Renungan Dino Jemuwah: Ilmu Kalam (bag-17)

Oleh: Anwar Rosyid Soediro*

Sanggahan Ketiga

Tidak adanya Kebangkitan Jasmani di Akhirat

Mengenai isue tidak akan ada kebangkitan jasmani di akhirat, dan yang ada hanyalah kebangkitan rohani. Ibn Rusyd mengatakan al-Ghazali — hal-hal yang bertentangan (bersifat ambigu); karena di dalam Tahāfut al-Falāsifah, al-Ghazali menulis bahwa tidak ada satupun orang Islam yang berpendapat bahwa akan terjadi hanya dalam bentuk rohani.  Tetapi dalam bukunya yang lain, al- Ghazali menulis bahwa bagi kaum Sufi pembangkitan akan terjadi hanya dalam bentuk rohani, dan tidak dalam bentuk jasmani. Dengan demikian sebenarnya tidak ada ijma’ (kesepahaman) mengenai masalah bentuk pembangkitan di hari kiamat, baik dalam bentuk jasmani maupun dalam bentuk rohani.

Ketika al-Ghazali menulis Tahfut al-Falasifah dan Maqasit al-Falasifah, ditulis atas permintaan Khalifah Bani Seljuk, al-Mustazhir, dalam rangka menghadang pemikiran-pemikiran dari salah satu pemberontak taklimiyah (batiniyah) yang beraliran Filsafat Ismailiyah, dimana Filsafat Ismailiyah dibangun berdasar argumen-argumen Ibnu Sina.

Oleh karena itu Tafut al-Ghazali lebih menekankan pada kritik filsafat Ibnu Sina dengan mengemukan tiga dalil dalam karyanya Tahafut al-Falasifah untuk mengajukan pendapat tentang kebangkitan jasmani di akhirat yakni: (1). Dalil Kekekalan Jiwa, (2). Dalil kekuasaan Mutlak Tuhan, dan (3). Dalil Perubahan Hukum Alam.

Dengan dalil tersebut al Ghazali berpendapat: 1. Jasmani yang sudah menjadi tanah itu dibangkitkan di akhirat dengan kehidupan yang baru,  bukan lanjutan kehidupannya di dunia. Ini terjadi kalau dikatakan bahwa hakekat adalah jasmani, sedang hidupnya (kehidupan akhirat) hanya sifat; 2. Jiwa manusia tetap ada sesudah matinya badan, kemudian dikembalikan kepada jasmaninya yang pertama  dengan seperti semula;  3. Jiwa akan dibangkitkan kembali dengan   menempati   suatu   badan baik  badan  semula  ataukah  badan baru yang lain. Badan atau jasmani tidak menjadi soal karena hakekat manusia bukan badannya atau jasmaninya melainkan jiwanya.

Dalil pertama, al- Ghazali mengakui “kekekalan jiwa” dan perlunya jasmani bagi jiwa, dengan  mengutip firman  Allah SWT. QS. Ali Imran ayat 169; “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.”

Hal ini masih senada dengan  pendapat  filosof, yang juga mengakui kekekalan jiwa; Di samping   itu   al- Ghazali juga menerangkan bahwa terdapat riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa arwah orang yang sudah mati itu merasakan kebaikan-kebaikan  dan  sedekah yang dilakukan  saat di dunia, menerima pernyataan dari Malaikat Mungkar dan Nangkir, dan mersakan azab kubur, yang semuanya itu menunjukkan kekalnya jiwa;

Menurut Al-Ghazali dalil-dalil syara’ tersebut menunjukkan bahwa kekekalan jiwa dan sekaligus menunjukkan adanya pembangkitan jasmani, dan    hal   ini   menurut   al- Ghazali mungkin saja terjadi karena hakekat manusia adalah jiawanya bukan jasmani; Bukankah jasmani itu sendiri berubah-ubah dan berganti-ganti unsur-unsurnya seperti berkembang dari kecil menjadi besar, kadang-kadang gemuk atau   kurus,   dan   berganti-ganti gizi makanannya, padahal manusianya tetap  itu   juga   yaitu jiwa, al-Ghazali meyakini bahwa Allah SWT sangat mudah mengadakan jasmani untuk kepentingan jiwa di akhirat.

Pentingnya jasmani bagi jiwa adalah karena  jiwa tidak dapat merasakan kenikmatan dan kesengsaraan, namun jasmaninya di akhirat tertinggal bersamaan terkuburnya raga atau jasmani saat kematian.  Untuk itu perlu disediakan untuknya  jasmani,  yang menyerupai jasmani semula dengan jalan membangkitkan jasmani yang baru (rekonstruksi);

Menurut  al-Ghazali, demikian itulah makna kebangkitan yang  sebenarnya atau kembalinya yang pasti/terwujud (fa kadzalika ‘awda muhaqqaqa) — yakni; Jasmani yang sudah menjadi tanah itu dibangkitkan di akhirat dengan kehidupan yang baru, bukan lanjutan kehidupan alam dunia, Hal  ini dapat terjadi karena hakekat  yang dapat merasakan adalah jasmani, sedang hidupnya sendiri (kehidupan akhirat) hanya sifat;

Pada dalil pertama ini, kritik al-Ghazali tidak mengenai sasaran bahkan menjadi bumerang bagi teorinya sendiri. Penetapannya tentang kekekalan jiwa, memang tidak menjadi masalah karena   hal itu di samping didukung oleh berbagai  dalil  syara’  juga dibenarkan oleh para filosof. Yang menjadi  masalah  ialah pembangkitan jasmani, yang mana menurut al-Ghazali tidak mutlak dari materi badannya semula.

Di sinilah al-Ghazali terseret kepada kemungkinan-kemungkinan yang tidak didukung oleh  syara’, mestinya ia memilih kemungkinan yang kedua yang jelas-jelas didukung oleh dalil-dalil syara’ yakni pembangkitan jasmnai yang disusun dari materi badannya semula, bukan dari materi lain.

Dalam  hal  ini  banyak  ayat  Al- Quran yang menerangkan secara lahiriyah  demikian  diantaranya surat  Al-Shaffat  ayat  16-18; “Apakah apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi tulang belulang, apakah benar-benar kami akan dibangkitkan (kembali)? Dan apakah bapak-bapak kami yang telah terdahulu (akan dibangkitkan pula). Katakanlah: “Ya, dan kamu akan terhina”  dan surat Yasin ayat  78-79 “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?”, – “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama…”

Seperti diketahui, al-Ghazali menetapkan perlunya badan bagi jiwa adalah dengan alasan bahwa jiwa sangat membutuhkan alat berupa badan untuk dapat merasakan kenikmatan dan kesengsaraan yang bersifat jasmaniyah  di  akhirat.  Jika demikian  alasan  al-Ghazali  maka seharusnya alat yang terbaik untuk dibangkitkan bagi jiwa adalah badannya  sendiri  yang pernah dipakai unrtuk beramal di dunia, karena badan itulah yang lebih berhak merasakan hasil amal perbuatannya, bukan badan baru yang lain (De Boer, 1967:74).

Bagaimana menjelaskan siksa kubur (alam barzah) jika harus menggunakan jasad padahal di dalam alam barzah jasad belum dibangkitkan, Oleh karenanya Al-Ghazali tidak memastikan pembangkitan jasmani secara mutlak; maka, secara tidak sadar  ia  juga  turut menentang syara’ yang ditetapkannya sendiri.

Ibnu Rusyd mencoba untuk menggambarkan kebangkitan rohani melalui analogi tidur. Ketika manusia tidur, jiwa tetap hidup, begitu pula ketika manusia mati, maka badan akan hancur, jiwa tetap hidup bahkan jiwalah yang  akan dibangkitkan.

Dalam ungkapannya, Ibnu Rusyd; seperti perbandingan antara kematian dan tidur dalam masalah “jiwa tidak membutuhkan jasmani” adalah bukti yang terang bahwa jiwa itu hidup terus, dan ketika aktivitas dari jiwa berhenti bekerja pada saat tidur dengan cara membuat tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan dan aktivitas jiwa tidaklah terhenti.

Maka, sudah semestinya keadaanya pada saat kematian akan sama dengan keadaannya ketika tidur. Dan bukti inilah yang dapat dipahami oleh seluruh orang dan cocok untuk diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan akan menunjukkan jalan bagi orang-orang yang terpelajar yang keberlangsungan hidup daripada jiwa itu adalah satu hal yang pasti.

Hal inipun terang benderang dari firman Tuhan, “Tuhan mengambil jiwa-jiwa pada saat kematiannya untuk kembali kepada-Nya, dan jiwa-jiwa orang yang belum mati pada saat tidur mereka”.

Dalil kedua, bahwa jasmaniakan dibangkitkan  berdasarkan kekuasaan mutlak Tuhan. Dalil ini adalah dimaksudkan oleh al-Ghazali untuk membantah agumen filosof tentang keterbatasan  materi sehingga tidak cukup untuk dijadikan badan bagi jiwa yang tidak terbatas jumlahnya.

Menurut al-Ghazali, Tuhan Maha Kuasa untuk menciptakan  banyak  materi  baru dan kemudian Dia jadikan sekian banyak badan sesuai jumlah jiwa yang   membutuhkannya.  Kelemahan awal al-Ghazali adalah ketika permasalahan dihadapkan pada syara’ dengan mengatakan semua kekuasaan mutlak Tuhan, maka al-Ghazali secara tidak langsung kehilangan fungsi akal, dengan alasan syara’ ia tidak dapat memberikan argumen atau bukti-bukti rasional terhadap tesisnya. Hal tersebut  sebagaimana kerancuan al- Ghazali,  dalam menjelaskan bagaimana materi awal dan materi yang lain dalam rekonstruksi kembali jasad ketika saat dibangkitkan.

Sebenarnya dalil kekuasaan Tuhan untuk berbuat sekehendak-Nya lebih tepat digunakan al-Ghazali seandainya  dia  berada  pada pendirian bahwa yang dibangkitkan oleh Tuhan adalah materi badan semula.  Dan   kerancuan bagaimana jasmani bisa merasakan kenikmatan atau siksaan di akhirat; Padahal media yang jasmani gunakan untuk dapat merasakan adalah alam dunia yang ada oksigen, ada api, ada es/air dlsb. (bersambung)

*Pemerhati Keagamaan, Filosof, dan Alumni Fakultas Teknik Pertanian UGM Yogyakarta

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *