Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
Hijrah antara Misi Keagamaan dan Kenegaraan
Antara Misi Keagamaan dan Kenegaraan, Hijrahnya Nabi Muhammad Saw beserta pengikutnya (sahabat) dari Makkah ke Madinah, menandakan bahwa kekuatan Islam semakin besar dan semakin solid — namun, dari sisi eksternal, Islam pada waktu itu mendapatkan berbagai macam ancaman yang hadir dari kaum kafir Quraisy.
Dakwah Nabi Muhammad di Madinah dilakukan dengan beragam cara dengan menerapkan prinsip-prinsip; hikmah (kebijaksanaan), mau’idhah hasanah (nasihat yang baik), dan mujadalah (berdiskusi) dengan cara yang terbaik. Selain itu, prinsip-prinsip lain seperti Tauhid (mengesakan Allah), keadilan, amar ma’ruf nahi munkar (menyeru yang baik dan mencegah yang munkar), kemerdekaan, persamaan, tolong menolong, dan toleransi juga menjadi landasan dalam berdakwah atau dengan kata lain “meletakkan pondasi kenegaraan”.
Dakwah yang dilakukan Rasulullah menggunakan beberapa metode, yakni metode lisan secara terbuka dan terangterangan dan juga metode dakwah melalui tulisan dengan mengirimkan seruan bertauhid kepada negara-negara diluar Arab. Selain dakwah yang bersifat eksternal, rasulullah juga melakukan dakwah yang bersifat internal.
Dakwah secara internal dilakukan pada saat itu karena kondisi umat Islam pada periode Madinah sudah semakin kuat dan oleh karenanya dakwah secara lisan yang yang telah dilakukan oleh Rasulullah seperti: 1. Dakwah dengan mempersaudarakan antara Anshor dan Muhajirin, 2. Dakwah sosial dengan menerapkan prinsip persaudaraan, persamaan, toleransi, tolong menolong serta keadilan, 3. Dakwah dengan perundingan melalui kesepakatan Piagam Madinah, 4. Dakwah perundingan melalui perjanjian hudaibiyah, 5. Dakwah bil-qital melalui peperangan, seperti perang badar, uhud, dan khandak, 6. Dakwah bil-kitabah melalui pengiriman surat dan da’i keluar negeri.
Dari beberapa dakwah yang dilakukan Rasulullah — Rasulullah kerap kali menggunakan dakwah bil-kitabah sebagai alternatif dalam berdakwah dalam kondisi tertentu. Seperti perundingan-perundingan, serta pengiriman surat ke negeri-negeri di luar Arab yang setidaknya ada 8 kali pengiriman surat kepada para penguasa diluar Madinah. Rasulullah tercatat mengirim surat kepada; Najasyi Raja Habasyah, Muqauqis Raja Mesir, Kisra Raja Persia, Qaishar raja Romawi, AlMundzir bin Sawa, Haudzan bin Ali Al Hanafi pemimpin Yamamah, kepada Al Harits bin Abu Syamr Al Ghassani pemimpin Damaskus, dan Kepada Raja Uman.
Sepanjang beliau berdakwah — baik di Makkah maupun di Madinah terutama dengan kaum kafir Quraisy, perundingan semata-mata dilakukan untuk menjaga harkat dan martabat manusia sekaligus menguatkan hubungan sosial antar masyarakat pada saat itu. Prosesi dakwah yang dilakukan Rasulullah dilandaskan berdasarkan nilai-nilai ke-Islaman dengan harapan terciptanya masyarakat yang harmonis. Dalam pengembangan dakwah Islam, Rasulullah menerapkan beberapa prinsip perundingan, seperti dalam perundingan sebagai upaya untuk melerai konflik dilakukan dengan prinsip tabayyun, setelah melalui proses tabayyun, prinsip selanjutnya yakni dengan prinsip musyawarah, yakni dengan melibatkan berbagai pihak yang saling bertentangan, dan perundingan diakhiri dengan Ishlah (perdamaian) dengan menjunjung tinggi kesepakatan yang telah ditetapkan bersama (Rustandi & Sahidin, 2019).
Upaya-upaya yang telah dilakukan Rasulullah ini, seperti halnya mendatangi Kaum Yahudi dan Nasrani dengan dialog secara terbuka, maka rasulullah membentuk kesepakatan Piagam Madinah. Piagam Madinah merupakan bentuk kesepakatan bersama yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat (Muhajirin, Anshar, Yahudi, dan Nasrani) yang didasarkan pada prinsip kemerdekaan. Rasulullah mengakomodir masyarakat Madinah dengan konsep ummah, dimana ikatan kesukuan kuno yang telah terbangun dicabut dan membentuk suatu satu kesatuan umat. Tidak ada ikatan darah, tidak ada lagi kesetiaan suku, semuanya harus menjaga kerukunan ummat. Piagam Madinah yang merupakan konstitusi yang menjadi pandangan hidup moderen seperti kebebasan beragama, keberagaman, mulitikulturalism, humanism, dan hak setiap kelompok untuk mengatur kehidupan sesuai dengan keyakinan masing-masing (Awaludin & Hasim, 2019).
Dalam Piagam Madinah juga disebutkan bahwa ada kewajiban umum, yakni partisipasi dalam usaha terkait pertahanan bersama dalam menghadapi musuh dari luar serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, beberapa aspek penting lain dalam Piagam ini, yakni aspek politik, keagamaan, dan ekonomi.
Berikut ini adalah penjabaran dari masing-masing aspek tersebut: 1. Aspek Politik; Hal pertama yang dilakukan Rasulullah setelah hijrah ke Madinah adalah membangun komitmen kerjasama dengan kaum Yahudi dan Pagan (Penyembah Berhala). Komitmen tersebut tertuang dalam Piagam Madinah yang disusun pada tahun pertama hijriyah yang memuat 47 Pasal.
Upaya yang dilakukan Rasulullah dalam mentransformasi masyarakat Madinah yakni Pemetaan atas hak dan kewajiban dalam hal pertahanan dan keamanan yang bertujuan untuk menjalin hubungan antar umat beragama (Pasal 24, 37, 38, 44), hal ini bisa disebut sebagai Ummah. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Madinah mengalami perubahan, Piagam Madinah memetakan masyarakat dalam kesatuan yang dalam hal ini mengubah konfederasi kesukuan menjadi masyarakat baru yang dikendalikan oleh ajaran moral dengan instrumen yang jelas. Kaum Yahudi yang memfokuskan dengan hukum, Nasrani yang fokus pada dakwah persaudaraan spiritual, dan ajaran Islam yang dibangun diatas hukum dan moral secara beriringan (Awaludin & Hasim, 2019).
2. Aspek Keagamaan; Melalui Piagam Madinah, Rasulullah dapat menjalin hubungan yang rukun antar umat beragama (Yahudi dan Nasrani). Pengakuan terhadap agama lain, disebutkan Rasulullah lebih dari sepuluh Pasal. Kaum Yahudi juga diberi kebebasan untuk menjalankan agama mereka dan pada akhirnya mereka mengakui kepemimpinan Rasulullah. Hal itu terbukti dengan kesediaan mereka untuk meminta rasulullah untuk memutus suatu perkara.
3. Aspek Ekonomi; Pada saat Rasulullah belum hijrah, sektor ekonomi yang ada di Madinah dikuasai oleh kaum Yahudi. Maka setelah Rasulullah hijrah, beliau membangunkan kesadaran mengenai kepemilikan ekonomi harus dibangun secara bersama agar muncul ikatan persaudaraan dan keadilan sosial. Rasulullah berhasil memperbaiki atas jaminan kehidupan ekonomi masyarakat Madinah yang dimulai dengan memperbaiki hubungan antar tetangga meski berbeda akidah (Awaludin & Hasim, 2019).
Bernard Lewis menyebut hijrah dengan revolution (perubahan radikal), didalamnya terjadi Reformulasi Epistemologi Hijrah: Dimensi Historis Hijrah adalah peristiwa historis yang dicatat sebagai awal dari munculnya Islam sebagai agama dengan etos sosial yang mencitapkan sebuah “cikal bakal Negara” dengan masyarakatnya yang egaliter dan demokratis.
Langkah-langkah spektakuler dalam membentuk peradaban umat manusia yang dimulai dari kota Madinah sebagai Embrio Negara. Sejarah mencatat bahwa karakter masyarakat Madinah dengan pimpinan Rasulullah adalah termasuk kategori plural, multi-etnis, multi-agama, bahkan masyarakatnya dapat dipersatukan oleh Nabi dengan satu common platform Mitsaq al-Madinah atau Piagam Madinah.
Sejarah juga mencatat bahwa Nabi Muhammad Saw telah mengukir berbagai prestasi kemanusiaan dengan membangun masyarakat berperadaban. Prestasi inilah yang menurut Rober N. Beulah dalam bukunya Beyond Belief dicatat sebagai tindakan loncatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dan kapasitas politik.
Lebih lanjut, Bellah mengomentari hal itu dengan mengatakan: Tatkala struktur yang telah terbentuk di bawah Nabi dikembangkan oleh para khalifah pertama untuk menyediakan prinsip penyusunan suatu imperium dunia, hasil sesuatu yang untuk masa dan tempatnya yang sangat modern. Yakni; Kenegaraan moderen dalam hal tingginya tingkat komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang diharapkan dari kalangan rakyat jelata sebagai anggota masyarakat;
Kenegaraan moderen dalam hal keterbukaan kedudukan kepemimpinannya untuk dinilai kemampuan mereka menurut landasan-landasan universalistas dan dilambangkan dalam upaya melembagakan kepemimpinan yang tidak bersifat turun temurun. (Bersambung)
*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri