Renungan Malem Jemuwah: Ilmu Kalam (bag-16)

Oleh: Anwar Rosyid Soediro*

Sanggahan Kedua

Tuhan Tidak Mengetahui Hal-Hal yang Bersifat Partikular (juzīyāt).

Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang bersifat rinci _(juzīyyāt), Ibn Rusyd dalam Fasl Maqāl-nya juga mengatakan bahwa Abu Hamid Al-Ghazali telah melakukan kekeliruan dalam menilai para filosof berkenaan dengan yang dinisbatkan kepada mereka bahwa mereka menyatakan: “Allah yang Maha Tinggi dan Maha Suci sama sekali tidak mengetahui hal-hal yang partikular (juzīyyāt)”. Padahal para filosof telah menjelaskan bahwa pendapat tentang “Allah Ta’ala mengetahui juzīyyāt” adalah dengan ilmu Allah yang tidak sebanding ataupun sejenis (tidak dapat dibandingkan) dengan ilmu manusia tentang pengetahuan juzīyyāt tersebut.

Pengetahuan manusia tentang juzīyyāt adalah hanya efek _(ma’lūl)_ dari obyek pengetahuan itu, yang tercipta bersamaan dengan terciptanya obyek pengetahuan tersebut (Ontology), dan ilmu pengetahuan akan berubah sejalan dengan perubahan obyek pengetahuan itu sendiri.

Sedangkan Ilmu Allah swt. terhadap wujud yang ada adalah kebalikannya: ilmu Allah adalah sebab (‘illah) bagi obyek yang diketahui oleh-Nya — yakni segala wujud yang ada dalam semesta. Barang siapa yang mempersamakan dua bentuk ilmu Allah dan ilmu manusia, berarti mereka telah menyatukan hal-hal dalam hakikat ilmu, akan  tetapi sifatnya saling berlawanan, dan ini adalah puncak kebodohan.

Maka, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal kecil atau peristiwa-peristiwa kecil (Juz’iyyat). Alasannya, karena segala sesuatu yang bersifat baharu senantiasa mengikuti peristiwa alam yang juga selalu berubah. Artinya, ilmu yang bersifat berubah-ubah, akan selalu mengikuti perkara yang diketahuinya. Jika perkaranya berubah, maka ilmunya pun akan berubah. Dengan perkataan lain, Tuhan mengetahui sesuatu, tetapi ketika sesuatu itu berubah, maka ilmu Tuhan pun harus berubah mengikuti perubahan sesuatu tersebut. Dengan demikian hal itu tidak boleh terjadi pada Tuhan.

Ketika kosa kata atau istilah dalam pengetahuan digunakan untuk menerangkan ilmu al-Qadim (ilmu Tuhan), maka penggunaannya itu semata-mata adalah karena kesamaan nama (ishtirak, homonimi) saja, sebagaimana banyak nama yang digunakan untuk hal-hal yang secara esensial saling berlawanan, seperti kata jalal untuk arti besar maupun kecil, sharīm untuk arti terang dan gelap. Karenanya tidak terdapat suatu batasan tertentu yang mampu mencakup dua bentuk ilmu sekaligus, sebagaimana sangkaan para teolog (al-mutakallimunAsy’ariyah).

Mereka para filosof, tidak hanya berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui hal-hal yang partikular (juzīyyāt) dengan gambaran model pengetahuan manusia, tetapi juga tidak mengetahuai hal-hal yang universal (kullīyāt), karena kullīyāt yang kita ketahui adalah juga efek dari karakter wujud yang ada, sedangkan ilmu Tuhan tidaklah demikian.

Sehingga karenanya, kesimpulan yang dicapai burhan menyatakan bahwa ilmu Allah yang qadīm itu benar-benar terlalu suci untuk hanya disifati dengan kullī atau juz’ī. jadi, memperselisihkan permasalahan ini jelas tidak ada gunanya, apalagi mempersoalkan kafir tidaknya para filosof. Lebih dalam lagi Menolak Ijraul-Adat (Keteraturan Alam Kehendak Tuhan)

Ibnu Russyd Sebagai pembela Aristoteles (Filsafat Yunani) tentunya menolak prinsip Ijraul-Adat dari al- Ghazali, seperti halnya al-Farabi, Ibnu Rusyd mengemukakan   prinsip   hukum   kausal empiris dari Aristoteles.

Ijraul-Adat (kebiasaan yang berjalan) adalah konsep dalam Teologi Islam (Akidah)  Mazhab Asy’ariyah yang dirujuk al-Ghazali. Konsep ini menyatakan bahwa keteraturan alam semesta yang kita lihat bukanlah karena sebab-akibat (Kausalitas) yang inheren atau niscaya, melainkan karena kehendak langsung dari Tuhan pada setiap momennya.

Ibn Rusyd menjelaskan hukum sebab-akibat adalah bersifat pasti, tidak berubah, dan universal (sunatullah), di mana setiap sebab dan akibatnya terikat dalam sebuah keteraturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Kausalitas ini tidak mengesampingkan Tuhan, melainkan menunjukkan kebesaran-Nya dalam menciptakan keteraturan alam yang konsisten, bahkan untuk peristiwa yang diyakini terjadi tanpa campur tangan langsung Tuhan.

Dengan demikian, Ijraul-Adat menyalahi ilmu pengetahuan  dalam arti bahwa kedua kerangka berpikir tersebut Teologis Asy’ariyah dan Sains Modern) menggunakan asumsi dasar yang berbeda mengenai cara kerja alam semesta.

Sains berfokus pada hubungan sebab-akibat yang dapat diobservasi, sementara Ijraul-Adat menekankan intervensi ilahi yang terus-menerus sebagai satu-satunya agen penyebab sejati (dalam bahasa awam sedikit-sedikit bilang kehendak Tuhan, mereka belum berusaha dan mengkaji dengan ilmu). Dari sudut pandang ilmu pengetahuan moderen, pandangan  Ijraul-Adat, bertentangan dengan asumsi dasar sains, bahwa Ilmu Pengetahuan moderen didasarkan pada prinsip uniformitas alam dan kausalitas empiris. (bersambung)

*Pemerhati Keagamaan, Filosof, dan Alumni Fakultas Teknik Pertanian UGM Yogyakarta

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *