Musibah Banjir Bandang Di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat : Tanggungjawab Siapa

Oleh: Prof. Dr. Murodi al-Batawi, MA*

Banjir bandang yang kerap melanda Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) merupakan bencana kompleks dengan pola penyebab yang khas wilayah. Tulisan ini menganalisis faktor-faktor spesifik dan distribusi tanggung jawab dalam konteks sosial-ekologis ketiga provinsi tersebut. Meskipun memiliki karakteristik geografis yang berbeda, ketiganya menunjukkan kesamaan dalam hal kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) di hulu, lemahnya penegakan tata ruang, dan kerentanan yang diperparah oleh perubahan iklim.

Analisis menunjukkan bahwa tanggung jawab utama berada pada pemerintah daerah sebagai regulator, namun dengan kontribusi signifikan dari sektor perkebunan/swasta, masyarakat lokal, dan warisan tata kelola masa lalu. Diperlukan pendekatan kolaboratif berbasis DAS dan kearifan lokal untuk mitigasi berkelanjutan.

Bencana Banjir Bandang

Wilayah Aceh, Sumut, dan Sumbar memiliki topografi berbukit hingga bergunung dengan curah hujan tinggi yang secara alamiah rentan terhadap banjir bandang. Namun, intensitas dan frekuensi bencana dalam dua dekade terakhir meningkat secara signifikan, mengindikasikan adanya pemicu antropogenik. Banjir bandang di Aceh (misal di Aceh Tenggara dan Gayo Lues), Sumut (misal di Mandailing Natal, Karo), dan Sumbar (misal di Agam, Pesisir Selatan, Limapuluh Kota) telah menimbulkan korban jiwa, kerugian materi, dan kerusakan ekologis yang masif. Pertanyaan salah siapa? perlu dijawab dengan melihat interaksi unik antara faktor alam, aktivitas ekonomi dominan, dan kebijakan tata kelola di setiap wilayah.

Analisis per wilayah:Akar Mmasalah dan Aktor Bertanggung jawab

Aceh: Pasca-Konflik, Ekspansi Perkebunan, dan Lemahnya Rehabilitasi Hutan. Akar Masalah: 1. Deforestasi Pasca-MoU Helsinki: Pasca-perdamaian 2005, terjadi ekspansi perkebunan sawit dan pembukaan lahan pertanian yang masif, seringkali tanpa izin yang jelas, ke kawasan hutan lindung dan konservasi, terutama di dataran tinggi Gayo dan Aceh Tenggara.  2. Fragilitas Tata Kelola: Kapasitas pemerintah daerah dalam penegakan hukum lingkungan masih lemah pasca-konflik panjang, memicu maraknya perambahan dan penebangan liar. 3. Berkurangnya Kawasan Resapan: Alih fungsi hutan menjadi kebun monokultur mengurangi daya serap air secara drastis. Tanggung Jawab: Pemerintah Aceh dan  Kabupaten: Bertanggung jawab atas lemahnya pengawasan dan penerbitan izin yang tidak sesuai RT/RW. Qanun Aceh tentang lingkungan hidup sering tidak diimplementasikan dengan tegas.

Perusahaan Perkebunan dan Pemodal: Baik yang berizin maupun ilegal, bertanggung jawab atas konversi hutan skala besar. Mereka wajib menerapkan praktek konservasi tanah dan air yang sering diabaikan. Masyarakat Adat dan Lokal: Sebagian terlibat dalam pembukaan lahan skala kecil, namun sering didorong oleh faktor ekonomi dan kurangnya alternatif mata pencaharian.

Sumatera Utara: Dominasi Perkebunan Sawit di Kawasan Sensitif dan Erosi Lahan. Akar Masalah:  Ekspansi Sawit ke Lereng Gunung & Sempadan Danau Toba:  Perkebunan sawit skala besar dan kecil telah menjangkau lereng-lereng curam di Karo, Simalungun, dan Mandailing Natal, menghilangkan vegetasi penahan erosi.

Degradasi DAS: DAS utama seperti Batang Gadis, Asahan, dan Silau mengalami tekanan berat dari aktivitas pertanian, perkebunan, dan permukiman di hulu. Infrastruktur yang Memicu Bencana: Pembangunan jalan yang tidak ramah lingkungan di perbukitan dapat memicu longsor dan menyumbat aliran sungai.

Tanggung Jawab: Pemerintah Provinsi & Kabupaten: Bertanggung jawab atas tumpang tindih izin dan inkonsistensi RT/RW. Izin perkebunan di kawasan dengan kemiringan tinggi (>40 persen) jelas melanggar peraturan. Perusahaan Perkebunan Besar (terutama sawit): Memiliki tanggung jawab hukum dan sosial (CSR) untuk memulihkan daerah tangkapan air dan membangun infrastruktur pencegah erosi di konsesi mereka. BPBD Setempat: Tanggung jawab dalam menyiapkan sistem peringatan dini yang efektif di daerah rawan seringkali belum optimal.

Sumatera Barat: Pertambangan Galian C, Sawah di Lereng, dan Kerusakan DAS Batanghari. Akar Masalah: 1.  Pertambangan Galian C (Pasir & Batu) Liar & Semi-legal: Aktivitas ini merusak tebing sungai, menyumbat alur, dan meningkatkan sedimentasi di sungai-sungai seperti Batanghari. Banjir bandang di Limapuluh Kota dan Tanah Datar sering dikaitkan dengan ini. Sistem Sawah Berteras di Lereng Curam: Meski secara budaya penting, sawah di lereng sangat curam (seperti di Lembah Anai) dapat meningkatkan risiko longsor jika jaringan irigasi tradisional (aie) bocor atau jebol.

Tekanan pada Hutan Lindung:  Meski memiliki nagari, konversi hutan lindung untuk kebun karet dan kayu manis skala kecil terus terjadi. Tanggung Jawab: Pemerintah Kabupaten: Memegang kewenangan izin tambang galian C. Lemahnya pengawasan menjadi penyebab utama maraknya tambang liar yang merusak lingkungan.

Pengusaha & Penambang Galian C: Aktor langsung perusak lingkungan sungai. Mereka wajib mereklamasi lahan bekas tambang, namun hampir tidak pernah dilakukan. Kerapatan Adat Nagari (KAN): Sebagai pemegang otoritas adat atas tanah ulayat, memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk mengatur pemanfaatan lahan berbasis kearifan lokal yang berkelanjutan, yang kadang tergerus kepentingan ekonomi.

Titik Temu dan Tanggung Jawab Bersama

Ketiga provinsi menunjukkan pola serupa: 1. Kegagalan Penegakan RT/RW: Izin-izin diberikan bertentangan dengan daya dukung lingkungan. 2. Model Ekonomi Ekstraktif: Ketergantungan pada komoditas (sawit, karet, kopi,dan  tambang) yang mendorong ekspansi ke area sensitif. 3. Sistem Peringatan Dini yang Lemah: Masyarakat di hilir sering tidak punya cukup waktu untuk menyelamatkan diri.

Distribusi Tanggung Jawab Utama:  Primer (Regulator dan Penegak Hukum): Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten) melalui Dinas Lingkungan Hidup, Dinas PUPR, dan Dinas Pertanian/Perkebunan. Mereka paling bertanggung jawab karena memiliki kewenangan regulasi, perizinan, dan pengawasan.

Sekunder (Pelaku Langsung Perusak): Sektor Swasta/Perusahaan (perkebunan, pertambangan) dan Pelaku Usaha Kecil/Individu yang melakukan perambahan dan penambangan liar. Tertier (Korban dan  Pihak Terdampak): Masyarakat Lokal yang tinggal di hulu dan hilir, memiliki tanggung jawab partisipatif dalam menjaga lingkungan dan mematuhi peraturan, namun juga sering menjadi korban kebijakan yang salah.

Struktural (Faktor Penguat): Warisan Kebijakan Pusat Masa Lalu (Orde Baru) yang mempromosikan ekspansi perkebunan besar dan Perubahan Iklim Global yang meningkatkan intensitas hujan. Banjir bandang di Aceh, Sumut, dan Sumbar adalah hasil dari salah urus (mismanagement), tata ruang dan sumber daya alam, bukan semata-mata musibah  alam. Tanggungjawab terbesar ada di pundak pemerintah daerah yang gagal melindungi kawasan lindung dan mengendalikan aktivitas merusak.

Rekomendasi: 1.  Moratorium dan Audit Lingkungan:  Pemerintah pusat dan daerah harus melakukan moratorium izin baru di kawasan hulu DAS kritis dan mengaudit izin yang sudah ada. Izin yang melanggar harus dicabut. 2. Penegakan Hukum yang Nyata: Menindak tegas perusahaan dan individu perusak lingkungan, bukan hanya dengan denda administratif, tetapi juga pemidanaan dan kewajiban restorasi. 3. Pendekatan Kolaboratif Berbasis DA:  Dengan Membentuk otoritas pengelolaan DAS lintas kabupaten/provinsi yang melibatkan pemerintah, swasta, akademisi, LSM, dan lembaga adat (seperti KAN di Sumbar). 4.  Transisi ke Ekonomi Restoratif: Mengembangkan insentif bagi masyarakat hulu untuk beralih ke agroforestri dan jasa lingkungan (misal, skema pembayaran jasa lingkungan/PES). 5. Memperkuat Sistem Peringatan Dini Berbasis Komunitas dengan teknologi sederhana dan pelatihan rutin. Dengan kata lain, kesalahan terletak pada sistem tata kelola yang permisif terhadap perusakan lingkungan. Tanggung jawab untuk memperbaikinya harus diambil secara kolektif, dengan pemerintah daerah sebagai aktor pemimpin yang harus lebih berani mengambil keputusan politik untuk keberlanjutan ekologis jangka panjang.

*Profesor Sejarah dan Peradaban. Dosen Tetap Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *