Oleh : Prof Dr. Murodi al-Batawi, M.Si*
Dakwah Islam dan Proses Islamisasi di Indonesia
Seperti diketahui, bahwa agama Islam masuk ke Indonesia terjadi secara periodik, tidak sekaligus. Pada bagian ini akan diuraikan mengenai penyebaran Islam dan media yang digunakan oleh para pedagang dan muballigh dalam penyebaran Islam di Indonesia. Paling tidak, terdapat beberapa cara yang digunakan dalam penyebaran Islam di Indonesia, seperti perdagangan, perkawinan, pendidikan, kesenian, dan Ta sawuf. (Nugroho Notosusanto, ddk, Balai Pustaka,1983).
Berikut uraian singkat mengenai hal tersebut
1. Perdagangan. Pada tahap awal, saluran yang digunakan dalam proses Islamisasi di Indonesia adalah perdagangan. Hal itu dapat diketahui melalui adanya kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 M hingga abad ke-16 M. Aktivitas perdagangan ini banyak melibatkan bangsa-bangsa di dunia, termasuk bangsa Arab, Persia, India, dan Cina. Mereka turut ambil bagian dalam perdagangan di negeri bagian Barat, Tenggara, dan Timur Benua Asia. Saluran Islamisasi melalui jalur perdagangan ini sangat menguntungkan, karena para raja dan bangsawan turut serta dalam ativitas perdagangan tersebut. Bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham perdagangan itu. Fakta sejarah ini dapat diketahui berdasarkan data dan informasi penting yang dicatat Tome’ Pires dalam Summa Oriental, bahwa para pedagang Muslim banyak yang bermukim di pesisir pulau Jawa yang ketika itu penduduknya masih kafir. Mereka berhasil mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan Mullah- Mullah dari luar, sehingga jumlah mereka semakin bertambah banyak.
Dalam perkembangan selanjutnya, anak keturunan mereka menjadi penduduk Muslim yang kaya raya. Pada beberapa tempat, para penguasa Jawa, yang menjabat sebagai bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir pulau Jawa banyak yang masuk Islam. Keislaman mereka bukan hanya disebabkan oleh faktor politik dalam negeri yang tengah goyah, tertapi terutama karena faktor hubungan ekonomi dengan para pedagang Muslim. Hubungan ekonomi perdagangan ini sangat menguntungkan secara material bagi mereka, yang pada akhirnya memperkuat posisi dan kedudukan serta status sosial mereka di masyarakat Jawa.
Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, mereka mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di tempat tinggal mereka. Hubungan perdagangan ini dimanfaatkan oleh para pedagang Muslim sebagai sarana atau media dakwah. Sebab, dalam Islam setiap Muslim memiliki kewajiban untuk menyebarkan ajaran Islam kepada siapa saja dengan tanpa paksaan. Oleh karena itu, ketika penduduk Nusantara banyak yang berinteraksi dengan para pedagang Muslim, dan keterlibatan mereka semakin jauh dalam aktivitas perdagangan, banyak di antara mereka yang memeluk Islam. Karena pada saat itu, jalur-jalur strategis perdagangan internasional hampir sebagian besar dikuasai oleh para pedagang Muslim. Oleh karena itu, bila para penguasa lokal di Indonesia ingin terlibat jauh dengan perdagangan internasional, maka mereka harus berperan aktif dalam perdagangan internasional dan harus sering berinteraksi dengan para pedagang Muslim.
Perkawinan
Dari aspek ekonomi, para pedagang Muslim memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik daripada kebanyakan penduduk pribumi. Hal ini menyebabkan banyak penduduk pribumi, terutama para wanita, yang tertarik untuk menjadi istri-istri para saudagar Muslim. Hanya saja ada ketentuan hukum Islam, bahwa para wanita yang akan dinikahi harus diislamkan terlebih dahulu. Para wanita dan keluarga mereka tidak merasa keberatan, karena proses pengislaman hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, tanpa upacara atau ritual rumit lain nya.
Setelah itu, mereka menjadi komunitas Muslim di lingkungannya sendiri. Keislaman mereka menempatkan diri dan keluarganya berada dalam status sosial dan ekonomi cukup tinggi. Sebab, mereka bukan lagi orang Jawa atau Indonesia yang kafir, tetapi Muslim yang kaya dan berstatus sosial tinggi. Kemudian setelah mereka memiliki keturunan, lingkungan mereka semakin luas. Akhirnya timbul kampung-kampung dan pusat-pusat kekuasaan Islam.
Dalam perkembangan berikutnya, ada pula para wanita Muslim yang dikawini oleh keturunan bangsawan lokal. Hanya saja, anak-anak para bangsawan tersebut harus diislamkan terlebih dahulu. Dengan demikian, mereka menjadi keluarga Muslim dengan status sosial ekonomi dan posisi politik penting di masyarakat.
Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan lagi apabila terjadi antara saudagar Muslim dengan anak bangsawan atau anak raja atau anak adipati. Karena raja, adipati atau bangsawan itu memiliki posisi penting di dalam masyarakatnya, sehingga mempercepat proses Islamisasi. Di antara salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah perkawinan antara Raden Rahmat atau Sunan Ngampel dengan Nyai Manila, antara Sunan Gunung Jati dengan putri Kawunganten, Brawijaya dengan putri Campa, orang tua Raden Patah, raja ke rajaan Islam Demak, dan lain-lain.
Pendidikan
Proses Islamisasi di Indonesia juga dilakukan melalui media pendidikan. Para ulama banyak yang mendirikan lembaga pendidikan Islam, berupa pesantren. Pada lembaga inilah para ulama memberikan pengajaran keilmuwan Islam (tafaqquh fiddien) melalui berbagai pendekatan, sampai kemudian para santri yang mempelajari keilmuan Islam, mampu menyerap pengetahuan keagamaan dengan baik. Setelah mereka dianggap mampu, mereka kembali ke kampung halaman untuk mengembangkan agama Islam dan membuka lembaga yang sama.
Dengan demi kian, semakin hari lembaga pendidikan pesantren mengalami perkembangan, baik dari segi jumlah maupun mutunya. Lembaga pendidikan Islam ini tidak membedakan status sosial dan kelas, siapa saja yang berkeinginan mempelajari atau memperdalam pengetahuan keagamaan Islam, diperbolehkan memasuki lembaga pendidikan ini. Dengan demikian, pesantren-pesantren dan para ulamanya telah memainkan peran yang cukup penting di dalam proses pencerdasan kehidupan masyarakat, sehingga banyak masyarakat yang kemudian tertarik memeluk Islam.
Di antara lembaga pendidikan pesantren yanng tumbuh pada masa awal Islam di Jawa adalah pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta. Pesantren Giri yang didirikan oleh Sunan Giri, popularitasnya melampui batas pulau Jawa hingga ke Maluku. Masyarakat yang mendiami pulau Maluku, teruta ma Hitu, banyak yang berdatangan ke pesantren Sunan Giri untuk belajar ilmu agama Islam. Bahkan Sunan Giri dan para ulama lainnya pernah diundang ke Maluku untuk memberikan pelajaran agama Islam. Banyak di antara mereka yang menjadi khatib, muadzin, hakim (qadli) dalam masyarakat Maluku dengan memperoleh imbalan cengkeh. Dengan cara-cara seperti itu, maka agama Islam terus tersebar ke seluruh penjuru Nusantara, hingga akhirnya banyak penduduk Indonesia yang menjadi Muslim. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa model pendidikan pesantren yang tidak mengenal kelas menjadi media penting di dalam proses penyebaran Islam (Dakwah Islam) di Indonesia, bahkan kemudian diadopsi untuk pengembangan pendidikan keagamaan pada lembaga-lembaga pendidikan sejenis di Indonesia.
Tasawuf
Media lain yang juga tidak kalah pentingnya dalam proses Islamisasi di Indonesia adalah Tasawuf. Salah satu sifat khas dari ajaran ini adalah akomodasi terhadap budaya lokal, sehingga menyebabkan banyak masyarakat Indonesia yang tertarik menerima ajaran tersebut. Pada umumnya, para pengajar tasawuf atau para sufi adalah guru-guru pengembara, dengan sukarela mereka menghayati kemiskinan, mereka juga sering kali berhubungan dengan perdagangan, mereka mengajarkan Teosofi yang telah bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam hal magic, dan memiliki kekuatan menyembuhkan. Di antara mereka ada juga yang menikahi gadis-gadis para bangsawan setempat. Dengan tasawuf, bentuk Islam yang diajarkan kepada para penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya memeluk agama Hindu-Budha dan Kepercayaan Kanayan, sehingga ajaran Islam dengan mudah diterima mereka. Di antara para sufi yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syekh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini terus dianut bahkan hingga kini.
Kesenian
Saluran Islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah melalui pertunjukkan wayang. Seperti diketahui bahwa Sunan Kalijogo adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah materi dalam setiap pertunjukkan yang dilakukannya. Sunan Kalijogo hanya meminta kepada para penonton untuk mengikutinya mengucapkan dua kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih diambil dari cerita Ramayana dan Mahabharata, tetapi muatannya berisi ajaran Islam dan nama-nama pahlawan Muslim.
Selain wayang, media dakwah yang digunakan dalam penyebaran Islam di Indonesia adalah seni bangunan, seni pahat atau seni ukir, seni tari, seni musik, dan seni sastra. Di antara bukti yang dihasilkan dari pengembangan Islam awal adalah seni bangunan masjid Agung Demak, Sendangduwur, Agung Kasepuhan, Cirebon, masjid Agung Banten, dan lain sebagainya. Seni bangunan masjid yang ada, merupakan bentuk akulturasi dari kebudayaan lokal Indonesia yang sudah ada sebelum Islam, seperti bangunan Candi. Salah satu dari sekian banyak contoh yang dapat kita saksikan hingga kini adalah masjid Kudus dengan menaranya yang sangat terkenal itu. Hal ini menunjukkan sekali lagi bahwa proses penyebaran Islam (Dakwah Islam) di Indonesia yang dilakukan oleh para penyebar Islam (Da’i), melalui cara-cara damai dengan mengakomodasi kebudayaan setempat. Cara ini sangat efektif untuk menarik perhatian masyarakat pribumi dalam memahami gerakan Islamisasi yang dilakukan oleh para muballigh, sehingga lambat laun mereka memeluk Islam.
Penutup
Dari paparan narasi pada bagian sebelumnya dapat dsimpulkan bahwa Dakwah Islam di Indonesia telah berkembang sepanjang sejarah, dari masa awal penyebaran Islam hingga masa sesudahnya, terutama pada masa Wali Songo dan Kerajaan Islam, mereka, Para Da’i telah memainkan perannysa sebagai da’i dalam menyebarkan ajaran Islam sehingga penduduk pribumi banyak menjadi muslim, sehingga agama Islam dan Muslim Indonesia menjadi penduduk mayoritas. Dengan demikian, dakwah Islam akan terus menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, membentuk generasi yang lebih baik dan meningkatkan kesadaran umat Islam. (Habis)
*Profesor Sejarah dan Peradaban dan Dosen Tetap Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Edito: Jufri Alkatiri