Penjarahan Akibat Lapar karena Bencana Alam, Salahkah?

Oleh:  Benz Jono Hartono*

Ketika bumi retak, tanah longsor, banjir besar, rumah-rumah roboh, dan dapur-dapur berubah menjadi gundukan puing, manusia dipaksa menelan kenyataan paling pahit, lapar bukan lagi rasa, tetapi ancaman. Dalam situasi seperti itu, hukum dan moral sering kali tidak punya tempat yang nyaman untuk duduk, keduanya digeser oleh naluri bertahan hidup.

Lalu muncul pertanyaan yang selalu menggelisahkan, ketika orang lapar menjarah demi sesuap makanan, salahkah mereka? Dalam keadaan normal, tentu saja penjarahan adalah tindakan melanggar hukum. Tetapi bencana besar tidak pernah memberi ruang bagi “keadaan normal.” Yang ada hanyalah campuran rasa takut, kelaparan, dan ketidakpastian. Ketika bantuan tidak datang tepat waktu, ketika pemerintah sibuk berkoordinasi tanpa hadir di lapangan, ketika logistik masih terhambat birokrasi, maka rakyat kecil hanya punya dua pilihan — menunggu sampai mati,  atau bergerak demi hidup.

Di sinilah letak ironi terbesar. Negara sering meminta rakyatnya untuk tetap tertib, tetap sabar, tetap patuh, namun negara sendiri tidak selalu hadir tepat saat rakyat membutuhkan. Akibatnya, rakyat yang kelaparan bukan hanya melawan perut kosong, tetapi juga stigma, disebut perusuh, kriminal, dan penjarah.

Padahal penjarahan karena lapar bukan tindakan jahat, melainkan tanda paling telanjang bahwa negara terlambat menjalankan tanggung jawabnya. Setiap toko, mini market, Mal Swalayan yang dijebol bukan hanya kerusakan fisik, tetapi alarm keras bahwa sistem penanggulangan bencana tidak siap menghadapi penderitaan rakyat. Jadi, apakah penjarahan itu salah?

Secara hukum, ya.  Secara kemanusiaan, tidak sesederhana itu. Yang sesungguhnya salah adalah situasi yang membuat rakyat harus memilih antara melanggar hukum atau mati kelaparan. Yang salah adalah kebijakan yang tidak hadir ketika perut rakyat berteriak. Yang salah adalah ketika rakyat dipersalahkan lebih cepat daripada ditolong.

Penjarahan akibat lapar adalah jeritan terakhir dari mereka yang tidak lagi punya pilihan. Dan bila bangsa ini ingin mengaku beradab, maka yang pertama kali harus diadili bukanlah tangan yang mengambil makanan, tetapi sistem yang membiarkan mereka kelaparan. Pray for Sumatera. (*)

Praktisi Media Massa, Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat, dan Executive Director Hiawatha Institute

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *