Drama Mafia Politik Global (Kisah dibalik Layar): “The Global Deal: Mamdani, Trump, dan Meja Bundar Para Don”

Oleh: Benz Jono Hartono*

Bayangkan ruangan gelap. Asap cerutu menari di udara. Di tengah ruangan, sebuah meja marmer bulat yang hanya dipakai jika dunia sedang berada di antara “perang besar” atau “kehilangan uang besar.” Di meja itu duduk tiga kubu: 1. Kubu Mamdani – “The Scholar Syndicate.” 2. Kubu Trump – “The Empire of Deals.” 3. Dan Para Don ekonomi – “The Invisible Consortium.”

Para Don tidak suka dunia ribut terlalu lama. Ribut boleh untuk naikkan harga, tetapi ribut kebablasan membuat pasar panik. Maka Don terbesar bersuara: “Anak-anakku… kalian ribut terlalu jauh. Sekarang waktunya damai. Damai demi kelancaran aliran… investasi.” Mamdani menatap Trump. Trump menatap Mamdani.

Keduanya sadar: Di ruangan ini, mereka bukan bos. Mereka hanya pion,  Trump menurunkan cerutunya. Mamdani menegakkan kacamata. Keduanya mengangguk. Deal pun ditandatangani. Foto bersama pun dibuat. Media internasional pun menulis: “Rekonsiliasi Bersejarah.” Padahal yang bersejarah hanyalah: Para Don berhasil menyelamatkan pasar sebelum rugi miliaran.

Namun begitu para pemodal global mulai bersin—alias pasar goyang, saham turun, dan arus Dolar terganggu—mereka tiba-tiba menemukan “kedewasaan”. Mamdani: “Untuk stabilitas dunia, kita harus berdialog.” Trump: “Yes, especially for the stability of my money.”

Pada akhirnya, perdamaian mereka seperti lem murahan: cepat kering, tapi tujuannya bukan untuk menempelkan idealisme—melainkan menyegel kembali pintu kas negara dan korporasi. Rekonsiliasi itu bukan bukti kecerdasan politik. Itu bukti sederhana bahwa kantong yang bolong lebih menakutkan daripada musuh ideologis. (*)

*Praktisi Media Massa, Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat dan Executive Director Hiawatha Institute

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *