Jejak Langkah dan Pemikiran Politik Mohammad Natsir

Oleh: Kurniawan Zulkarnain*

Di tengah kian menipisnya figur pemimpin yang bisa dijadikan panutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, nama Mohammad Natsir hadir bagaikan oase di tengah padang pasir. Dia bukan hanya tokoh politik, tetapi seorang negarawan yang menghidupkan nilai-nilai kejujuran, ketulusan, dan pengabdian yang langka ditemui pada masa kini. Sosoknya patut ditauladani bukan hanya oleh politisi, tetapi juga oleh para aktivis, intelektual, dan generasi muda yang mendambakan arah dan inspirasi moral dalam membangun bangsa.

Mohammad Natsir (gelar adat Minangkabau, Datuk Sinaro Panjang) dilahirkan di  Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat, pada 17 Juli 1908 dan beliau  wafat di Jakarta pada 6 Februari 1993, pada usia 84 tahun. Ayahnya, Mohammad Idris Sutan Saripado, pegawai pemerintahan, sedangkan kakeknya tokoh ulama setempat dengan latar budaya Minangkabau. Mayoritas penduduk Sumatera Barat adalah suku  Minangkabau, dengan bahasa Minang sebagai bahasa utamanya. Sumatera Barat memiliki alam yang indah dan kaya, serta budaya yang kuat dan khas, terutama dengan identitas Minangkabau yang berakar pada adat, agama, dan kekerabatan matrileal. Kombinasi keindahan alam dan kearifan lokal menjadikannya salah satu daerah paling menarik di Indonesia.  

Pendidikan Mohammad Natsir ditempuh di  Sekolah Rakyat —Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Maninjau di kampung halamannya sendiri. Setelah HIS, dia melanjutkan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang setara dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Padang. Kemudian,melanjutkan di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Algemeene Middelbare School (AMS) di Bandung. Mohammad Natsir sempat mengikuti kuliah di Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) – Bandung, namun tidak menyelesaikannya karena lebih memilih berkecimpung dalam dunia dakwah dan politik. Selain pendidikan formal, Natsir juga banyak belajar secara otodidak dan melalui pengajian-pengajian Islam. Di Bandung, Natsir berguru pada Ahmad Hassan dari Persatuan Islam (Persis), yang sangat berpengaruh dalam pembentukan pemikirannya. Pendidikan Natsir mencerminkan perpaduan antara ilmu Barat dan keislaman, yang menjadikannya seorang pemikir Muslim modernis.

Kiprah Mohammad Natsir dalam Pergerakan Sosial dan Politik

Mohammad Natsir aktif dalam kegiatan kepemudaan dan dakwah,Natsir mulai aktif menulis artikel-artikel keislaman dan membahas isu-isu sosial-politik umat. Dia menulis di media seperti Pembela Islam dan Al-Manar. Pada masa itu, Natsir mulai dikenal sebagai penulis dan pemikir muda berbakat. Pada 1938, Natsir mendirikan Yayasan Pendidikan Islam (YPI) di Bandung, yang kelak berkembang menjadi lembaga penting dalam pendidikan Islam. Dia juga membina generasi muda Islam melalui berbagai kursus dan pelatihan dakwah.  YPI menerbitkan berbagai buku pelajaran agama dan umum dengan pendekatan Islam moderen. Mohammad Natsir  dan para muridnya juga aktif menulis artikel dan buku-buku tentang akhlak, pendidikan, dan pemikiran Islam. YPI menjadi ruang intelektual bagi kaum muda Muslim di era kolonial akhir.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), Natsir resmi masuk ke ranah politik praktis. Dia bergabung dengan Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), yang didirikan pada bulan November 1945 sebagai partai Islam terbesar saat itu. Natsir menjadi anggota DPR dan kemudian Ketua Fraksi Masyumi di Parlemen. Tahun 1949, dia menjadi Ketua Umum Masyumi, menggantikan Soekiman Wirjosandjojo. Pada 3 April 1950, Natsir mengajukan Mosi Integral, yang memulihkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah sistem Federal dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Natsir diiangkat sebagai Perdana Menteri pertama Indonesia (Pasca RIS setelah NKRI) oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1950, memimpin Kabinet Natsir hingga 26 April 1951. Kabinet ini menghadapi sejumlah konflik internal seperti pemberontakan DI/TII, RMS, APRA, serta menegosiasikan isu Irian Barat dengan hasil buntu. Natsir mengundurkan diri karena ketidaksepakatan ideologis dengan Soekarno, termasuk terkait sikap Soekarno yang mendukung sekularisme ala Mustafa Ataturk dan kurang memperhatikan wilayah di luar Jawa. 

Di bawah pemerintahan Soekarno, Natsir menentang otoritarianisme dengan bergabung pada Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang menuntut otonomi daerah lebih besar. Dia kemudian ditahan (1962–1964) di Malang, dibebaskan awal masa Orde Baru (1966). Setelah pembebasan, dia aktif di berbagai organisasi keagamaan internasional seperti Majlis Ta’sisi Rabitah Alam Islami (Mekkah), Oxford Centre for Islamic Studies (Inggris), dan World Muslim Congress (Karachi). Dia mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan ikut menandatangani Petisi 50 (1980), yang menentang penyalahgunaan Pancasila oleh Soeharto. Akibatnya, dia dilarang ke luar negeri. Natsir menerima penghargaan internasional seperti Faisal Award (1980) dan gelar kehormatan dari Universitas Islam Lebanon (1967) serta universitas-universitas di Malaysia (1991). Dihormati sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak 2008. Menurut Bruce Lawrence (Shattering the Myth: Islam Beyond Violence-1998),  “Mohammad Natsir disebut sebagai salah satu contoh penting pemimpin muslim yang memperjuangkan Islam secara demokratis dan konstitusinal’’.

Pemikiran Politik Mohammad Natsir

Perdebatan antara Mohammad Natsir dan Ir. Sukarno tentang dasar negara Indonesia merupakan salah satu momen penting dalam sejarah pemikiran politik Indonesia, khususnya terkait hubungan antara Islam dan negara. Salah satu perdebatan terkenal mereka direkam dalam Majalah “Pandji Islam” pada tahun 1940-1941, khususnya menjelang dan setelah kemerdekaan. Dalam artikel-artikelnya, Sukarno menyuarakan pentingnya nasionalisme sebagai dasar persatuan, bukan agama. Dia menyatakan bahwa: Indonesia terdiri dari berbagai agama, suku, dan budaya. Menjadikan Islam sebagai dasar negara akan memecah-belah bangsa. Sukarno lebih condong pada  nasionalisme universal. Dalam tanggapannya yang dimuat di majalah yang sama, Natsir menyampaikan bahwa: Islam bukan hanya agama pribadi, tetapi mengandung sistem hidup yang lengkap, termasuk politik dan hukum. Islam tidak bertentangan dengan kebangsaan; justru memperkuat moralitas bangsa. Menolak tudingan bahwa negara berdasarkan Islam akan menindas non-Muslim, karena ajaran Islam menjamin keadilan dan kebebasan beragama.

Dalam buku Capita Selekta (Penerbit Bulan Bintang, 1954) merepresentasikan pandangan Islam politik yang moderat, intelektual, dan berbasis pada nilai-nilai keislaman yang integral dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mohammad Natsir menolak dikotomi antara agama dan negara. Baginya, Islam bukan sekadar agama spiritual, melainkan juga mencakup tatanan sosial, politik, dan hukum. Dia menyatakan bahwa: “Islam bukanlah hanya urusan masjid dan ibadah mahdhah, tetapi mencakup segala aspek kehidupan, termasuk politik dan kenegaraan.” Dia mengkritik gagasan sekularisme karena dianggap mencabut akar moral dan spiritual dari sistem negara. Natsir tidak memaksakan bentuk negara teokratis, melainkan negara yang berdasarkan nilai-nilai Islam secara substantif. Dia menekankan penerapan syariat melalui pendekatan demokratis dan edukatif, bukan pemaksaan. Natsir menerima sistem demokrasi selama tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Dia menganggap musyawarah sebagai bentuk demokrasi yang selaras dengan ajaran Islam.

Masih dalam Buku Capita Selekta, Capita Selekta, Natsir menekankan pentingnya ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Wathaniyah (Persaudaraan kebangsaan). Dia menolak paham yang memecah-belah bangsa, dan menyerukan untuk menyatukan umat di atas nilai-nilai Islam dan kebangsaan. Natsir mengkritik nasionalisme yang terlepas dari nilai agama, karena menurutnya: “Nasionalisme yang tidak diikat oleh nilai moral dan agama, akan melahirkan chauvinisme buta yang membahayakan.” Natsir menaruh perhatian besar pada pembinaan kesadaran politik umat Islam, agar mereka tidak terjebak dalam pragmatisme politik. Pendidikan politik yang berlandaskan nilai Islam menjadi bagian penting dari perjuangannya.

Pandangan Ahli dan Tokoh Dalam Negeri dan Luar Neger 

Pandangan para ahli sejarah dan politik terhadap Mohammad Natsir umumnya sangat positif, baik dari kalangan dalam maupun luar negeri. Dia dikenal sebagai negarawan, ulama, pemikir Islam modern, dan pejuang kemerdekaan yang konsisten, bersih, serta punya integritas tinggi. Dalam pandangan  Nurcholish Madjid (yang dikenal dengan panggilan Cak Nur, Cendekiawan Muslim, pendiri Universitas Paramadina), Natsir sebagai tokoh yang mampu mengintegrasikan

Islam dan semangat kebangsaan tanpa menciptakan dikotomi antara keduanya. Sementara, Azyumardi Azra (Cendekiawan Muslim, mantan Rektor UIN Jakarta) menyoroti kontribusi Natsir dalam mengarusutamakan Islam moderat dan rasional dalam wacana politik Indonesia, serta peran besarnya dalam gerakan intelektual Islam. Bagi  Buya Hamka (Ulama Terkemuka Indonesia), melihat Natsir sebagai sosok pemikir dan pejuang yang sangat berpegang pada prinsip Islam, namun tetap luwes dan toleran dalam bernegara.  Deliar Noer (Cendekiawan Muslim, Ilmuawan Politik) memandang Natsir sebagai pemikir Islam yang berusaha memadukan Islam dengan realitas politik Indonesia, tanpa menjadi ekstrem atau dogmatis. Menurutnya, Natsir memahami Islam bukan sekadar sebagai sistem teologis, tetapi juga sebagai sistem nilai yang relevan untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pandangan  Cendekiawan Luar Negeri terhadap sosok pemikiran Mohammad Natsir, antara lain Bruce B. Lawrence (Duke University, Amerika Serikat) menggambarkan Natsir sebagai tokoh politik Muslim paling menonjol di Indonesia yang konsisten menyuarakan reformasi Islam secara demokratis. Sementara  itu, menurut John L. Esposito (Georgetown University) “Mohammad Natsir berhasil membangun jembatan antara tradisi dan modernitas Islam.” Dan  Natsir merupakan  contoh keberhasilan Muslim intelektual dalam menyelaraskan nilai-nilai tradisional Islam dengan tuntutan modernitas dan negara-bangsa. Abul A‘la Maududi (Jamaat-e-Islami, Pakistan), pernah menyatakan bahwa Natsir adalah salah satu pemikir Islam moderen terbaik di dunia, terutama karena upayanya mengintegrasikan Islam dalam sistem politik nasional secara damai dan konstitusional. Herbert Feith (penulis buku The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, tahun 1962) menggategorikan Natsir bersama tokoh lain seperti Mohammad Hatta sebagai problem solver—seorang terpelajar, teknokrat, yang fokus pada solusi dan stabilitas,bukan semata-mata pada retorika nasionalistik.

Bangsa ini—yang tengah memperkuat identitas Kebangsaan– membutuhkan tokoh  yang tidak hanya cerdas, tetapi juga jujur dan visioner; yang tidak sekadar piawai beretorika, tetapi mampu menjaga amanah. Para politisi, aktivis, dan generasi muda seharusnya  dapat menggali kembali nilai-nilai perjuangan Natsir. Keteladanan bukan sekadar dikenang, tetapi diteladani—dijadikan rujukan dalam bertindak, berpikir, dan memimpin. Mohammad Natsir bukan hanya bagian dari sejarah, tetapi mercu suar nilai bagi masa depan. Dia adalah bukti bahwa politik bisa dijalani dengan akhlak, bahwa kekuasaan bukan segalanya, dan bahwa pengabdian pada bangsa bisa dilakukan dengan penuh keikhlasan. Di tengah krisis panutan yang melanda bangsa, jejak Natsir adalah petunjuk arah yang tidak lekang oleh zaman. Wallahu ‘Alam Bi Sowab.

*Konsultan Pemberdayaan Masyarakat, Dewan Pembina Yayasan Pembangunan Mahasiswa Islam Insan Cita (YAPMIC) Ciputat

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *