kritis terhadap pemerintah serta memastikan setiap informasi yang diterbitkan telah melalui proses verifikasi yang ketat,” ujar Jufri.

Ia juga memperluas penjelasannya mengenai kegiatan anjangsana PWI Pusat ke beberapa lembaga negara. Menurutnya, langkah tersebut tidak boleh dipahami secara sempit sebagai kedekatan politik, melainkan sebagai upaya memperkuat mekanisme komunikasi antara jurnalis dan institusi yang memiliki kewenangan atas data dan informasi publik.

 “Kunjungan kelembagaan PWI Pusat ke kementerian, DPD, Kejaksaan Agung, maupun Mahkamah Agung, pada prinsipnya bertujuan memperlancar akses verifikasi bagi jurnalis ketika menghadapi kerumitan dalam peliputan atau penulisan opini. Mekanisme dialog seperti itu dapat meminimalkan kesalahpahaman, mencegah kriminalisasi, dan mendukung terciptanya kultur jurnalistik yang sehat. Saya melihat langkah Ketua Umum PWI Pusat, Akhmad Munir, sebagai bentuk diplomasi organisasi yang konstruktif,” jelasnya.

Lebih jauh, Jufri menegaskan bahwa komitmen pers terhadap Kode Etik Jurnalistik dengan 11 pasalnya harus menjadi landasan utama dalam setiap praktik peliputan. Ia menekankan bahwa pemenuhan unsur 5W+1H bukan sekadar prosedur teknis, melainkan bagian dari tanggung jawab etis jurnalis untuk memastikan setiap pemberitaan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

 “Setiap berita harus melalui pengujian faktual yang memadai. Jika ada unsur 5W+1H yang tidak terpenuhi atau menimbulkan distorsi, maka klarifikasi wajib dilakukan. Pemenuhan kode etik merupakan jaminan bahwa pers menjalankan fungsinya sebagai pengawas sosial sekaligus penggerak literasi publik yang berkelanjutan,” tegasnya.

Menurutnya, peningkatan literasi publik tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah atau program kerja organisasi pers, tetapi juga pada integritas pribadi jurnalis, kualitas verifikasi data, serta kemampuan media menjaga jarak dari kepentingan politik pragmatis. Dalam konteks tersebut, kolaborasi dengan lembaga negara harus ditempatkan sebagai instrumen pendukung, bukan pengikat.

Jufri menutup penjelasannya dengan menegaskan bahwa pers memiliki mandat historis untuk menjadi pilar demokrasi. Karena itu, setiap bentuk kolaborasi harus diarahkan untuk memperkuat kapasitas pers dalam melayani kepentingan masyarakat melalui informasi yang objektif, mendalam, dan dapat diuji. (*)

*Jurnalis Senior, Pemimpin Redaksi Liputan08.com,  dan Siber24jam.com

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *