Abu Nuwas dan Buku Nikah Palsu

Oleh: Helmi Hidayat, M.Si

Khalifah Harun Al-Rasyid pernah dibuat pusing gara-gara isu ijazah palsu Ja’far Al-Widadi, Gubernur Provinsi Al-Widadah. Isu itu bukan hanya merebak di provinsi yang kering itu, tetapi juga berkembang ke tingkat nasional. Beberapa rival politik Ja’far terus mengangkat isu itu ke seantero negeri hingga sampai ke telinga Harun Al-Rasyid di Baghdad.

Khalifah sebenarnya bisa saja berlepas diri dari isu ini. Toh, masyarakat tahu Harun tak pernah cawe-cawe dalam perkara jabatan. Khalifah tak mau digulung fitnah lalu menyerahkan semua proses seleksi jabatan dari pusat sampai daerah kepada keluarga Barmaki, keturunan Persia yang jadi penasihat politiknya dan dikenal jago mengolah birokrasi.

Tetapi, karena isu ini terus menggelinding dan menyita energi nasional, khalifah gerah juga. Sejumlah elit politik mulai mempertanyakan akurasi dan akuntabilitas tim seleksi pejabat piminan yang dikuasai keluarga Barmaki. Mereka mulai mengungkit-ungkit aroma korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) panitia seleksi itu.

Keluarga Barmaki menolak semua tuduhan. Mereka berdalih seorang keturunan Arab Badui yang semacam Ja’far Al-Widadi dipilih justru untuk menegaskan tidak ada KKN dalam proses seleksi pejabat. Buktinya, wong ndeso dari Al-Widadah bisa jadi gubernur. Ja’far memang putera daerah kelahiran Al-Widadah – makanya bernama Ja’far Al-Widadi – dan mengaku lulusan perguruan tinggi lokal, punya ijazah asli, plus nyali besar buat jadi gubernur.

Para pendukung Ja’far Al-Widadi dengan fanatik membela mati-matian idola mereka. Meski bukan keturunan Arab ganteng, Ja’far gemar melempar-lempar roti bungkus dari punggung Unta kepada rakyatnya. Setiap keluar rumah, dia tidak pernah lupa membawa senyum di kantong.

Ada tiga argumentasi yang selalu diungkapkan para pendukung Ja’far bahwa ijazah idola mereka asli. Pertama, menurut hukum Baghdad, pihak penuduh harus membuktikan sendiri tuduhan mereka; karena itu Ja’far tidak perlu membuktikan tuduhan itu. Kedua, ijazah dan semua dokumen pribadi adalah ranah private yang tidak seorang pun berhak menuntut pemiliknya memperlihatkan dokumen private itu jika si pemilik menolak. Ketiga, bagaimana mungkin orang-orang bisa menuduh ijazah Ja’far palsu padahal mereka belum pernah melihat wujud asli ijazah itu?

Sebaliknya, para penuduh berdalih bahwa koar-koar mereka di ruang publik justru diniatkan sebagai cara mereka membuktikan tuduhan ijazah palsu. Benar bahwa ijazah dan semua dokumen pribadi adalah ranah private yang tidak semua orang berhak menuntut untuk diperlihatkan tetapi, kata mereka, Ja’far adalah pejabat publik alias kacung publik, yang digaji oleh masyarakat untuk melayani masyarakat. Ketika mencalonkan diri sebagai kandidat gubernur, dia sudah diminta memperlihatkan dokumen pribadinya sebagai konsekuensi bakal digaji rakyat.

Jadi, kalau rakyat yang pernah menggajinya dan sampai sekarang pun terus menggajinya lewat uang pensiun kini meminta Ja’far memperlihatkan ijazah aslinya, di mana salah tuan-tuan yang menggaji kacung mereka itu?

Nah, soal argumentasi bagaimana mungkin orang-orang bisa menuduh ijazah Ja’far palsu padahal mereka belum pernah melihat wujud asli ijazah itu, para penuduh terkekeh-kekeh. Mereka mengaku melihat duplikat ijazah itu dari keluarga Bermaki. ‘’Di duplikat dokumen itu tertempel foto Alikadut Al-Widadi, tetangga Ja’far di Al-Widadah, yang mirip dengan Ja’far tetapi kumis Ja’far lebih baplang,’’ kata Ghalil Adab, politisi gaek dari Baghdad, sambil menegaskan Ja’far tidak pernah menulis ‘’risalah ilmiah’’ sebagai  syarat menjadi sarjana.

Sebagai Khalifah, Harun Al-Rasyid heran tujuh lapis langit mengapa Ja’far membiarkan isu yang melilitnya tentang ijazah palsu berkembang sampai keluar negeri. Dia sungguh heran, sulit sekali Ja’far menunjukkan ijazahnya. Padahal, pikir Harun, kalau Ja’far mengeluarkan ijazah dari lemarinya lalu melemparkan ijazah itu ke muka para penuduhnya, ‘’Nih, ijazah saya! Mau apa sekarang kalian!’’ pasti semua beres dan tidak ada kegaduhan nasional seperti sekarang.

Apalagi, pikir Khalifah, untuk mendapatkan ijazah di perguruan tinggi sulit sekali.  Sekali selembar ijazah diperoleh, kebanggaannya dunia akhirat. Tetapi mengapa sampai ada orang semacam Ja’far yang sulit sekali mempertontonkan barang yang seharusnya jadi kebanggaannya sendiri?

Tetapi Harun tidak mau menggunakan kekuasaannya untuk menekan Ja’far. Masa mempertontonkan kebanggaan harus dipaksa? Khalifah lalu memanggil pujangganya yang terkenal punya 1.000 akal, Abu Nuwas. Khalifah memberi waktu sepekan buat Abu Nuwas membuktikan ijazah Ja’far asli atau palsu. Jika dia mampu melakukannya, khalifah menjanjikan hadiah 10.000dinar emas plus 100 ekor Unta betina bunting. ‘’Kalau kau tidak heran melihat Ja’far sulit sekali menunjukkan ijazahnya kepada masyarakat,  berhenti saja Kau jadi pujangga cerdas,’’ ujar Harun kepada Abu Nuwas.

Bukan Abu Nuwas jika tidak mampu melakukan titah khalifah. Apa yang kemudian dilakukannya bahkan tidak pernah terpikirkan oleh Harun. Di hari itu juga, Abu Nuwas menyebar kabar ke tengah Baghdad bahwa buku nikah Ja’far Al-Widadi palsu. Baghdad geger, Khalifah Harun Al-Rasyid senewen. ‘’Kau tahu Abu Nuwas, jika Kau katakan buku nikah Ja’far palsu, berarti dia selama ini berzina dengan istrinya. Status anak-anak mereka haram. Jangan gila Kau, Abu Nuwas,’’ tegas Harun.

Tapi Abu Nuwas hanya terkekeh-kekeh. Dia malah mendatangi anak-anak Ja’far yang selama ini dengan kokoh melindungi ayah mereka dari tuduhan ijazah palsu. Betapa kaget mereka mendengar kabar Abu Nuwas. ‘’Umi, jika benar  buku nikah Abi dan Ummi palsu, berarti kami anak-anak haram hasil perzinaan,’’ kata mereka saat melaporkan kabar Abu Nuwas itu kepada ibu mereka.

Maka jadilah, di hari ketiga dari batas waktu yang diberikan khalifah kepada Abu Nuwas, Ja’far Al-Widadi mendatangi pujangga Baghdad itu dengan nafas tersengal-sengal menahan marah. Rupanya dia mendapat tekanan hebat dari istri dan anak-anaknya sendiri. Dia mendatangi Abu Nuwas sambil membawa pedang tajam.

“Kalau Kau bunuh aku sekarang, Engkau tidak bisa membuktikan tuduhanku benar atau salah sebab aku sudah mati. Kau pun masuk penjara akibat pembunuhan. Isu bahwa istri dan semua anakmu haram akan terus menyebar seumur hidup sampai kalian mati,’’ ujar Abu Nuwas santai.

Ja’far tertegun mendengar ancaman Abu Nuwas. Mereka kemudian sepakat membutikan tuduhan dan pembelaan masing-masing di Istana Baghdad, langsung di depan Khalifah Harun. Esok hari, Ja’far bersama istri dan anak-anaknya mendatangi Istana. Dia tersenyum girang bakal memenangkan tuduhan plus dapat 1.000 dinar emas dari khalifah. Sesuai hukum Baghdad, siapa yang memenangkan tuduhan akan mendapat 1.000 dinar emas dari orang yang menuduh.

Di Istana sudah berkumpul ribuan masyarakat yang hendak menonton pertarungan Ja’far Al-Widadi versus Abu Nuwas. Para jenderal, hakim, ulama, politisi juga berdatangan. Khalifah Harun tegang. Diam-diam dia tidak ingin Abu Nuwas dikalahkan sebab dia yakin buku nikah Ja’far asli – baru Abu Nuwas yang bilang dokumen itu palsu.

Maka, baru semenit majelis qadhi membuka persidangan, Abu Ja’far langsung memotong. ‘’Persidangan tidak usah lama-lama, silakan semua lihat, nih buku nikah saya asli,’’ tegasnya setengah membanting buku nikahnya ke meja hakim. ‘’Jika dokumen ini palsu, wizaarah li’syuunil muslimin yang mengeluarkan dokumen ini dibubarkan saja. Saya dapat dokumen ini dari mereka, istri saya sah, anak-anak saya bukan anak haram.” “Abu Nuwas, bagaimana ini?’’ tanya khalifah tegang!

“Baik, yang mulia, saya siap membayar 1.000 dinar emas kepada Ja’far,’’ ujar Abu Nuwas sambil tersenyum. Khalifah tambah bingung, berarti Abu Nuwas kalah. ‘’Tetapi Tuan Khalifah lihat sendiri kan, betapa cepat Abu Ja’far mengeluarkan buku nikahnya?’’

Kali ini Khalifah segera tersadar lalu tertawa terbahak-bahak. Pintar sekali pujangganya itu. Dia juga berhasil ‘’merampok’’9.000 dinar emas darinya sambil melaksanakan tugas kenegaraan dengan baik. “Abu Ja’far, saya dan semua yang hadir di sini baru sadar, cepat sekali Anda menunjukkan buku nikah kepada kami. Tetapi giliran ijazah, mengapa sulit sekali Anda mengeluarkannya hingga timbul perdebatan satu negeri, bahkan sampai keluar negeri?’’ tanya Khalifah sambil menatap tajam putera asli Provinsi Al-Widadah itu. Ja’far Al-Widadi cuma bisa kicep!

*Dosen Ilmu Komunikasi FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Filsuf,  dan Pengamat Sosial

  Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *