Polusi Udara — Racun dalam Tiap Tarikan Napas

Polusi Udara -- Racun dalam Tiap Tarikan Napas (Foto: alodokter.com)

Oleh: Alkarisya Maitri

Perhatian terhadap isu polusi udara di Jakarta dan sekitarnya selalu mengalami pasang surut. Umumnya polusi udara akan ramai dibicarakan ketika musim kemarau — namun, ketika musim penghujan tiba, isu ini justru tenggelam. Padahal, ketika publik tidak ramai membahas, bukan berarti isu polusi udara di Jakarta berakhir.

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), meskipun langit di Jakarta cerah, bukan berarti bahwa langit Jakarta masuk kategori sehat. Bahkan, meskipun hujan deras melanda Jakarta, nilai Particulate Matter (PM) yang merupakan acuan tingkat polusi udara berada pada angka 2.5 atau lebih, yang artinya udara masuk kategori tidak sehat. Hal ini disebabkan udara yang turun akibat hujan membawa kandungan polutan.

BMKG menyebutkan ada sejumlah faktor yang menyebabkan langit Jakarta cerah — salah satunya faktor hujan yang dinilai mampu membersihkan udara kotor dan meningkatkan kualitas udara bersih. Sejumlah penelitian juga menyebutkan bahwa kondisi atmosfer ketika hujan turun dapat menarik hingga ratusan partikel PM 2,5 ke permukaan tanah. Partikel tersebut masih mudah dihirup dan disaring tubuh dan berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Faktor lain yang membuat langit tampak cerah adalah intensitas angin yang kencang, tingkat kelembaban udara yang kering, dan kandungan partikel pada  atmosfer. Dengan demikian jelas bahwa meskipun langit tampak biru, polusi udara di Jakarta tetap tinggi.

Sumber Polusi Udara Jakarta

Ada beberapa penyebab utama polusi udara di Jakarta. Menurut Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jakarta, sumber emisi kendaraan bermotor, baik dari kendaraan pribadi dan logistik. Selain itu, penyebab polusi udara yang tidak kalah berbahaya berasal dari aktivitas pabrik di sekitar Jakarta serta Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Sudah ada upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi penyebab udara ini. Contohnya, DLH Jakarta telah melakukan upaya uji emisi bagi kendaraan pribadi. Sayangnya, langkah ini masih terbatas pada momen tertentu dan berlaku bagi mobil dinas pemerintah di kawasan Jakarta. Selain itu, belum terlihat sikap tegas pemerintah untuk melakukan pengecekan uji emisi terhadap kategori kendaraan berat seperti truk berbahan bakar solar yang umumnya dipakai oleh perusahaan sebagai pengangkut logistik pabrik.

Sementara itu terkait PLTU, sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah sudah memiliki inisiatif untuk menurunkan emisi dari PLTU — terutama dengan memensiunkan beberapa PLTU yang memiliki kapasitas secara keseluruhan 9 Gigawatt. Akan tetapi, pemerintah Indonesia menunjukan kebijakan yang bertolak belakang seperti membangun PLTU baru dengan kapasitas total sebesar 13 Gigawatt. Langkah terakhir jika memang penghentian PLTU sulit dilakukan, pemerintah daerah seharusnya dapat mendorong PLTU untuk menggunakan scrubber sebagai alat untuk memisahkan partikel padat yang berasal dari udara dan gas. Hal ini diyakini mampu menekan tingkat polusi udara. Komitmen untuk memantau uji emisi PLTU tidak hanya bergantung pada DLH Jakarta saja, tetapi juga berasal dari pemerintah daerah di sekitar Jakarta yang memiliki PLTU di dalam wilayahnya.

Belajar dari Tiongkok dalam Mengatasi Polusi Udara

Upaya pemerintah Tiongkok untuk mengentaskan permasalahan polusi udara dapat menjadi contoh bagi Indonesia. Christine Wong dan Valerie Karplus (2017) membuat sebuah kajian mengenai perang melawan polusi udaradi Tiongkok dengan mengambil studi kasus di Provinsi Hebei. Keberhasilan mengentaskan pencemaran udara di Provinsi Hebei mencerminkan adanya arah kebijakan yang jelas, pengaturan fiskal yang baik, serta mekanisme penegakkan hukum yang tegas untuk perlindungan lingkungan.

Pemerintah Provinsi Hebei mendapat tanggung jawab dari pemerintah pusat untuk mengimplementasikan target sesuai timeline yang disetujui oleh pemerintah pusat. Pemerintah Hebei memiliki otoritas penuh untuk menyusun dokumen yang berisi target implementasi yang berisi 50 poin rencana aksi, yang kemudian dirinci menjadi 50 bidang pekerjaan dalam menyukseskan pencegahan dan pengendalian udara di tingkat provinsi. Pemerintah Hebei juga membuat rencana yang tegas terkait pengurangan penggunaan batu bara yang kemudian disetujui antara pemerintah provinsi dengan kota. Dukungan lainnya dari pemerintah pusat adalah pemberian alokasi dana kepada tingkat provinsi agar target segera tercapai. Selain itu, kesuksesan Pemerintah Hebei juga tidak lepas dari partisipasi publik yang telah sadar untuk melindungi lingkungan dan merupakan tanggung jawab semua warga negara.

Sementara di Indonesia, upaya untuk menurunkan polusi udara baru dilakukan sejumlah  Non-Governmental Organization atau NGO — antara lain Bicara Udara dan Koalisi Ibukota. Bicara Udara bergerak untuk mengedukasi masyarakat agar sadar bahwa polusi udara adalah hal yang nyata dan berbahaya. Mereka juga menjalin kerjasama dengan sejumlah lembaga pemerintah terutama memperjuangkan keadilan bagi masyarakat untuk mendapatkan hak udara bersih yang telah terampas. Bicara udara juga mendesak pemerintah untuk segera menangani dampaknya, khususnya berkaitan dengan kesehatan. Kajian yang dilakukan Bloomberg Philanthropies, KLHK, DLH Jakarta, dan Vital Strategies pada tahun 2020 menyatakan bahwa mayoritas kasus polusi udara didominasi oleh penyakit infeksi pernapasan akut atau ISPA. Gangguan ISPA sendiri dapat mencakup penyakit jantung koroner, gangguan paru-paru, dan asma.

Ada juga Koalisi Ibukota yang gerakannya merupakan gabungan dari beberapa komunitas seperti Yayasan Cerah, Walhi, dan Greenpeace. Kontribusi dalam isu polusi udara juga hadir dari private sector, yaitu, Nafas Indonesia. Perusahaan swasta ini berperan dalam memberikan data alternatif terkait kualitas udara yang bekerjasama dengan peneliti dari dalam dan luar negeri untuk mengumpulkan data kualitas udara.

Meskipun banyak pihak sudah terlibat dalam upaya menurunkan polusi, belajar dari Pemerintah Tiongkok, pemerintah pusat memegang peranan kunci. Sikap tegas pemerintah Indonesia dapat dituangkan ke dalam kebijakan yang secara jelas mendorong upaya dekarbonisasi, pembatasan penggunaan batu bara, serta memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk membuat kebijakan lokal yang mendukung terwujudnya udara bersih. Kebijakan untuk mengatasi masalah polusi harus berangkat dari kesadaran pemerintah bahwa udara bersih adalah hak setiap warga negara. (*)

*Mahasiswi Program Magister Ilmu-Ilmu Sosial di Salah Satu Perguruan Tinggi di Yoyakarta

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *